Welcome to Rayrowling's Blog. Media Berbagi Cerita.

Menulis dan membaca saat ini sudah mulai menjadi trend di kalangan Remaja. Selain itu banyak juga bermunculan cerita untuk kaum minoritas yakni cerita kaum pelangi yang isinya dominan dengan adegan panasnya. Dengan berdasar kedua alasan tersebut Rayrowling(Founder) membangun Blog ini sebagai Media Berbagi Cerita khususnya cerita cinta kaum pelangi yang tidak memfokuskan di adegan Hot-nya untuk lebih jelasnya silahkan baca Visi dan Misi Blog di About Site.
Apa Aja sih yang ada di Ray Rowling's Blog?
1. Tentunya berisi Cerita yang bertema kaum pelangi, baik fiksi maupun non fiksi dari pemilik Blog silahkan lihat label CORETANKU dan dari beberapa tulisan sahabatnya dengan label CORETAN SHABAT
2. Berisi karya lain dari penulis seperti puisi, Argument dan lain-lain untuk itu silahkan kunjungi PETA SITUS kami untuk mengetahui apa yang ada di blog ini. Terimakasih atas kunjungannya.

Saturday 28 July 2012

Pelangi dan Putih Abu-Abu


Aku tak tahu sejak kapan diriku mempunyai hasrat terhadap kaumku sendiri, yakni kaum Adam. Aku pun tak tahu apa penyebab utama Aku menyukai kaumku ini, dan Aku tak tahu kapan Aku akan kembali kepada kodratku sebagai seorang laki-laki yang seharusnya mencintai dan menyayangi kaum Hawa. Namun yang Aku tahu, Aku mencintainya dan menyayanginya setulus hati ini.
******
Hari pertama Aku masuk SMA, Aku mulai tertarik pada sosok laki-laki bernama Pandu. Ya Pandu Aditya, Remaja tampan seumuranku berhasil menarik perhatianku. Pandu memiliki daya tarik tersendiri bagiku, wajahnya yang tampan dan terlihat baik kepada sesamanya membuatku jatuh hati padanya. Namun, Aku tak tahu Apakah Pandu sama sepertiku, penyuka sesamanya.
Hari-hari di sekolah Aku hanya bisa menikmati ketampanannya dari jarak jauh, ingin rasanya Aku menyapa dan menjabat tangannya, namun tak ada alasan yang tepat untuk itu. Hingga suatu hari Aku mengikuti perkemahan Pramuka dan Aku menjadi ketua regu yang beranggotakan sepuluh orang dan Pandu salah satunya.
Kali ini, Tuhan benar-benar memberikan kesempatan bagiku, kesempatan untuk lebih dekat dengan Pandu. Perkemahan yang berlangsung tiga hari membuat Aku dan Pandu bisa saling komunikasi. Berkenalan satu sama lain hingga Akhirnya Aku bisa menjadi teman baiknya. Aku sangat senang akan hal itu, dekat dengan seorang yang kita cintai meski orang itu tak tahu betapa besar rasa ini padanya.
Hari terakhir saat perkemahan, Pandu menemaniku di depan tenda menjaga api unggun. Saat itu Aku mencoba mencari tahu orientasi sex Pandu.
“Pan, tiga hari diperkemahan apa nggak kangen sama cewekmu?”
“Hehehe … Cewek yang mana Mas? Aku itu masih jomblo alias tidak punya pacar. Cariin cewek buatku donk” Kata Pandu sambil tertawa.
“Halah, Masa sih Orang sepertimu tidak punya cewek? Emang beneran mau dicariin cewek?” tanyaku pada Pandu.
“Boleh mas, atau mas Adi ajarin Aku mendapatkan cewek” katanya bersemangat.
“Ok, emang ada yang kamu taksir?” sambil menghela nafa Aku bertanya padanya.
“Untuk sementara belum mas, nanti kalau ada Aku minta tolong pada mas Adi aja deh” lagi-lagi Pandu memerkan senyumnya yang manis dan sekali lagi Aku terpsona keseribu kalinya. Akhirnya Aku tahu, ternyata Pandu masih lurus dan tetap pada kodratnya sebagai seorang laki-laki. Namun Aku harus berusaha agar Aku mendapatkan cintanya. Karena masih ada harapan untukku, karena Pandu belum membicarakan siapa gadis itu.
Akhirnya Perkemahan telah usai, dan berhasil mengubah hari-hariku jadi lebih bersemangat dari sebelumnya. Semangatku masih saja satu, yakni Pandu, yah… dia masih menjadi doping dalam keseharianku di sekolah. Wajah tampannya yang tersimpan di otakku selalu menjadi teman saat Aku menghabiskan sabun di kamar mandi. Menuntaskan hasrat akan kehausanku terhadap kaum laki-laki.
Hingga suatu hari, Pandu menghubungiku, bercerita tentang gadis pujaanya yang selalu mengusik malam-malamnya. Hampir setiap hari Pandu membicarakannya, gadis bernama Silvi selalu menjadi topik dalam pembicaraan kita. Aku merasa cemburu pada Silvi, karena berhasil menjerat hati Pandu yang terbang bebas yang tak pernah berhasil ku tangkap.
Silvi memang gadis populer di sekolah, wajah cantiknya menjadikan laki-laki terjerat akan keindahannya, namun  hal itu tak berarti bagiku, wajah tampan Pandu jauh lebih kuat menjerat hatiku. Sebenarnya tak pantas bagiku untuk bersaing dengan Silvi memperebutkan seorang Pandu yang sudah masuk ke jaring cintanya. Namun Aku laki-laki yang tak pernah mengenal menyerah. Dengan segala intrik Aku mencoba memberi kenyamanan pada Pandu demi terbukanya pintu hatinya untukku.
Kini misiku adalah memastikan agar Pandu terbebas dalam jaring cinta Silvi, namun misi itu terbentur akan janjiku pada Pandu untuk membantunya mendapatkan cinta Silvi. Hal itu membuatku bimbang dan kalut, memikirkan nasib cintaku ini. Cinta yang hanya diriku dan Tuhan yang tahu.
Saat hari valentine tiba, Aku berencana memberikan coklat kepada Pandu sebagai tanda persahabatanku dengannya. Tentunya agar Pandu tahu petapa diriku selalu memperhatikannya. Namun hal memalukan terjadi, seseorang bernama Shubur teman sekelas Pandu mengetahui jika Aku menyukai Pandu. Shubur menukar Coklatku dengan Biskuit seharga Rp. 500  dan menuliskan kata cinta untuk Pandu.
Shubur memang orang yang paling menjengkelkan di sekolah, dia orang yang paling membuatku menderita, malu, dan tertindas di sekolah. Namun suatu hari Aku bisa melawannya dan tak pernah lagi Dia mencari masalah denganku. Semua rahasianya ada ditanganku dan itu berhasil membuat Dia berfikir dua kali untuk menggangguku lagi.
Kejadian Valentine itu membuat Pandu menghindariku, Aku tahu mungkin dia jijik dengan keadaanku sebagai seorang gay. Setiap bertemu dengannya dia seperti tak melihatku, padahal pandangannya lurus kearahku. Sesekali Aku pernah memanggilnya sepulang sekolah, Dia hanya menoleh sebentar dan langsung melanjutkan perjalanannya. Tak ada kesempatan bagiku untuk mengatakan sebenarnya dan meminta maaf padanya.
************
Beberapa bulan berlalu, Aku bisa menerima atas menjauhnya Pandu, Hari-hariku kembali seperti biasa, tak ada sahabat dekat untuk berbagi canda dan tawa. Hingga suatu hari Aku mendapatkan kesempatan menjadi pembina PMR di sebuah SMP dekat tempatku tinggal.
Kesibukan dan kesenangan baru mulai mengisi hariku, karena setiap hari selasa sore Aku harus menjadi pembina siswa SMP berumur 14-16 tahunan. Mereka terlihat polos dan masih kekanak-kanakan. Kata kakak menjadi sapaan mereka terhadapku, meski Aku memiliki banyak adik di rumah, namun Aku lebih menyukai panggilan menggunakan kata kakak dari siswa dan Siswi SMP ini.
Awal menjai pembina mereka, ada sosok anak bernama Iwan yang menarik perhatianku. Dia sangat antusias dengan ekskul ini, dan sangat terlihat menghormatiku sebagai kakak pembina di ekskulnya.
Setelah beberapa kali Aku menjadi pembina di eskul PMR, akhirnya Iwan mulai dekat denganku. Kedekatan Iwan denganku sangat membantu melupakan Pandu dalam memoriku. Iwan yang polos selalu mengajakku berdiskusi seputar kesehatan. Mulai dari pertolongan pertama pada kecelakaan dan hingga pemberian nafas buatan pada korban yang tenggelam.
Diskusi kami berdua hanyalah sekedar penyampaian teory dan ketika kami di ekskul barulah menyampaikan prakteknya. Aku memberikan teory sebelum ekskul dimulai kepada  Iwan agar dia selalu menjadi yang terbaik di kelompoknya. Hal itu membuat Iwan semakin dekat denganku dan semakin menghormatiku saat ekskul berlangsung.
Hingga suatu hari, Iwan meminta diriku memperaktekan teory yang tak pernah benar-benar diperaktekan oleh kami berdua maupun dikelompok. Yakni pemberian nafas buatan.
“Kak, iwan masih belum mengerti cara memberikan nafas buatan itu” tanya iwan polos saat di ruang UKS sekolah.
“Barusan kakak sudah ajarkan di luar kan? Beberapa teman kamu mengerti kok” kataku sambil menatapnya.
“Iya, tapi penjelasan kakak tadi ditambahi gurauan jadi Iwan tidak bisa menangkapnya dengan baik” kata Iwan membela diri.
“Baiklah, saya ulangi lagi ya. Iwan dengarkan baik-baik … RJP atau Resusitasi jantung Paru adalah pertolongan untuk menyelamatkan nyawa seseorang dengan singkat. Prosedur RJP adalah sebagai berikut….” Aku menjelaskan materi yang tadi sudah kujelaskan padanya.
“Hmmm… prakteknya bagaimana kak?” tanya iwan setelah mendengar tory yang aku ajarkan.
