Monday 7 January 2013

Kafa and His Love Story



Siang ini terasa sangat panas, semakin panas dengan Ac di dalam kamar yang sedang di reparasi. Kulihat para pekerja di samping rumah sedang sibuk mengutak atik AC. Pemuda berbadan gelap dengan keringat yang bercucuran mengalir di pipinya. Aku kagum dengan pemuda itu, pemuda yang rela berpanas-panasan hanya untuk memenuhi kebutuhan  hidupannya.
Tak terasa aku terlalu lama mengamati mereka yang bekerja di luar sana dan membuat perutku sudah merasa lapar. Aku menuruni anak tangga di rumah yang menurutku terlalu besar untuk di tinggali oleh tiga orang yakni Aku, Mama, dan bik Yuyun pembantu rumah. Hingga akhirnya aku tiba di dapur dan melihat bik Yuyun sedang duduk sambil memilah sayuran untuk di simpan di lemar es.
“Bik, Tolong angetin lauknya ya, perutku sudah lapar nih” Kataku sambil duduk di meja makan. Bik Yuyun langsung menoleh dan berdiri. “Den lauknya masih yang tadi pagi itu, kalau aden mau biar bibik masak yang baru lagi” kata bik Yuyun penuh perhatian.
“Sudah Bik, Angetin lauk yang tadi pagi aja!” kataku sambil mengupas buah jeruk di meja. Tanpa disuruh dua kali bik Yuyun sudah melakukan tugasnya. Aku memandangi wanita tua itu dari belakang yang sedang sibuk bekerja. Hanya dialah yang selalu menjadi temanku di rumah ketika mama bekerja di kantor. Selain itu ada sopir keluarga yang juga tinggal di rumah ini, sopir merangkap menjadi satpam rumah bernama Pak Johan.
Setelah makan, aku duduk di ruang tamu membaca koran yang selalu menjadi menu utama mama di kala sedang santai di rumah. Bosan dengan berita di koran, ku rebahkan tubuhku di sofa dan menatap foto mama dan papa yang terpajang di ruang tamu. Ku lihat foto papa dan mama yang sedang menggendong bayi di tanganya. Foto itu mengingatkan wajah papa yang samar-samar dalam ingatan masa laluku.
Rasa bosan mulai muncul dalam diriku, ku putuskan untuk keluar jalan-jalan untuk membuang kebosanan hidup tanpa ada masalah seperti ini. Aku melajukan motorku ke dep.store di kotaku. Memarkirkan motor berjejer dengan motor pengunjung lain dan langsung melangkahkan kaki menuju konter buku yang tidak jauh dari pintu masuk. Udara sejuk di konter buku membuatku betah berlama-lama membaca sinopsis buku yang aku minati.
“Hei, cari buku apa?”  suara perempuan menyapaku di belakang. Aku sudah bisa menebak siapa perempuan itu dan Aku pura-pura tidak mendengarnya dan terus berjalan menelusuri rak buku. “Kafa!” suara itu semakin mendekat dan dia berhasil menghentikanku. Aku membalikan badan dan benar dugaanku, ternyata Irina teman SMA yang selalu membuatku bad mood di sekolah.
“Eh, kamu Rin?” kataku berpura-purak surprise melihatnya.
“Gak usah akting kau Kaf, sebenarnya kamu mau menghindar kan?” Katanya sambil tersenyum padaku.
“Enggaklah Rin, Oia gak bareng teman se genk kamu?” kataku sambil menggaruk kepala bagian belakang.
“Enggak kok Kaf, Neh ada Sepupuku dari jauh datang ke kota ini” Irina dengan bangga memperkenalkan sepupunya.
“Hai, Aku Roy”
“Kafa” jawabku sambil menjabat tangannya.
Setelah selesai memperkenalkan sepupunya Irina langsung pamit pergi. Hal itu membuatku sangat lega karena terbebas darinya yang cerewet dan selalu menjadi pusat perhatian orang-orang. Akupun lekas menuju tempat kasir untuk membayar buku yang aku minati.
Dari konter buku, aku menuju ke food court untuk menikmati dinginnya Es krim yang selalu menjadi andalan di food court itu. Sambil menikmati Es krim dan snack aku memandangi gerombolan pemuda seumuranku yang sedang asik bercanda ria. Melihat itu membuat diriku merasa iri, karena di SMA aku tidak terlalu akrab dengan teman-temanku. Mereka menganggapku orang yang sombong dan dingin, padahal aku hanya anak yang pemalu dan tidak gampang bergaul bersama mereka.
Pandanganku masih tetap fokus ke gerombolan pemuda itu. kulihat ada pemuda yang bergadengan tangan menuju gerombolan itu membuat diriku mengerutkan alis. hingga akhirnya pandanganku terhalang oleh tubuh pemuda yang berdiri di depanku.
“Hai, Sendirian bro?” Mendengar suara itu membuatku kaget dan langsung menatap wajahnya. Ternyata salah satu orang yang ada meja penuh laki-laki itu dan ntah sampai kapan dia sudah berdiri di depanku. “Sorry” jawabku sambil berdiri dan pergi dari food court itu. Aku merasakan hal aneh di tempat itu, aku baru sadar kalau tempat itu mayoritas pengunjungnya adalah laki-laki.