“Prakteknya?” Aku langsung menelusuri ruangan di UKS untuk mencari alat peraga. Yang Aku temukan hanyalah patung anatomi tubuh manusia yang terbungkus plastik dan berdebu.
“Cari apa kak?” tanya iwan saat Aku menelusuri ruang UKS.
“Cari sesuatu untuk dijadikan alat peraga” kataku padanya.
“Praktekan padaku saja kak” Iwan langsung naik ke tempat tidur dengan posisi telentang.
            Saat Iwan memposisikan tubuhnya, ntah Aku memiliki fikiran yang kotor terhadapnya, namun semua itu Aku tepis karena tak mungkin Iwan seperti itu dan Aku tak mau mengubahnya seperti diriku. Aku mencoba menolak tawaran Iwan, namun dia memohon untuk mengajarkannya dengan cara yang benar. Tidak ada pilihan lain selain mengiyakan kemauannya dan mempraktekan langsung pada Iwan.
            Pertama Aku menjelaskan satu pesatu dengan diringi praktek, dan posisi tidur dan memastikan kesadaran korban hingga Akhirnya berakhir dalam pemberian nafas buatan dari mulut ke mulut. Saat bibirku mendekat kebibir Iwan, iwan memejamkan matanya dan sedikit menggerakan bibirnya. Aku memasukan udara melalui mulutnya dan langsung ku lepaskan.
“Bagaimana sudah tau kan?” tanyaku padanya.
“Hehehe… iya kak sekarang Iwan sudah tau caranya” jawabnya sambil tertawa.
“Baiklah, ayo kita pulang wan hari sudah semakin sore tuh”, kataku mengajak iwan pulang.
            Praktek memberikan nafas buatan kepada iwan membuat Aku selalu memikirkannya. Memikirkan tiap milimeter sentuhan bibirku dan bibir Iwan yang masih tak tersentuh oleh bibir orang lain. Aku tahu dari Iwan, bahwa dia tidak pernah berpacaran sebelumnya dan dia tidak pernah berfikiran untuk memilik pacar saat dia duduk dibangku SMP ini. Hampir setiap ekskul Iwan pulang paling akhir menungguku membereskan peralatan yang menjadi tanggung jawabku di UKS.
            Suatu sore saat semua sudah pulang Aku melihat Iwan duduk sendiri di depan UKS. Saat itu juga Aku merasa Iwan memang selalu perhatian terhadapku dan menjadi orang yang paling dekat denganku saat ini.
“Kok belum pulang dek?” tanyaku mengagetkannya dari belakang.
“Yah… kok baru tanya sekarang mas? Setiap Ekskul Iwan selalu pulang akhir menunggu mas yang sibuk membereskan UKS.” Kata Iwan cemberut.
“iya, maksudku bukan itu Wan, besok Iwan kan Ujian, jadi lebih baik pulang cepat dan belajar di rumah” kataku menasehatinya.
“Besok Ujiannya pelajaran Bahasa indonesia mas, gampang lah. Hehehe… ada sih pelajaran yang gak bisa ku serap” Iwan membela diri.
“Pelajaran apa?” tanyaku penasaran.
“Pelajaran biologi mas” jawab Iwan polos.
“Oh … yaudah, kalau Iwan merasa kesulitan mending Iwan datang ke rumah ya… meski mas jurusan IPS, kalau Cuma biologi tingkat SMP mas jago kok” kataku menawarkan diri padanya. Iwan langsung setuju dan senang mendengar itu, kemudian Aku mengajaknya untuk segera pulang ke rumah masing-masing.
            Dua hari berlalu, saat itu langit gelap menyelimuti langit cilacap dan menghalangi gemerlap bintang di langit. Di ujung timur terlihat cahaya kilat yang menandakan akan datangnya hujan dimalam itu. Namun tiba-tiba Iwan datang ke rumah membawa tasnya.
“Ada apa dek? malem-malem ke sini?” tanyaku heran.
“Lupa ya? Besok pelajaran Biologi, Iwan mau belajar disini” jawabnya sambil nyelonong masuk ke ruang tamu.
“Oh, iya iya… tapi sepertinya sebentar lagi turun hujan. Ntar gak bisa pulang loh” kataku padanya.
“Boleh menginap kan?” Iwan melihat ke arahku dengan wajah sedikit gusar. Aku mengiyakan dengan syarat Dia izin terlebih dulu pada orang tuanya.
            Belajar pun kami mulai, Iwan menanyakan beberapa materi yang akan diujikan besok pagi di sekolahnya, dan materi biologi menjelaskan tentang reproduksi. Banyak istilah yang kurang dimengerti oleh Iwan, namun dengan penjelasan sederhana akhirnya Iwan mengerti juga.
            Tak lama keudian langit menjatuhkan ribuan liter air ke tanah. Ku lihat Iwan sangat senang ketika melihat hujan memang benar-benar turun malam itu. Aku menanyakan padanya kenapa dia terlihat sangat senang, jawabannya memang sangat logis yakni belajarnya bisa sampe larut malam. Segera mungkin Iwan menelfon orang tuanya meminta izin untuk menginap di rumah.
            Belajar pun di lanjut di kamarku, Aku mengajarinya hingga lewat jam sembilan malam. Namun ketika Aku menutup pelajaran, Iwan masih memiliki pertanyaan yang Aku kira dia sudah tau tentang itu.
“Mas, sperma itu apa sih? Kok bentuknya aneh? Emang bagian tubuh mana yang menghasilkan sperma?” tanya Iwan polos sambil menunjuk gambar sel sperma.
“heeeey… kamu nggak tau? Emang umur kamu berapa? Jangan-jangan kamu bohongi mas ya?” Kataku mendekatinya.
“Sumpah mas, Iwan nggak tahu, penjelasan bu guru dan di buku juga tidak menjelaskan darimana asal sperma… jelasin ya mas” kata Iwan memelas. Saat itu juga setan merasuki diriku, memberikan ide yang seharusnya tidak boleh dilakukan pada Iwan.
            Aku menyuruh Iwan membuka celananya dan mengeluarkan alat kelaminnya. Tanpa ragu Iwan melakukan semua instruksiku. Aku menyuruhnya mengeluarkan alat kelaminnya dan menanyakan anatomi alat vitalnya. Ternyata benar, Iwan tidak terlalu tahu akan hal itu.
            Aku menjelaskan pada Iwan mengenai alat kelamin laki-laki menggunakan alat vitalnya sebagai peraga. Aku memegang alat vitalnya dan menyebutkan nama bagiannya satu persatu. Seketika alat vital Iwan menjadi tegang ketika Aku memeganginya dan sedikit meremasnya.
“Terus apa hubungannya sperma dengan anu-ku mas?” kata iwan polos.
“Sperma ada didalam sini wan”
“Haaaa… dari sini?” kata iwan terkejut.
“iya… mau liat sperma kamu enggak?” kataku padanya.
“Boleh” jawabnya polos. Mendapati lampu hijau darinya Aku langsung melakukan oral terhadapnya. Setelah beberapa menit Iwan mengeluarkan sperma pertamanya. Dan saat itu juga Iwan tahu bahwa sperma itu berasal dari alat vitalnya dan mengeluarkan sperma sangatlah nikmat. Aku pun juga ketagihan bermain dengan Iwan. Setiap nada kesempatan Aku dan Iwan melakukannya dan iwan benar-benar dapat menyimpan rahasia.
            Tak terasa setahun berlalu saat kejadian dimalam itu, kini Iwan menjadi kekasihku dan mengerti akan arti hubungan kami. Iwan berjanji tidak akan melakukannya dengan laki-laki lain dan hanya dengan diriku seorang. Kedekatanku dengan Iwan tidaklah terlalu mencolok di keluargaku, Iwan memang ku perlakukan sebagai adikku dan dia memang sangat sopan terhadap keluargaku.
            Suatu hari Aku berdiri di depan papan pengumuman kelulusan SMA, saat Aku melihat namaku lulus dengan Nilai yang memuakan, Aku tersenyum bahagia di depan pengumuman itu. Tiba-tiba ada seorang yang menarikku dan mengucapkan selamat kepadaku, dia adalah Pandu. Ya Pandu untuk pertama kalinya setelah kejadian itu berbicara padaku lagi
“Selamat Mas, Kita sama-sama lulus” kata Pandu sambil memelukku.
“Terimakasih ya, Aku juga mau bilang selamat pada kamu” Aku melepas pelukannya.
“Terimakasih Mas, Ini ada sesuatu untuk Mas Adi” kata Pandu memberikan sesuatu yang terbungkus. Kemudia Pandu pergi menjauh dan hilang di keramaian teman-teman yang riuh akan kelulusannya. Saat Aku membuka bungkusan itu, ternyata sebuah coklat yang sama persis dengan yang kuberikan padanya dulu.
            Coklat itu tidak datang sendirian, coklat itu ditemani oleh sepucuk surat dari Pandu.
“Mas, Kalau isi surat dua tahun lalu itu benar, Aku akan sangat bahagia jika hari itu terulang lagi. Aku akan membelamu atas perlakuan shubur dan Aku tak akan menyia-nyiakan Cintamu padaku. Namun tak mungkin isi surat itu adanya seperti itu, karena Aku tahu itu bukan tulisan Mas Adi untukku. Namun atas ulah shubur, Aku merasa ada suatu hal dalam jiwaku, yakni Aku menyukai Mas Adi, dan baru kali ini Aku mengatakannya karena Aku tak mau jika itu salah Mas Adi akan membenciku. Terimakasih atas persahabatannya yang sekilas dulu, sampai Jumpa Mas Adi. Wassalam”.
Aku langsung berlari ke arah Pandu pergi tadi, mencari sosoknya untuk mencari kebenaran akan suratnya ini. Namun yang ketemui hanyalah teman-teman lain yang lalu lalang membuat sekolah semakin ramai. Saat mataku tertuju pada gerbang sekolah, saat itu juga Pandu melambaikan tangannya dan masuk ke mobil yang menjemputnya.
******
            Kini Aku sendiri lagi setelah lima tahun menjalani cinta dengan Iwan, Hingga dia lulus SMA dan memutuskan untuk berpacaran dengan seorang gadis. Namun Aku semakin menjadi-jadi, banyak laki-laki yang menjadi simapananku, namun hanya satu orang yang tetap dihatiku sampai saat ini, dan itu hanya Aku dan Tuhan yang tahu.
SEKIAN


Wednesday 25 July 2012

Twincest - the last boy friend

By :  Ray Rowling

Aku tumbuh di rahim bunda tak sendiri, ya… Aku tumbuh bersama saudara kembarku, berbagi ruang sembit di rahim bunda. Bunda yang sangat cantik menurutku, dan itu terbukti dari foto-foto pernikahan Bunda dengan Ayah. Hanya foto pernikahan dan satu lembar foto Ayah dan Bunda ketika masih mengandung menjadi harta karun kami berdua.
            Kata nenek, Bunda dan Ayah meninggal di hari kelahiran kami. Saat itu tepat pukul satu pagi Bunda merasakan rasa sakit diperutnya pertanda diriku bersama saudaraku akan lahir kedunia. Ayah yang sedang panik langsung membawa Bunda kerumah sakit yang agak jauh dari rumah. Namun nasib berkata lain, sebuah truk menyenggol mobil Ayah menyebabkan Mobil mini van yang ayah tumpangi terpelanting.
            Ayah tak tertolong lagi dan tewas ditempat, sedangkan bunda masih bisa diselamatkan namun kondisinya kritis. Tidak  ada pilihan lain selain menyelamatkan nyawa kami dikandungan selagi masih ada kesempatan. Dan setelah beberapa jam Bunda menyusul ayah dan mereka berdua dikubur berdampingan tepat di depanku saat ini. Aku masih tak percaya kalau Aku masih dapat diselamatkan saat kecelakaan itu. Ingin rasanya Aku berbaring ditengah-tengah mereka berdua.
            “Bunda, Ayah… Dani ingin berbaring disamping bunda dan Ayah” kataku sambil meneteskan air mata di atas pekuburan Ayah dan Bunda. Mati mungkin pilihan terakhirku, mati dan dikubur bersama Ayah dan Bunda. Namun Aku tahu, Meski jasadku berdampingan dengan mereka belum tentu kami akan bertemu disurga. Aku akan dijebloskan ke neraka karena perbuatan Bunuh diri tak akan diampuni oleh Tuhan.
            “Tuhan, jika Aku tak dapat bahagia setelah ini, Aku mohon jemputlah diriku” kataku perlahan sambil terus meneteskan air mata.
            “Tuhan tak akan mengambulkan permintaanmu itu” Suara Danu saudara kembarku mengagetkanku. Aku berdiri memandangnya dan langsung pergi menjauh darinya.
            “Jangan Pergi lagi, Aku capek mencari kamu!” Kata Danu sambil menarik tanganku. Aku berbalik dan menunduk kearah makam Ayah dan Bunda. Aku merasa malu berdampingan dengan Danu, malu karena ulahku yang tak dapat dinalar olehnya.
            Aku jatuh cinta pada Danu, Aku mencintainya lebih dari seorang saudara. Aku mencintainya dan tak ingin berbagi dengan orang lain. Aku tidak rela ketika Danu memutuskan untuk menikahi Hana pacar SMAnya.
            “Bunda, Ayah… Mungkin Bunda dan Ayah sudah tahu apa yang terjadi pada kami berdua. Bunda juga mengerti apa yang Aku rasakan saat ini….” Kata Danu berbicara pada makam Bunda. Aku hanya diam merasakan pegangan Danu ditanganku yang semakin kuat. “Boy, Kenapa kamu tidak pernah bercerita kepadaku tentang perasaanmu? Sejak kapan kamu mencintaiku? Aku kakakmu boy” Danu memaksaku untuk melihat kearahnya.
            Aku hanya diam dan berusaha melepaskan pegangan tangannya. “Dani…!” Bentak Danu dan berhasil membuatku berhenti berontak. Sesaat suasa hening dan semakin membuat suasana makam sepi.
            “Kamu ingin tahu? Padahal kamu sendiri yang menumbuhkan rasa itu padaku” bentakku padanya. Danu terperangah dan mengumpulkan kata-kata diotaknya yang akan dilontarkan kepadaku, namun sebelum dia berbicara aku langsung menambahi Kalimatku yang pertama.
            “Kamu pikir, apa yang kau ajarkan padaku dulu itu tidak mempengaruhiku? Dan apa yang kita lakukan bersama sampai kita lulus SMA tidak membentukku seperti ini? Pikir pakai otak, dan jangan hanya menyalahkanku bang!” cercaku padanya dan sekali sentakan Aku berhasil melepaskan genggaman tangannya.
            “Look… kamu pikir abang juga akan lepas tangan begitu saja? Abang tahu Abang salah dan apa yang kita lakukan sejak SMP itu tak pantas dilakukan. Abang hanya ingin merubah dan menebus kesalahan abang” Kata Danu dan berusaha meraih tanganku lagi.
            “Cukup, sekarang Dani punya pilihan sendiri, dan Abang yang menujukan pilihan Dani. Aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri pada Abang. Lebih baik Aku pergi merantau ke kota mencari kehidupanku sendiri” Kataku dan langsung pergi menjauh dari Danu ayang sedang berdiri disamping makam Ayah dan Bunda.
            “Dani…” Teriak Danu memanggilku, namun Aku terus melangkahkan kakiku menjauh darinya.
“Dan… Kumohon jangan pergi” Danu memohon padaku.
“Maaf  bang, Aku tak bisa melihat Abang hidup bahagia dengan orang lain. Jalan satu-satunya Dani harus pergi menjauhi Abang. Semoga Abang bahagia bersama Hana dan Terimakasih telah mengajariku Cinta ini” Kataku sambil meraih tangannya dan menciumnya.
“Dani, maafkan Abang, Abang akan memperbaiki semuanya. Abang janji… jangan tinggalkan abang sendiri, hanya kamu keluarga Abang.” Danu memohon dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Maaf bang, Dani harus pergi… Abang akan bahagia bersama Hana, dan Dani akan Bahagia jika tak melihat kebahagiaan abang dengan orang lain. Kita Akan tetap menjadi saudara. Jaga makam Bunda dan Ayah, juga Makam nenek bang. Sampai jumpa bang” Aku melepas pegangan tangannya dan pergi meninggalkannya.
Saat dipinggir jalan, Aku menggunakan jasa Ojek dan sebelum berangkat Aku mencoba tersenyum menatap ke arahnya, melambaikan tangan padanya. Tak ada senyuman dari dirinya, dia hanya memandangiku sambil mengusap air matanya dengan lengan bajunya.
“Abang, meski kita tumbuh bersama dirahim yang sama, namun takdir dan jalan hidup kita tidak sama. Semoga abang Bahagia” Kataku dalam hati saat diatas ojek Motor menuju terminal terdekat.
*********************************************************************

Friday 20 July 2012

Teenlit, Apa itu teenlit?



Teeenlit, hmmm… kata baru yang aku tau dari seorang teman sekaligus rekan menulis. Berhubung penulis amatir dan tak tahu tentang dasar-dasar sastra, pelajaran Bahasa indonesia saja nilainya pas rata-rata minimal yakni mentok 75. Mungkin hanya diriku yang kurang terbuka dan tak mau tahu alias malas belajar hingga istilah teenlit saja tidak tahu. Hehehe
            Akhirnya dengan segenap tekad, aku kerahkan kemauan untuk menyelami informasi yang ada di internet. Taraaaaa… dapat juga pencerahan dari beberapa situs. Hehehe.
Well, mari kita tengok bersama.
1.      Pengertian Teenlit
Teenlit adalah singkatan dari Teen Literature merupakan sastra populer bertema kehidupan remaja dengan segala macam kisah yang memang dialami oleh remaja pada umumnya. Penggunaan bahasa yang merupakan bahasa gaul para remaja yang memang sangat melekat pada ciri khasa seorang remaja saat ini.
2.      Ciri-ciri Teenlit
Setelah membaca beberapa literatur akhirnya dapat disimpulkan ciri-ciri teenlit sebagai berikut:
  • Sesuai pengertiaanya yakni bernuansa emaja maka bahasa yang digunakan adalah bahasa gaul yang populer dikalangan remaja. Dan pastinya sangat ringan (dapat dinikmati) namun berbobot (tidak asal)
  • Bertemakan cerita cinta anak SMA, perkuliahan dan sebagainya. Misalnya seorang gadis yang mencintai seorang pria tampan dan kaya, ia berusaha mati-matian untuk mendapatkannya mulai dari awala bertemu hingga hidup bahagia.

3.      Contoh novel Teenlit yang populer dijamannya.
Pada tahun 70an ada ‘Ali Topan Anak Jalanan’ karya Teguh Esha dan ‘Roman Picisan’ karya Eddy Iskandar. Terus beranjak pada Tahun 90an ‘Lupus’ yang merupakan nama tokoh utama yang identik dengan permen karet karya Hilman Hariwijaya. Pada tahun 200an ada ‘Eiffel I’m in Love’ karya Rachmania Arunita yang terjual lebih dari 50 ribu eksemplar. Selain itu juga ada karya berjudul “Dealova”.
Tak hanya populer tapi beberapa diantaranya sukses difilmkan dilaya lebar, antara lain ‘Eiffel I’m in Love’ dan “Dealova”, serial “lupus” juga pernah masuk dalam layar televisi.

Nah, itulah beberapa yang saya dapat dari beberapa situs di internet mengenai pengertian teenlit, sudah tahu kan apa itu teenlit dan contoh karya yang tergolong teenlit?,  Sekarang saya sudah tahu apa sih Teenlit itu, hmmm… memang sih tulisanku banyak yang teenlit dan teenlit atau suka-suka ya? Hahahaha.  Ok, terimakasih atas kunjungannya.
Sumber referensi:
http://byteinc.wordpress.com/2009/04/21/sekilas-tentang-teenlit
http://www.anneahira.com/novel-populer.htm


Tuesday 10 July 2012

Buru Elang


Oleh: Javas Nugroho
Angin mengembus dan membirukan kulitku. Tetes-tetes air sisa hujan masih berusaha merendam wajah. Susana sekitar hening. Gelap benar-benar memakanku utuh. Meringkukkan ragaku pada semak ilalang. Mengisolasi secara sempurna. Aku benar-benar takut.
Tanganku biru bekas tali yang mengikat erat. Celana dalam busuk bau sperma masih menyumpal mulutku. Pinggir bibirku perih, robek. Punggungku terasa panas seperti terkelupas. Bahkan, perutku masih menyisakan bekas cakaran.
Hewan liar apa yang menyetubuhiku?
Celana dalamku lepas selutut. Terasa terbakar di ujung sana, dan berlendir.
Aku ingat, mata yang elang itu. Tato naga di pusar.
***
Malam ini seperti biasanya. Aku habiskan dengan gelas-gelas penuh bir. Bergoyang riang dan mengerang. Menikmati warni berkelip dari lampu yang berputar-putar. Kadang, dengan sengaja dan nafsu yang memburu, aku meliuk di tubuh mereka. Memainkan jemariku di inci kebinalan yang berhambur hingga membuncah.
Aku masih mencarinya. Mata itu.
Menelisik diskotik. Mataku mengedar, mencari dan menatap setiap mata pria muda, pria beristri, pria berselingkuh dengan pria. Bahkan pria yang aku yakin sudah punya cucu. Sampai saat ini, baru tujuh orang dengan mata pandangan tajam. Aku tiduri mereka, mengoyak bajunya. Terkadang, jika emosi memuncak, aku menggigit mereka. Namun tak jua naga itu muncul.
Seminggu lalu. Aku meniduri seorang pria yang mengaku sudah beristri dan beranak satu. Matanya tajam. Beberapa kali aku tak berkutik begitu dia berbicara dan menembus ke dalam mataku. Aku hanya membuang muka, atau pura-pura menunduk. Mata itu selalu mengoyak dan menyeretku ke memori hitam.
Lalu aku melepasnya. Sama seperti hubunganku dengan para pria mata elang lain.
Lain kesempatan menyambut. Dadaku bergemuruh dengan pemuda putih bibir merah. Matanya tajam saat melirikku. Namun sepersekian detik matanya menghitam sendu. Aku nyaris merinding saat dia berjalan dan menatapku lekat di depannya.
Harus mendapatkannya!
Aku memberi kode. Dia paham. Kita bertemu di losmen. Ritual berlangsung untuk beberapa jam dengan hasil nihil. Berakhir sama seperti sebelumnya.
Sebenarnya aku sendiri tak paham dengan kelakuan ini. Aku hanya ingin menyembuhkan luka. Menyembuhkan luka dengan membuat luka. Bukankah hal ini sudah membudaya. Yang lemah akan berusaha kuat dan menjungkir balikkan keadaan. Bukankah itu terdengar manusiawi?
Aku cukup menikmati saat seseorang mengerang kesakitan. Aku meluap-luap jika seseorang yang kupakai merintih dan menangis. Sama persis seperti yang aku alamai dulu. Perlahan depresi dan lukaku melunak. Aku bisa bernafas lega setelah menyelami tubuh-tubuh mereka.
Ada sebab, ada akibat. Itu hukum alam.
***
Dia selalu menungguku di ruang tamu.
“Mas Arka baru pulang? Larut sekali mas?” Deva, adikku. Dia menyongsongku dan membawakan tas yang aku tenteng pada tangan kanan. Dia terlihat menekan hidungnya. Aku tahu dia tak tahan dengan bau bir.
Aku cuma diam dan menatapnya samar. Kusunggingkan senyum separuh. “Tidur sana dek, mas capek sekali mau tidur juga.” Dia masih mencoba duduk di depanku. Wajahnya sudah mengisyaratkan tanya. Bibirnya terlihat ingin terbuka dan mengintrogasiku.
“Lembur ya mas?” aku mengangguk dan membelai rambutnya. Dia terdiam sesaat dan terus memandangku lekat.
“Adik tidur saja dulu. Besok ujian kan?”
Dia bangkit dan meninggalkanku.
Maafkan mas, nggak pernah bisa nemenamin kamu.
Aku bangkit perlahan. Mengunci pintu lalu berjalan ke kamar dengan gontai. Ku jatuhkan ragaku di kasur empuk. Meraih buku kecil di bawah bantal. Lalu kubuka dan menulis:
Malam sayang, lama aku tak menjamahmu. Apa kabarmu?
Tadi, aku menemukan pria mata elang. Aku menidurinya. Bahkan dia kesakitan sampai menangis dan menjerit. Tapi sungguh sial. Tak ada naga dipusarnya. Bukan dia yang menyetubuhiku hingga nyaris mati. Tapi aku cukup puas. Hasratku menyiksa sudah terlampiaskan. Besok aku akan mencari lagi. Jika belum mampu menyiksa mata elang dengan tato naga di pusar aku tak akan berhenti. Aku akan menjadi serigala untuk serigala.
Kututup perlahan lalu mencoba terlelap.
“Mas, bangun. Sudah pagi. Apa kamu tidak berangkat ke kantor? Deva menggoyangkan tanganku perlahan. Mataku masih lekat sekali. Enggan rasanya untuk sekedar bangkit dan duduk dipinggiran kasur.
“Mas, nanti telat lho!” Dia meneriaki telingaku. Aku tarik tangannya hingga jatuh ke ke kasur. Aku langsung memeluknya erat dan menggelitikinya. Dia merengek dan tak bisa lepas.
“Sini temani mas dulu. Lama rasanya kita tidak tidur seperti ini. Dulu dengan ayah dan ibu juga. Apa kau tak merindukan mereka?” Deva diam. Tanganku terasa ada tetesan air hangat.
Ayah dan Ibuku telah tiada. Sejak aku kuliah, saat itu Deva mau SMP.
Aku mendengar ia sesegukan. Suaranya sangat parau, pelan sekali. “Mas, bisa tidak? Sekali saja ada waktu buatku. Aku ingin bercerita banyak tentang yang aku alamai. Apa mas tahu, kalau sekarang Deva sudah resmi jadi team basket? Apa mas tahu jika kemarin aku bahagia karena menang juara 3 menulis essay. Apa mas tahu jika adikmu sedang patah hati karena gadis yang ia suka ditembak cowok lain? Apa mas...” aku tutup mulutnya dengan tangan.
“Sudah tidak usah diteruskan. Sana mandi dulu, biar mas saja yang masak hari ini. Aku tidak suka cowok menangis.” Buru-buru Deva menyeka mukanya. Dia bangkit dan meninggalkanku
Aku segera bangkit dan membuat makanan buat Deva. Pikiranku langsung melayang lagi. Aku bimbang akan apa yang aku lakukan sekarang. Tak mungkin aku diam dengan trauma. Bagiku, balas dendam adalah cara terbaik mengobati semuanya. Namun, sampai sekarang aku tak puas. Adakah yang salah?
Kukocok telur dengan beberapa irisan daun bawang dan cabai. Kugoreng matang dan menaruhnya di piring Deva.
“Mas Deva langsung berangkat saja! Sekarang saatnya piket!” dia sudah berlari dan membuka pintu.
“Makan dulu Dev?”
“Nanti saja di kantin kak!”
Aku mematikan kompor. Memakan telur untuk Deva sembari duduk di kursi. Mataku mengamati dapur yang jarang sekali aku gunakan. Aku lebih suka makan di luar, atau kalau tidak Deva yang membuat sarapan. Dari jauh nampak secarik kertas biru tertempel di kulkas. Aku mendekat dan membacanya:
“Jangan pulang malam lagi mas! Oiya, ada loly-pop untuk mas di kulkas. Aku sengaja beli untukmu saat ada pameran di dekat sekolah. Aku sayang mas.”
Aku tersenyum tipis. Membuka kulkas dan mengecap loly-pop dari Deva.
***
Malam ini aku kembali memburu elang.
Rumah bordil. Aku ke sana kali ini. Melihat etalase-etalase manusia jualan. Melihat puluhan bejat yang datang untuk memuntahkan lendirnya. Beberapa gadis sewaan melambai ke arahku. Ada yang berani mendekat dan meremas kemaluanku. Aku tepis, dia mengomel.
“Mau mencari gadis seperti apa tuan?” Wanita tambun dari jauh mendekat. Gincunya tebal, menor. Bau parfumnya tercium sangat murahan. Apa ini induk semangnya? Aku terhenti. Melebarkan bibir.
Dia menggiringku untuk duduk di kursi. Jiwa dagangnya sungguh hebat. Diumbarnya semua dagangan. Dari yang sudah afkir, janda kembang, gadis muda seret hingga remaja perawan yang ia dapat dari desa. Dasar penipu!
“Aku cari kucing garong Mama. Bukan cari ayam.” Frontal kuutarakan inginku. Wajahnya tersenyum. Bahkan dia mencubit dadaku.
“Homo ya? Tenang saja. Persediaan laki masih banyak. Mau yang kayak gimana? Ada yang atlet binaraga, ada anak SMA yang unyu, ada juga om ganteng.” Aku naikkan satu alisku sambil memandang nyonya germo ini.
Aku menangguk pelan. Sedikit berpikir sebelum mengiyakan permintaannya.
“Tenang mas. Di sini aman semua. Dinas kesehatan datang sebulan sekali buat cek HIV/AIDS. Kalau mau kondom. Itu ambil saja di meja operator. Gratis untuk tamu.” Aku begidik mendengar ocehannya. Industri seks memang kian berkembang dan modern.
“Baik, aku lihat orangnya dulu!”
Germo ini mengajakku ke lantai dua. Sekitar delapan pria tengah merokok dengan hanya mengenakan celana dalam dan kaos. Mereka langsung berjajar begitu aku dan wanita tambun ini tiba. Mereka tersenyum nakal ke arahku.
Tanpa dikomando, aku pandangi mata mereka satu persatu. Aku pegang wajah mereka. Aku temukan satu mata elang. Seorang pemuda keturunan, rambut jabrik dengan mata semu biru.
“Aku dengan dia saja.” aku menarik pemuda itu menuju arah wanita yang terus tersenyum memandangku.
“Pembayaran langsung ke kasir saja. bisa pakai kartu kredit.”
Aku cuma menggelengkan kepala. Sesaat kemudian, aku masuk ke dalam ruangan yang sudah disediakan. Aku mulai ritual lagi. Menikmati luka.
“Awh, sakit sekali mas.” Desisnya merintih ku tindih.
Aku puas.
***
Lagi. Deva menungguku di ruang tamu. Wajahnya masam.
“Sudah pulang mas?” Deva mengalami tanganku, diciumnya pelan. Ditariknya aku untuk duduk. “Mas, selalu lembur ya setiap hari?” Aku mengangguk pelan. Melihat matanya yang kosong.
“Maaf dek, Mas selalu saja pulang malam.” Aku elus pundaknya.
Dia tersenyum tipis. “Oiya Mas, apa boleh aku tanya sesuatu?” jarang sekali sebenarnya adikku ini bertanya. Dia lebih sering diam. Beda denganku.
“Apa?” aku mengedipkan mata.
“Menurut mas, cinta itu apa?” aku tercekat. Aku tidak menyangka dia akan bertanya tentang cinta. Aku baru sadar jika ia sudah mas puber.
“Cinta adalah dimana dua orang saling mengerti dan membuat ikatan.” Kujawab sekenannya, meski klise. Dia cuma tersenyum dan memandangku miris. Aku gugup mendadak.
Dia bangkit dan mengambil segelas kopi untukku. “Ini cintaku untuk Mas. Bukankah cinta itu luas definisinya. Tidak akan pernah ada definisi yang benar-benar clear. Bukan begitu mas?” aku meringis. Memamerkan deretan gigi sambil menegak kopi yang sudah ia letakkan di meja.
Bagiku, cinta adalah siksa. Sudah terpatri dihatiku, Dev.
“Kalau menurut Mas. Dendam itu apa?” Nafasku terasa berhenti. Air kopi dimulutku menyembur ke depan. Seketika aku terbatuk tak henti-henti.
Deva hanya mematung. Memandangku dengan masih berdiri.
“Dendam itu adalah rasa dimana kita harus membalas kekejian yang orang lakukan kepada kita. Itu tak baik. Tapi terkadang ada manusia yang mendewakan itu. Agar bisa hidup bahagia. Menutup lukanya.” Aku bohong. Aku berkata tak sesuai dengan apa yang aku lakukan.
Balas dendam akan membuatku tersenyum. Sangat puas.
“Jadi tidak boleh ya balas dendam?” dia mengernyit. Meminta keyakinan.
Aku tersenyum mantap.
“Yasudah Deva tidur dulu.” Dia berlalu dari hadapanku.
Seketika aku lemas. Ujung mataku panas dan berair.
***
Aku goyangkan badanku. Nafasku terengah penuh peluh. Dia masih meringkih dan mendesis. “Aku keluaaar!” Teriakku keras. Lendirku menetes di mana-mana. Aku merebah, mengatur nafas. Memandangi sosok putih yang terus menangis di sampingku.
Kutarik bibirku ke kiri dan ke kanan. “Ini untukmu.” Aku segera berpakaian meski nafas putus-putus.
Satu elang tumbang lagi hari ini.
Aku segera berlalu dan bergerak cepat menuju rumah. Aku tak mau telat pulang lagi. Deva pasti sudah meungguku di ruang tamu. Dia jadi sedikit tidur gara-gara aku. Aku tambah lagi laju motorku.
Tiba di rumah. Aku tak mendapati Deva. Dia tak ada di ruang tamu. Tak ada di kamarnya, juga di kamar mandi. Semua ruangan di rumah kosong. Aku berlari kesana kemari sebelum akhirnya terhenti di meja dapur.
Ada buku harianku di sana. Dan secari kertas, lengkap setangkai loly-pop.
Mas, maaf aku baca buku harianmu.
Aku sudah tahu alasan kenapa Mas selalu pulang telat dari buku itu. Sekarang, aku akan berbakti kepada Mas sebagai adik. Aku bantu Mas untuk mencari elang dan tatto naga. Semoga aku cepat menemukan. Biar Mas tidak terus dendam. Bukankah dendam itu tak baik Mas? Terpenting, aku bisa sering bersamamu.
Tunggu aku membawa elang untukmu mas. Aku sayang Mas.
Seketika aku bergetar. Tubuhku dingin dan lemas.
“Deva bodoh!” aku berteriak dan segera keluar untuk mencarinya.
Aku menyusuri setiap diskotik. Bahkan sampai warung remang-remang tempatku berburu elang. Tak satupun terlihat kelebatnya. Baunya tak tercium, apalagi siluetnya. Kemana kau pergi Dev?
Aku menerobos hiburan malam. Hingar bingar justru membuatku makin panik. Aku seperti orang linglung yang tak tahu arah.
“Devaaa!”
Nafasku terhenti sejenak. Mataku melebar. Dadaku terasa sesak. Aku setengah mati menahan untuk tetap stabil dan tidak runtuh. Aku berlari ke arah kiri dari gedung diskotik yang kuinjak sekarang. Menuju padang semak yang ku laknat. Ilalang ini terasa menusuk begitu mengenai tanganku.
“Diiikkk! Di mana kamu?” aku menyenterkan cahaya dari ponsel.
“Deva!!”
Aku berlarian kesana-kemari. Jari-jariku mencabuti ilalang yang sangat tinggi.
“Argh!” ada lengkingan diseberang sana.
“Devaaa! Apa kau tak ap...” aku bersimpuh di depannya.
Dia tersenyum manis. Matanya berbinar.
“Mas, aku menemukan Elang yang kau cari. Jadi kita bisa sering bersama kan?”
Celana Deva terlepas semata kaki. Aku bisa melihat jelas lendir bercampur darah mengalir menuju kedua kakinya. Dia agak memicing dan memaksakan tersenyum.
“Mas, apa dendammu sudah habis?”
Deva berjalan ke arahku. Tangannya kiri memegang belati. Tangan kanannya memegang denda merah mengeluarkan darah.
“Ini jantung elangnya mas.”

KU RELAKAN


By : ilham
Aku duduk termangu menatap pemuda yang telah membuat kehidupanku cerah. Dia terbaring lemah dengan berbargai selang ditubuhnya dan bantuan pernafasan. Pikiran ku kalut. Takut kehilangan. Aku menerawang memutar memori kehidupanku sejak pertamakali ku bertemu dengan dia.
~ flash back ~
Aku pulang dengan membawa uang Rp 50.000 dari jerih payahku menjual koran dan ngamen. Aku senang sekali akhirnya aku bisa beli obat buat ibuku. Ku simpan 20.000 disakuku. Aku berlari dan terus berlari ingin cepat sampai dirumah lalu mengabari berita baik ke ibu. Wah., Akhirnya sampai juga. Ku buka pintu, aku kaget yangku dapatkan di sana adalah ayahku. Langsung saja aku sembunyikan uang itu ke belakang. Ayahku sepertinya curiga karena ku menyembunyikan sesuatu
"Apa itu!!!" Hardik ayah seraya menghampiriku dan memaksa untuk memperlihatkan.
"G-gak ada a-apa2 yah" ucapku gugup dengan tampang ketakutan.
"Jangan bohong!! Masih kecil udah belajar bohong hah..." bentak ayah dengan wajah menyeramkan
Aku dengan takut menjukkan yang ku sembunyikan. Setelah melihat apa yang aku tunjukkan, wajah ayah yang tadinya menakutkan kini telah sirna berganti senyuman licik.
"Hahaha... Bocah pintar... Mana uangnya" printah ayah dengan tawa liciknya.
"Jangan ayah... Ini buwat ibu beli obat..." Rengek ku sambil mengamankan uangku. Dan.
Plak
Sebuah tamparan mendarat dipipiku. Aku jatuh tersungkur dengan uang berceceran. Aku menangis sambil mengelus pipiku
"Udah jangan urusin ibumu itu. Dia hanya sakit-sakitan. Buang-buang uangsaja. Mati aja sekalian biar tidak merepotkan" tutur ayah tak berdosa.
"A-ayah j-ahat... J-ang-an bila-ng gi-tu ayah... Ayah nanti dosa" Kilahku dengan isak tangis.
"Halah... Tau apa kamu hah..." hardik ayah lalu memungut uangku yang tadi berceceran. Terlihat wajahnya senyum menyeringai. Lantas dia pergi meninggalkan aku yg masih menangis. Ayahku pergi keluar. Ku sempat mendengar tawa ayahku diluar sana.
Aku berlari kekamar ibu masih dengan isak tangisku. Setelah sampai, ku peluk ibuku yg masih berbaring lemah.
"Ada apa nak?" tanya ibu dengan suara melemah.
"Maaf ilham ya bu. Ilham gak bisa jaga uang buat beli obat ibu. Tadi ayah merampas uang ilham. Huhuhu" aku masih nangis sampai sesenggukan.
"Udah dak apa-apa huk huk jangan nangis lagi... Anak ibu gak boleh cengeng... Anak ibu harus kuat hukhuk." ujar ibu sambil menasehat ku.
"Ibu kan sakit... Harus beli obat kan...?" Timpal ku
"huk huk... Udah... Ibu dak apa-apa.. Huk huk... Ibu masih kuat kok..."
"Ah ibu... Dak apa melulu... Hem... Nanti... Kalau ilham punya uang baaanyak... Ilhan akan bawa ibu pergi dari sini ya bu... Biar gak dimarahi terus sama ayah... Soalnya ilham gak kuat dimarahi terus..."
Ku dengar ibu menghembuskan nafas halus, "Memang ilham mau bawa pergi ibu kemana?" Tanya ibu.
"Hem... Pokoknya Ketempat yang jauh dari ayah deh... Lalu ilham bawa ibu ke rumah sakit biar cepat sembuh... Doain ilham ya bu... Biar dapat uang baaanyak" jawab ku sambil tanganku melukis lingkar besar di udara.
Kulihat ibu sedang senyum "Iya... Ibu doakan ilham semoga dapat uang baanyak..."
Tiba-tiba aku teringat bahwa aku menyimpan uang 20.000. Mudah-mudahan uang itu cukup buat beli obat ibu.
"Oh ya bu... Ilham baru ingat, tadi ilham nyimpan uang 20.000 Cukup gak ya bu?"
"Mungkin cukup... Tapi dak usah lah nak... Huk huk simpan aja uang ilham... Buat jajan ilham aja... Ibu baik-baik aja kok Huk huk huk huk.."
"Tu kan ibu bilang baik-baik aja melulu. Tapi kok batuk terus..."
"Batuk ini biasa aja kok nak huk huk huk huk huk huk" ibu batuk semakin menjadi-jadi aku langsung panik.
"Ibu gak apa-apa kan" Tanya ku khawatir.
Ibu dak menjawab malah batuk terus. Aku tambah panik. Aku tidak tahu harus melakukan apa? Ku melihat di tangan ibu ada darah, seusai batuk tadi. Ku menanyakan sekali lagi. Tapi ibu masih tidak menjawab. Berarti ku harus beli obat.
"Bu.,. Ilham mau beli obat aja ya bu..." Tanpa pesetujuan ibu, aku langsung keluar.
Ku berlari dan terus berlari. Jarak Apotik dengan rumah berjarak sekitar kurang lebih 1 kilo. Demi ibu aku harus dapat obat. Lelah. Ya sekarang yg ku dapat adalah lelah. Tapi tak apa. Demi ibu aku harus mendapatkan obat. Entah berapa menit atau jam. Akhirnya sampai juga. Setelah masuk aku langsung bingung. Mau beli obat apa. Duh gimana ini. Kenapa aku tadi tidak menanyakan ke ibu? Ah tapi percuma, ibu takkan membiritahu. Ketika ku sedang kompromi dengan pikiranku. Seorang membuyar lamunanku.
"Adek mau beli apa?" tanya penjual itu.
"Saya bingung mau beli obat apa. Ku lupa tadi gak nanya ke ibu" jawabku.
Penjual itu mengernyitkan dahinya.
"Loh kok bisa lupa dek" tanya penjual itu lagi masih dengan mengernyitkan dahinya.
"Soalnya saya langsung kesini. Ibu membantah terus itu."
"Hem... Gini aja dek. Adek tau apa penyakit ibu mu"
Aku tambah bingung. Aku belum tau penyakit ibu.
"Aku juga gak tau. Ibu batuk terus gitu, dan sesudah batuk ada darah dimulutnya"
"jadi ibumu udah sangat parah  penyakitnya" mendengar itu aku jadi syok.
"Hah? Benar tah bu? Lalu apa ya bu obatnya" tanya ku tegang
"Di bawa kerumah sakit kenapa dek. Soalnya penyakit ibumu sudah parah"
"Saya gak punya uang banyak bu. Beli obat aja udah susah bu. Terus apa obatnya bu?"
Penjual itu berfikir. Lalu mencari obat ibuku. Beberapa detik, penjual itu berhasil menemukan lalu membungkusnya.
"Ini dek obatnya" Penjual itu menyodorkan obat ke aku. Lalu aku mengambilnya
"Berapa bu?" tanya ku harga obat itu
"21.000" jawab penjual itu
Aku jadi bengong. Kurang seribu? Aduh gimana ya?
"Yah bu... Kurang seribu"
"Hem... Tidak apa-apa cuma seribu." aku gembira langsung ku serahkan uang itu.
"Ini buk... Makasih ya buk..."
"Ya sama-sama"
Aku langsung keluar dan lari lagi. Aku gembira sekali karena sudah dapat obat. Jadi ibu akan sembuh. Aku cepat-cepat kerumah. Ngasih obat ke ibu. Tiba-tiba perasaan tak enak menyelimuti ku. Ku takut ada apa2 dengan ibuku. Ku tambah kecepatan lariku. Seperkian menit akhirnya sampai juga. Sebentar dulu... Dirumah kok banyak orang ya? Langsung aja aku ke dalam. Sampai di dalam orang-orang memandangku dengan raut sedih. Kenap orang pada sedih semua? Aku tak mengerti. Langsung aku kekamar. Ku melihat semua badan ibuku ditutupi selimut. Aku langsung kaget. Ku juga melihat ayahku lagi menundukkan kepala.
"Yah... Ibu kenapa? Dan kenapa disini kok banyak orang?" Aku bertanya kepada ayah dengan suara bergetar.
Ayah tak menjawab, malah memelukku erat. Aku makin bingung dibuatnya. Terdengar isakan ayah tertahan.
"Nak... Ibumu telah tiada..." ucapan ayah bergetar
"Maksud ayah apa?"Lagi-lagi ku dibuat bingung.
"Ibumu meninggal nak.."
Serasa bongkahan batu menghantam rongga dadaku. Aku tersesak.
"Ayah gak bohong kan?" Aku melepaskan pelukan ayah. Lalu menghampiri ibu.
"Ibu... Ayah bohongkan... Ibu bangun... Bilang kalau Ayah bohong bu..." aku menggoyang goyangkan badan ibu. Ibu tak bergerak sama sekali. Lingan air mataku tak tahan lagi menbendung. Aku menangis. Tuhan... Aku belum siap menghadapi kenyataan ini. Aku masih membutuhkan kasih sayang ibu. Kenapa dengan tega Engkau mengambilnya.
"Ibu kenapa gak nunggu ilham... Ilham kan janji. Kalau ilham punya uang baaanyak. Ilham akan bawa ibu kerumah sakit biar sembuh. Tapi kenapa ibu gak nunggu ilham. Ibu kenapa gak jawab.. Jawab bu... IBU... IBU.." Aku menangis semakin menjdi.
Tuhan. Aku tak kuat menghadapi kenyataan ini. Aku bahkan belum sempat membahagiakan ibuku... Tolong Tuhan kembalikan ibuku.
Tiba-tiba mataku memburam. Lututku terasa tak kuat menopang tubuhku.
Bugh
Aku terjatuh tersungkur penglihatanku tak jelas. Samar-samar terdengar panggilan ayah lalu semua menjadi gelap.
#####
Aku terbangun tatkala suara lantunan ayat suci Al-qur'an terdengar lirih. Kepalu pusing. Aku mengingat-ingat yang terjadi kepada diriku. IBU. Aku teringat ibu. Aku langsung lari menemui ibuku. Ibuku berada di ruangan depan.
"Ibu..." semua mata memandang kearahku. Tak kupedulikan.
"Ibu... Jangan tinggalin ilham... Bangun bu... Bangun" aku menangis sambil memeluk ibu.
"Jangan tinggalin ilham.,."
Ku merasakan tangan menyentuh bahuku.
"Udahlah nak... Ikhlaskan ibu... Jangan nangis... Nanti ibumu ikutan sedih lihat ilham menangis. Iklaskan biar ibu tenang di alam kubur nanti." ayah mencoba menenangku.
Ku tepis tangan ayah "Ilham belum siap kehilangan ibu... Ilham belum siap yah"
Ayah memelukku erat. Entah kenapa ketika ayah memelukku. Hatiku seketika damai. Yang dulu pelukan ayah yang  menghilang kini kembali. Ku balas pelukan ayah. Ku menangis di pangkuan ayah. Seketika itu, aku teringat pesan ibu bahwa aku jangan cengeng harus kuat.
"Ok ibu... Ilham janji gak cengeng lagi. Ilham akan tangguh" kulihat ayah tersenyum. Ku benamkan mukakku kepangkuan ayah. Orang-orang sudah selesai membaca Al-qur'an. Saatnya ibu dishalat kan lalu berangkat ketempat pemakaman.
####
Tubuh ibuku diturunkan keliang lahat yang sunyi dan sepi. Aku berusaha untuk tidak menangis. Tapi usahaku sia-sia. Aku menangis. Tubuh ibu berhasil diturunkan kebawah, lalu diadzankan. Setelah diadzankan Para penggali kubur itu naik dan membenam tubuh ibuku. Kini terakhir kalinya aku melihat ibuku.
Taburan bunga menghiasi pemakaman ibuku. Sedikit demi sedikit para pelayat pulang.
~0~0~0~0~
IBU....
Saat pertama bias mentari surya menyentuh wajahku,
Engkau dengan suka cita merangkul dan mendekapku
Hanya kasihmu yang tulus,
Bagaikan selubung cinta yang melindungi
Untuk menapak jalan yang lurus.
Dengan doa-doa mu yang kudus

Ibu...
Ketika mentari senja menghampiri hidupmu,
Engkau terlihat lelah dengan langkah derita
Yang telah dilewati
Namun kehangatan kasihmu,
Tetap terasa tiada habisnya
Tangan lembut,
telah mengantarkan langkah langkah anakmu menapaki hari.
Tiada putus doa untuk keselamatan yang kau pinta untuk sibuah hati,
Sepanjang waktu hingga kini di batas senja

Ibu...
Cinta kasihmu yang tulus terbentang bagai samudra
Dalam dan luas tiada terbatas.
Tiada kata yang dapat terucap untuk dapat menyeberangi lautan kasihmu
Tiada harta yang dapat menandingi indahnya kilauan mutiara cintamu
Hanya doa yang tulus dan iklas yang selalu kupanjatkan
Kepada Allah Tuhanku.
Ibu, ada dan tiada dirimu, aku selalu memohon ampunan untuk mu,
Meminta Kasih dan Sayang-Nya
Sebagai balasan untukmu
Yang akan ku pinta Ke Rabbi hingga akhir menutup mata.
SAYANGILAH ORANG TUAMU DAN MULIAKANLAH IBUMU SEBELUM KAMU MENIKMATI PENYESALAN
Kita tercipta dari setetes cinta anta ayah dan ibu. Cinta berbuah dan besemayam di rahim ibu hingga sembilan bulan lamanya. Ketika saatnya kita lahir, dengan penuh perjuangan antara hidup dan mati ibu mempertaruhhkan nyawanya demi sang jabang bayi. Dengan penuh rasa cinta dan kasih, ibu menyerahkan air susunya sebagai asupan energi pertama bagi kita untuk memulai kehidupan.
Tanpa letih dan lelah mereka memperhatikan perkembangan tubuh dan tingkah laku kita. Dengan penuh kasih sayang dirawatnya kita agar tumbuh menjadi manusia dewasa kelak. Ibu senantiasa bertutur dengan kata-kata yang penuh makna cinta pada bayinya yang mungil. Bahasa kalbu ibu adalah ungkapan rasa sayangnya pada kita. Demikianlah mereka dengan penuh perhatian mengasuh kita hingga mampu berdiri berdiri, berlari, dan berani menatap masa depan untuk mandiri.
Cinta ibu bagai jalan panjang yang tidak dapat terputus, berputar tiada batas, dan menelusuri jalan kasih yang tiada pupus. Kasih ibu bagaikan siraman air yang sejuk dipagi hari, mampu mendingin hati yang panas bergolak, menyuburkan tanaman jiwa, dan penuh kehangatan dalam pelukannya.
Betap indahmya masa kecil kita, ketika ayah dan ibu seiring sejalan meniti langkah, menapak hari demi hari menuju masa depan kita. Betapa mulia cinta kasih ibu, tulus, dan kudus kepada si permata jiwa. Bahkan ia rela mati demi mempertahankan si buah hati.
~0~0~0~0~
Ku nikmati kesejukan dibawah pohon beringin yang rindang nan damai. Terdengar gesekan demi gesekan dedaunan yang memecah kesunyian. Kicauan burung bernyanyi menambah irama yang merdu. Sejak meninggalnya ibuku. Aku sering duduk disini, mengusir kejenuhan. Kini sudah 10 harinya ibuku meninggal. Ternyata Tuhan mengambil ibuku ada maksud yang tersirat didalamnya. Sekarang aku mengerti. Sejak ibuku meninggal, ayah menjadi baik kepada aku dan tidak memarahiku lagi. Ayah tak main judi lagi maupun minum-minuman. Karena aku yang berbuat perjanjian . Aku sangat bersyukur itu. Biarpun ibuku telah tiada kini ayahlah penggantinya.
Asik-asiknya ngelamun. Aku dikagetkan oleh suara khas seseorang. Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Seorang laki-laki berkulit putih beralis tebal seumuran ku 9 tahun membawa dua permen lingkaran warna warni entah apa itu, sedang menyapaku.
"Hai..."
Aku terbengong melihat anak ini. Begitu bersih tampan lagi Seperti aktor Mario maurer.
Kibasan tangan di depanku membuyar kebengonganku
"E-eh h-ai..." balasku gugup
"lagi apa disini?" tanya anak itu
"gak lagi ngapa-ngapain. Cuma berteduh aja" jawabku masih dengan nada kegugupan.
"O... Mau ini?" anak itu menyodorkan permen lingkaran besar dan berwarna warni.
Aku ragu mengambilnya. Tapi  Akhirnnya ku ambil juga. Karena penasaran apa ini namannya aku bertanya ke dia
"ini permen apa ya?"
"Itu namanya lolypop" jawab dia.
Ku ber-O aja. Ku jilati permen yg katanya bernama Lolipop ini. Hem enak, manis.
"gimana? Enak gak?"
"hem... Enak..." jawabku jujur.
"Oh ya kita belum kenalan kan? Nama ku fandy nama kamu siapa?" dia menyodorkan tangannya ke arahku.
"Namaku ilham" aku menjabat tangan. Kami lama sekali menjabat tangan dan mata kami beradu.
Ketika ku sadar langsung ku tarik tanganku. Malu. Ya ku malu sekarang.
"Kamu kelas berapa?"tanya dia setelah hening tadi.
"Aku kelas lima kamu?" jawabku lalu bertanya balik.
"wah... Sama donk aku juga kelas lima. Sekolahnya dimana?" tanyaknya lagi. Nih anak tambah lama nanyak melulu. Tapi tak apa. Ku merasa damai bersamanya.
"Aku sekolah di SDN TEMPUREJO 3"
"Yah... Kita beda sekolahya... Ku sekolah di SD TEMPUREJO 1" ujar fandi sok kecewa.
Wahahaha anak ini sepertinya lucu ya?
"Kalau beda sekolah kenapa?" Tanya ku memastikan apakah sama denganku?
"Em eng... Gak apa-apa kok... Cuma..." wow kenapa dia gugup.? Tambah lama anak ini aneh. Pertamanya aku yang gugup, tapi sekarang malah dia ya gugup. Lucu. Ini gugup karena apa ya?
"Cuma apa?"
"Cuma... Enak aja berteman dengan kamu jadinya kecewa deh kita gak satu sekolah"
"Wah aku sama donk... Aku juga sepertinya nyaman berteman dengan kamu. Padahal kita baru kenal ya..." Timpal ku bersemangat. Hem baru berapa menit kami sudah akrab. Malah membahas nyaman sama nyaman. Apakah ini yang namanya jodoh teman? Aku seperti menemukan seberkas cahaya kebahagiaan bersamanya. Lama kami berbincang-binjang. Yang kami bincang hanyalah tentang sekolah, permainan, pokoknya berbasis anak-anak gitu. Mohon dimaklumi ya. Soalnya usia kami masih anak-anak. Tak menyadari hari sudah senja. Kamipun menghakhiri acara ngobrolnya.
"Hi udah sore ya... Kayaknya cepet dech... Hem aku mau pulang dulu ya... Aku tak mau nanti ayah khawatir" aku coba menghakhiri.
"Oh ya... Ku juga mau pulang. Hem... Ya Sorenya cepet. Selamat sore..."
"Selamat Sore juga..."
Kami pulang dengan berlawanan arah. Hendak aku pulang aku teringat sesuatu.
"Fan..." panggilku.
Dia membalikkan badannya. "apa?"
"Terima kasih..."
Dia mengernyitkan dahinya. "Untuk?"
"Lolypopnya"
Dia hanya terenyum lalu berlari pulang.
Wow... Senyumnya indah bangeeet dia mampu membuatku bergetar. Eh tunggu dulu What happen whait me? Hem... Mungkin hanya mengaguminya. Kupulang dengan senyum senyum. Akhirnya ku punya teman baik... Jarang ku menemukan teman seperti dia. Tidak tahu kenapa aku bisa menyimpulkan bahwa dia baik.
***
Aku memasuki kelasku. Tampaknya ruangan kelas masih sepi. Aku berangkat terlalu pagi rupanya. Aku duduk di bangku paling depan deretan ke 2 dari kanan. Aku duduk sendirian. Aku duduk sendirian bukan karena tidak punya teman. Akan tetapi mereka malas dan takut duduk di depan alasannya ya... Taku Kena tunjuk guru untuk maju ke depan jawab pertanyaan. Ah masa bodoh bagiku. Jadi anak seperti itu takut akan pintar. Aku sengaja milih di depan agar konsentrasi disaat guru menerangkan.
Sudah 3 hari aku tak bertemu fandy lagi. Setiap hari aku datang ke tempat biasanya, yang aku menenangkan diri. Tapi dia tak kunjung ada. Aku mulai gelisah. Rindu? Ya bener rindu. Tapi kenapa harus rindu ya? Toh cuma teman aja. Tak tau diriku kenapa.
Anak-anak pada berdatangan. Dalam berapa menit kelaspun telah penuh. Terdengar suara dentingan bel, bertanda masuk. Semua siswa duduk manis, menunggu guru datang. Tak butuh lama guru yang mengajar telah hadir.
"Assalamu'alaikum wr wb." Salam pak guru
"Wa'alaikum salam wr wb" Salam balik kami serempak
"Fahrul... Tolong pimpin berdoa" pinta pak guru ke ketua kelas
"Sebelum kita memulai pelajaran marilah kita berdo'a. Berdo'aaa, mulai."
Hening.
"Selesai..."
"Oh ya anak-anak hari ini kelas ini kedatangan murid baru. Fan... Ayo masuk." Ujar pak guru sambil menole kearah pintu.
Hah? Fan siapa ya? Karena penasaran akupun menunggu kemunculan dengan tanda tanya. Anak itu muncul dari balik pintu, hah. Dia itu kan...? Kok bisa pindah kesini. Dia fandi. Sosok yang ku rindu. Sekarang berada ruangan kelasku. Fandy melihat ke arahku lalu melontarkan senyuman indahnya. Yah dengan kikuk ku balas senyuman juga. Ini anak apa emang sengaja ya membuat kejutan. Tapi kok dia nekat pindah kesini? Aargh... Gak mau ambil pusing ah. Aku bersyukur karena dia pindah disini. Thanks god.
"Ayo fan perkenalkan nama mu." Pinta pak guru
Fandi mengangguk. "Hai teman-teman" sapa fandi agak gemetar. Kelihatan kalau dia gemetar, mungkin dia malu. Maklum baru disini.
"Hai juga." Jawab kami serempak.
"Perkenalkan, nama saya Fandy Arizony. Panggil saja saya Fandy. Saya pindahan dari sekolah SDN TEMPUREJO 01."
"Sudah?" Tanya pak guru. Fandy hanya mengangguk.
"Baiklah... Sebelumnya ada pertanyaan tentang fandy"
"Baiklah kalau tidak ada. Fan kamu duduk sama ilham yang duduk depan itu" Kata Pak guru sambil menunjukkan kearah bangku ku.
Fandy hanya mengangguk lalu berjalan kearahku. Terlihat fandy melemparkan seulas senyuman kearahku. Ku balas dengan senyuman juga.
"Anak-anak sekarang kita pelajaran PPKN."  Ujar Pak guru seraya menulis di papan.
"Eh fan kamu kok gak bilang-bilang sih kalau mau pindah disini" Bisikku ke fandi.
"He he sengaja buat kejutan untuk kamu." hem... Benarkan kataku.
"Hem... Pantesan 3 hari gak nongol-nongol" aku mencubit bahu fandy.
"Awww" pekik fandy.
"Kenapa fan" Tanya Pak guru ketika mendengar jeritan fandy. Semua anak-anak memandangi kearah kami. Aku dan fandy gugup karena tengah dipandangi. Aduh gimana ini.
"Eh anu pak tadi saya kena kejepit bangku" jelas fandy gugup.
Fyuh... Akhirnya nemu juga nih jawabannya.
"Lain kali hati-hati ya" Peringat pak guru seraya melanjutkan menulis.
"Uh kamu nih nyubit aku." Protes fandy sedikit mengkerutkan bibirnya (Monyong).
"Ye... Kayak gitu ajah udah sakit" Kilahku
"Apanya kayak gitu. Cubitmu kayak kepiting kenak kesentrum itu" Keluhnya sambil cemberut. Aku hanya cekikin mendengar keluhan dia.
"Udah ah... Nanti kita ketinggalan nih nyatetnya." ku lihat dia langsung menulis.
Teng... Teng... Teng...
Bel tanda istirahat. Sontak semua yang tadinya sunyi bagai tak bepenghuni kini ramai bak pedagang menawar dagangannya. Kalian bisa membayangkan?
"Baiklah anak-anak catatan pada hari ini kita sudahi dulu. Assalamu'laikum warahmatullahi wabarakatuh" ujar pak guru menghakhiri
"Wa'alaikum salam wr wb" jawab kami serempak.
"Ham... Ke kantin yuk..." Ajak fikry kepada ku
Ku tolehkan mukaku ke fandy "Gimana? Mau ikut?" Tanyaku ke fandy.
"Duluan aja dach"
"Duluan aja dach nanti mungkin ku susul." jawab ku ke fikry.
"Loh... Kok gak ikut?" Tanya fandy bingung
"Masih ingin sama kamu. Lepas rindu he..." Jawabku manja.
"Ye..."
Ku lihat fikry lagi mengkerutkan dahinya. Mungkin bingung dengan keakraban kami.
"Ya dah aku duluan ya..." Pamit fikry. Lalu meningglkan kami masih dengan wajah ke heranan. Tak ku hiraukan.
"Eh kamu kok nekat banget ya pindah sekolah. Emangnya kamu di izinin sama mama kamu?" Tanyaku ke heranan.
" Di izinin donk" jawabnya enteng. Nih anak kayaknya gak terbebani kalau pindah. Aneh.
Karena belum puas, aku nanyak lagi, "Emangnya mamamu gak nanya kenapa kamu pindah?"
"Nanya"
"Terus kamu jawab apa? Jangan bilang karena aku." Aku mengarahkan kempalan tangan kearahnya.
"Aku bilang disini banyak teman. Emang Kalau jawab karena kamu kenapa hayo?" Dia menanya balik dengan mata mendelik. Ih gemesin anak ini.
"Yah takutnya dikira aku membujuk kamu suruh sekolah disini. Nantinya aku deh yang dImarahi sama mamamu."
"Tenang aja mamaku bukan mak lampir kok." Ujarnya meyakinkan membuat aku tertawa
"Ye... Ada-ada aja kamu." kami tertawa lepas membahana. Sehingga anak-anak pada melihat kearah kami dengan keheran. Tak ku hiraukan.
Tet... Tet.. Tet..
"Yah... Udah masuk deh... Gimana nih... Mana perut laper..." ujarku memelas.
"Tenang sob jangan khawatir ku bawa roti."
"Hah!!! Serius... Wah minta donk." Ucapku girang.
Fandi mengeluarkan sebuah roti. Dilihat dari bungkusnya, sepertinya mahal. Terbesit rasa sungkan untuk menerimanya.
"Nih..." fandy menyodorkan rotinya ke arahku.
"Gak jadi dah..." tolak ku
"Loh kenapa? Tadi gak sabar mintaknya. Kalau dah di keluarin gak jadi"
"Ku kira tadi rotimu yang biasa. Eh Taunya yang mahal. Kayaknya gimana gitu kalau menerimanya"
"Ah... Gak papa kok. Cuma masalah itu doank. Nih... Sayang nih kalau gak diterima." ujarnya sedih
Aku berfikir sejenak. Karena perut aku demo untuk di isi akhirnya ku terima.
"Ya dah..." aku mengambil roti yang ada di tangannya lalu memakannya
"Nah gitu dong" ujarnya gembira. Aku hanya tersenyum malu.
Aku sudah mendamaikan pendemoan pada perutku. Sekarang ku merasa haus. Aku mau menanyakan ke dia apakah bawa air apa tidak tapi ragu.
"Kamu bawa air?" Tiba-tiba aku terlepas mengucapnya. Aduh ham.. Kamu tidak tahu malu.
"Bawa... Tar ya..." fandy merogoh tasnya. Dan air itu berhasil di ambilnya. Sebentar dulu... Ya ampun yang dibawa bukan air mineral tapi SUSU. Penyesalan menyeruak dalam diriku.Sekarang aku bisa meyimpulkan bahwa dia berasal dari anak orang kaya. Sudah terlihat dari bajunya seperti baru beli. Sedangkan aku bajunya sudah lusuh. Tapi bukan hanya aku saja yang miskin tapi siswa disini banyak yang miskin. Maklum disini sekolahannya perdesahan.
"Kok susu... Gak ada air biasa?" tanyaku agak keberatan. Soalnya aku tidak biasa minum susu sehabis makan. Rasanya kayak gimana... Gitu.
"Gak ada... Mama cuma menyediakan susu"
Karena kehahusan aku ambil saja susu itu.
Tuh kan kayak yang gimana gitu. Tapi tak apa yang penting sudah melepaskan dahaga.
"Nih makasih ya..."
"Sama-sama"
####
Singkat cerita sejak Fandy sekolah dengan ku. Kebahagiaan ku telah lengkap. Fandy tidak sungkan-sungkan menolongku dalam setiap hal yang tak dapat aku atasi. Aku yang merasa keberatan, menolaknya terus tapi dia bersikeras. Dia bilang 'Untuk apa kita bersahabat kalau disaat sahabatnya sedang membutuhkan pertolongan  tapi tidak ditolong. Itu bukan sahabat namanya tapi hanya mementingkan diri sendiri.' pemikiran cukup logis. Memang benar tapi aku takutnya anak-anak menuduhku kebersamaannya hanya memanfaatkan kekayaannya nyatanya aku tidak begitu. Aku hanya nyaman bersamanya sama halnya dengan dia.
Persahabatan kami hingga sampai sekolah SMA. Kami tidak dapat dipisahkan. Tidak ada pertengkaran diantara kami yang ada hanya kebahagiaan yang di dapat.
Aku merasakan diriku aneh semenjak bersamanya. Aku tidak bisa mengartika rasa yang ada dalam diriku. Aku menyukai dia. Sebelumnya aku tidak tahu bahwa aku ada ketertarikan ke laki-laki dari pada perempuan. Aku mengetahui gay sejak smp kelas 3. Aku belum mengerti mengapa bisa begini.
Menyatakan perasaanku kepadanya sangat takut. Takut akan ditinggalkan. Aku tidak bisa hidup tanpa dia jika dia pergi meninggalkan ku. Biarlah aku menutup perasaan ini tanpa pengetahuannya. Sakit. Memang sakit memendam perasaan cinta. Apalagi yang dicintai selalu berada didekatnya. Bagaimana bisa bertahan memendam perasaan secara terus menerus. Tapi aku berusaha memendam perasaan ini walaupun menyakitkan.
><><><><><
Ku lihat fandy kejahuan sedang menyeberang jalan menghampiriku. Dia tersenyum kearahku ku balas dengan senyuman. Dia terlhat keren hari ini, sungguh memikat para wanita. Wanita siapa saja yang tidak terpikat. Bukan wanita normal namanya mungkin juga belok.(?) kalau tidak tertarik.  Sebuah benda yang di genggamnya terjatuh entah apa itu, dia membungkukkan badannya untuk mengambilnya. Aku terpaku melihat sebuah truk di samping agak kejahuan sedang melaju kearahnya. Oh Tuhan jangan sampai tejadi.
"Fandy awasss." Pekik ku lantang tapi dia tak mendengarnya. Otak dan perasaan ku belum terjaga namun kakiku sudah lebih dulu bekerja. Aku berlari sekuat tenaga menuju kearahnya. Sedangkan truk itu masih melaju semakin mendekat dan mendekat. Tapi Fandy masih tak bergeming. Oh Tuhan jangan sampai.
Dia berdiri rupanya sudah menemukan apa yang dicari.
"Fandy.... Awasss" teriakku. Dia menoleh kearahku tapi gagal truk itu menghantam tubuhnya hingga terpental ke trotoar. Aku yang menyaksikan dengan jelas bagai sembilah pedang mengebas kehatiku. Lututku lemas, nafasku menderu. Aku terus menghampirinya.
Tuhan ini terlalu sakit untuk di saksikan. Fandy tergeletak di trotoar jalan. Darah membajiri tubuhnya. Aku meraung tak jelas.
Aku menangis dalam ratapan yang tak dapat ku tahan. Kepalanya kini berada dipangkuanku.
Tuhan kenapa ini harus terjadi. Aku tak ingin kehilangan kedua kali yang ku sayangi tuhan tolong.
"Fan... Tetaplah bertahan. Aku disini... Kamu bersamaku. Tolong tetap bertahan jangan tinggalin aku" Air mataku kian deras jatuh ke tubuhnya yang berbalut darah.
"PANGGIL AMBULAN..." Aku berteriak. "Siapa saja panggilkan ambulan... Tolong kami.," Aku tidak bisa bersuara lagi nafasku tercekat, sakit dan perih.
"Nak... Kami sudah memanggil ambulan. Kini petugas medis sedang diperjalan kemari" Terdengar suara ibu separauh baya menginformasikannya. Aku hanya bisa menatap sebagai tanda terimakasih
"Ham..." Aku mendengar erangan yang penuh kesakitan. Aku nyaris tak medengar desahannya.
"Ya... Aku disini... Tetaplah bertahan. Bantuan akan segera datang. Jangan kemana-mana tetaplah bersamaku"
Fandy menyodorkan dua buah kalung yang berinsial nama kami I-F. "Ham... Ambil kalung ini sebagai kenangan bersama ku mungkin aku tak bisa bertahan lagi"
Aku menggeleng sambil mengerjab. "Jangan katakan itu. Kamu pasti kuat. Tolong tetap bertahan."
"Maafkan aku, aku tidak bisa terus bersamamu lagi"
"Fan..." ku peluk erat tubuh Fandy. Tak kuhiraukan darah yang melekat ditubuhku. Semakin ku erat ku peluk. Sungguh ku tak sanggup ditinggalkan dengannya aku tak rela. Sungguhku tak rela Tuhan. Tolong kuatkan dia tuhan. Jangan ambil nyawanya, aku tak sanggup kehilangan kedua kalinya.
Suara sirine ku dengar sayup  di kejahuan. Fandy kian lemas dipelukan ku dan akhirnya tak bergeming.
Sebuah tangan menyentuh bahuku, "Nak... Saatnya temanmu dibawa ke rumah sakit" ternyata itu petugas medis.
"Periksa nadinya" ujar salah satu petugas medis.
Petugas medis salah satunya memegang leher dibawah dagu.
"Oh syukur lah nadinya masih berdenyut. Tapi sangat lemah. Ayo cepat bawa ke ambulan" ujarnya setelah memeriksa nadinya.
Tubuh fandy di angkat lalu di letak kursi (?) Dan akhirnya dimasukkan di dalam ambulan
~ end flash back ~
Sudah hampir 2 bulan fandy belum siuman. Dia koma. Kata dokter kemungkinan kecil fandy bertahan hidup. Aku yang tidak bisa apa-apa hanya bisa berdo'a untuk kesembuhannya.
Aku menatap wajah Fendy yang hampir tidak kelihatan karena dipenuhi oleh perban. Ku genggam tangannya yang dingin.
"Hey... Masih ingatkah kamu... Waktu kita bertemu pertama kali," Aku berhenti sejenak sambil menghirup udara," Waktu itu aku sedang tak menemukan harapan
hidup. Tapi kamu datang, kamu seolah malaikat yang dapat mencerahkan hariku. Kamulah yang membuat aku dapat bertahan hidup" Aku hampir tidak bisa meneruskan kata-kata lagi. Sedangkan Fandy masih tak bergeming. Dia bagaikan terditur pulas. Damai.
Aku menundukkan kepala " Kamu tahu? Disaat aku bersamamu aku selalu gugup. kamu tahu kenapa bisa begitu?" Aku mengatur nafasku yang semakin sesak. "Karena aku mencintaimu. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Maka dari itu bangunlah untuku. Jangan buat aku seperti dulu lagi. Tak menemukan harapan hidup. Tolong jangan tinggalkan aku." Kali ini aku tidak bisa mengontrol diriku. Aku menangis. Ku eratkan genggamanku seolah aku tak ingin Berepisah dengan Fandy. Tiba-tiba rasa kantuk menyerangku. Akhirnya aku tertidur di sampingnya.
~0~0~0~0~
Aku takut tidak bisa melumpuhkan dinding hati yang lama ku cintai, Ku takut terbawa mati
Aku takut tidak mampu merobohkan dinding hatimu
aku takut engkau pergi dan tak mengingatku lagi
reff:
sampai kapan ku harus menunggumu jatuh di pelukanku berikan peluang untukku untuk memilikimu sampai kapan ku harus memintamu menjadi pelengkapku mungkinkah takdir telah berbicara, engkau takkan ku miliki
repeat reff
mungkinkah takdir telah berbicara, engkau takkan ku miliki aku takut tidak mampu meluluhkan dinding hatimu
*igo : Beri aku peluang
~0~0~0~0~
* * * * *
Pada sebuah pemakaman tua, dipinggiran sebuah kota. Aku menyaksikan wajah-wajah yang aku sangat kenal tertunduk dengan duka cita yang begitu dalam.
Mereka berjalan beriringan, diam membisu tanpa kata. Mereka mengantarkan orang yang tercinta dalam hidupnya, yang telah pergi membawa segala kenangan hidup bahagia.
Aku melihat tetangga, teman sekolah, dan guru-guru.
Aku menyaksikan wajah tua yang telah digrogoti usia. Wajah Ayah dan Mamanya Fendy dipapah langkah demi langkah, menuju lubang pusara.
Satu persatu, wajah-wajah sembam dengan linangan air mata, mendekati tubuh yang terbujur kaku sebagai penghormatan terakhir. Dengan langkah yang berat, akupun menapaki tanah merah yang membasah untuk turut memberi salam perpisahan pula kepadanya.
Ya Allah Ya Rabby! Betapa terkejutnya aku, tubuh yang terbujur kaku dengan wajah pucat, diselimuti oleh kain putih itu Adalah... Fandy!
Aku membekab mulutku, seolah tak percaya apa yang kulihat. Tiba-tiba semua orang menghilang. Aku merasakan tubuhku terhisab entah kemana.
Kini ku berada tempat yang tak ku bisa artikan. Aku bingung dengan keadaan ini. Semua ruang putih  tidak ada benda satupun. Aku tidak mengerti kenapa aku bisa berada disini. Sebuah cahaya menyilaukan mataku. Ku sipitkan mataku untuk menghalangi cahaya yang begitu menyilaukan. Ku temukan sosok seorang yang begitu aku kenal. Itu Fandy. Dia menatapku dan tersenyum. Aku berlari kearahnya tapi dia menjauh. Semakin ku dekati dia semakin menjauh.
"Fan... Jangan pergi"
Brukk
"Nak ada apa?" Aku melihat mamanya Fandy sedang memandangku bingung. Karena aku terbangun tiba-tiba terjatuh.
"Astaghfirullah. Tante ilham tadi mimpi buruk tentang Fandy. Sungguh membingungkan." jelasku yang masih ketakutan. Dia membantuku berdiri.
"Memangnya yang apa yang ada di mimpimu?" Tanyaknya dengan memandangku.
"Waktu itu saya berada di sebuah pemakan aku melihat tante, om, banyak lagi. Sedang menangis. Aku kira tante menangis karena orang lain. Aku menghampiri jasad untuk turut salam perpisahan. Aku kaget ketika melihat jasad itu. Jasad itu adalah fandy. Aku hampir tidak percaya itu. Lalu aku merasa tersedot ke belakang. Aku dibawa ke tempat yang aku belum tahu. Aneh rasanya berada disana. Soalnya disitu tida ada benda satupun. Semua putih tanpa berujung batasan. Lalu tiba2 ada sinar yang terang. Dibalik sinar itu aku melihat Fandy sedang tersenyum kearahku. Aku lari menghampiri dia Tapi Fandy menghindar kebelakang kayak yang terbang. Semakin aku mendekatnya tapi Fandy semakin mejauh. Aku bingung tante. Apa tante tahu arti mimpi ini?" jawabku secara detail. Tak satupun aku lewatkan.
Aku mendengar mamanya Fandy mendesah pelan, "Rupanya Fandy mengabarimu melewati mimpimu." ujarnya sambil merunduk.
"Maksudnya tante apa?" Tanyaku kebingungan.
"Maafkan tante sebelumnya nak, karena takmemberi tahumu. Tante dan om berencana membawa Fandy ke Singapur untuk perawatan."
Aku tersentak mendengarnya. Jadi tandanya fandy meninggalkan aku sampai pulih? Tapi sampai kapan?. Ya Tuhan.... Bagaimana aku bisa lalui hariku tanpa dia?
"Kapan fandy akan dibawa ke singapure tante?"
" Besok lusa"
"Hah!!! Besok tante?" Tanyaku kaget.
"Ya, maafkan tante ya nak. Karena sebelumnya tidak memberitahu."
Aku menghela nafas lembut.
"Tidak apa-apa tante. Itu kan demi kebaikan Fandy. Apa hak saya melarangnya. Toh saya bukan siapa-siapa tante" ujar ku setengah hati.
"Dak nak. Kamu sahabatnya anak saya Fandy. Kalian telah lama bersahabat. Pasti sangat sedih bila ditingalkan sahabatnya. Nah karena itu tante tidak tega memberitahu mu."
Bukan sedih tapi sakit timpalku dalam hati.
"Kamu belum sarapan kan? Nih... Tante tadi bawa nasi goreng. Karena kamu belum tidur tante biarkan dulu. Mungkin kamu kecapean." Ujar mamanya Fandy seraya menyodorkan nasi goreng.
"Makasih tante..."
"Ya sama-sama"
><><><><
Hari ini Fandy akan berangkat. Aku sengaja tidak ikut karena hanya akan membuatku tambah sakit. Aku tadi bilang ke Mamanya Fandy melawati ponsel bahwa aku tidak bisa ikut karena mengerjakan tugas mendadak, tugasnya harus dikumpulkan besok. Berhasil membuat percaya mamanya Fandy.
Aku merenung dikamar. Memikirkan nasibku. Bisakah aku hidup tanpa dia? Mudah-mudahan dia tak lama disana. Tuhan... Berilah dia kesembuhan. Aku tidak bisa hidup tanpa dia.
*
Hari-hariku sangatlah kelabu. Perasaan ku semakin mengebu. Aku tak kuat menghadapi hari tanpa mu. Aku hanya bisa memandang kalung pemberianmu untuk sekedar mengobati rindu. Apakah kamu sekarang sudah sadar fan? Cepatlah pulang jangan lama-lama disana. Aku akan menunggumu sampaikapan pun. Meskipun ini sangat menyakitkan.
~0~0~0~0~
Meski dirimu bukan milikku
Namun hatiku tetap untukmu
Berjuta pilihan disisiku
Takkan bisa mengantikanmu
Walau badai menerpa
Cintaku takkan ku lepas
Berikan kesempatan untuk membuktikan
Ku mampu menjadi yang terbaik
Dan masih menjadi yang terbaik
Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya untukku
Biarkan waktuku
Habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar
Cintaku padamu ku tetap menanti
Walau badai menerpa
Cintaku takkan ku lepas
Berikan kesempatan untuk membuktikan
Ku mampu jadi yang terbaik
Dan masih jadi yang terbaik
Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya untukku
Biarkan waktuku
Habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar
Cintaku padamu ku tetap menanti
Penantian panjang
Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya hanya untukku
Biarkan waktuku
Habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar
Cintaku padamu ku tetap menanti
Cintaku padamu..
Ku tetap menanti
Meski dirimu bukan milikku
Namun hatiku tetap untukmu
*Nikita will : kutetap menanti
~0~0~0~0~
4 tahun kemudian
Aku menuruni tangga. Hari ini sangat sial bagiku. Dosen memberikan tugas terlalu belebihan. Mana aku sanggup melakukannya. Aku menggrutu tak jelas. Sungguh sial hari ini.
Bughh
"Eh kamu punya mata gak sih" aku memarahi orang yang telah menabrakku tadi. Sudah sial malah tambah sial.
"Maaf mas... Aku tadi gak sengaja"
Deg
Aku terpaku melihat orang yang tadi menabrakku. Sepertinya aku mengenal suara itu. Ku pandangi wajahnya. Aku mengenali wajah itu. Dia
begitu familier bagiku.
"Fandi?"
The end