Aku terus memutar otakku tentang tempat itu, dan berhasil menemukan memori yang sudah kusam. Aku ingat kata salah satu temanku dulu  bahwa tempat itu biasa digunakan sebagai tempat berkumpulnya para pecinta sejenis dengan kata yang lebih umum adalah kaum GAY.
“Mampus!” kataku bergumam dan tidak mempercayai bahwa diriku duduk memandangi kaum minoritas itu. meski aku cendrung menyukai kaumku sendiri dalam artian aku juga Gay, namun aku masih menutup keadaaanku dan tidak menerima hal itu.
Aku terus berjalan menghindar dari tempat itu dan berbelok menuju toilet untuk melepas hasrat terpendam. Yang pasti bukan hasrat lain selain buang air kecil. Aku memasuki bilik yang ada di toilet itu dan mengunci pitunya. Ku buka resleting celanaku dan mengeluarkan perkakasku untuk melakukan panggilan alam.
Setelah selesai aku langsung keluar dari bilik toilet dan betapa aku kaget ketika melihat dua orang laki-laki sedang berdiri di depan bilikku. Salah satunya adalah pemuda yang mengagetkanku di food court tadi. Aku cuek saja dan menuju washtafel untuk cuci tangan. Ku dengar langkah sepatu mendekatiku, ku lihat dari cermin ternyata salah satu pemuda itu sudah berdiri di belakangku dengan senyuman yang terlihat dibuat-buat.
“Hai dude!” dengan senyumannya yang jauh dari kata menawan.
“Mau apa lo?” Kataku datar.
“Ngapain tadi liatin kami di food court? Mau gabung kah?” pemuda itu memegang bongkaha pantatku.
Diperlakukan seperti itu membuatku merasa sangat dilecehkan. Aku langsung membalikan badanku dan memegang krah bajunya dengan tangan kiriku. Tangan kananku sudah siap dengan tinjuku. “Kurang ajar lo” kataku geram.
Namun aku melupakan salah satu pemuda yang lebih kekar dan berhasil memegangi tubuhku dari belakang. Aku mencoba berontak namun hasilnya sia-sia karena akhir-akhir ini kesehatanku menurun.
“Apa ini?” kataku ketakutan. Aku melihat pemuda tampan di depanku tersenyum menjijikan dan membuat ketampanannya hilang tertelan senyuman itu. Aku meludahi laki-laki itu dan berhasil membuatnya semakin marah padaku. Tamparan yang sangat keras menghantam mukaku, dan kurasakan bibirku terluka.
Aku hanya diam tak perdaya merasakan sakit teramat di bibirku. “Berani kamu dengan kita?” tantangnya. Dengan sekuat tenaga aku menendang laki-laki di depanku dan berhasil membuatnya jatuh. Dan aku mencoba berontak agar laki-laki di belakangku melepas pegangannya. Namun aku tak berdaya dan hanya berteriak kesakitan ketika laki-laki di belakangku menggit pundakku.
“Diam kau, kalau kau macam-macam ku pastikan telinga kamu putus” Ancamnya yang membuatku bergidik.
“Ampun Mas, salahku apa mas?” aku mulai memohon pada mereka.
“Kamu tak salah, hanya saja wajah dan tubuh kamu membangkitkan naluri binatangku untuk mencicipi nikmatnya tubuhmu”
“Mas, aku bisa berikan uang berapapun yang kalian mau, asal lepaskan aku.” Kataku berusaha mebujuknya.
“Diam! Bruk” tendangan yang keras mendarat di perutku. Rasanya sangat sakit dan melumpuhkan kakiku. Suara tawa terdengar dari laki-laki di belakangku. “Mana kekuatanmu boy? Tadi kau sok berani”  suara itu sangat menjijikan di telingaku. Aku melihat bukuku berada di bawah kakiku dan terdapat tetesan darah di atasnya. Hingga akhirnya aku tidak sadarkan diri hanya gelap dan tak tau apa yang terjadi pada diriku. 
“Kafa, bangun nak” kata laki-laki yang kulihat mirip dengan papaku. Aku kaget ketika aku berada di ruangan luas tak berujung berwarna gelap. “Papa?” Aku bertanya padanya. “Iya nak, ini Papa” laki-laki itu membuka tangan untuk merangkulku. Aku langsung berlari memeluknya meluapkan rasa kangen selama ini.
“Pa, Kafa dimana? Bukannya papa sudah meninggal?” kataku menatap wajahnya.
“Pulanglah nak, mamamu pasti menunggumu” kata papaku sambil melepas pelukannya.
Aku terbangun dari tidurku, ku rasakan sakit di perutku dan sedikit perih dilubang pembuanganku. Ternyata aku sudah compang camping di dalam toilet dan terasa lengket di lubang pembuanganku. Aku sudah tahu apa yang terjadi, ternyata aku sudah menjadi pelampiasan mereka dan untungnya aku masih hidup dan tidak berkahir pemberitaan seperti kasus pembantaian Ryan dari Jombang.
Dengan tertatih-tatih aku berdiri dan memakai celanaku. kaos dan jaketku kurapikan dan membuka pintu toilet. Berjalan perlahan sambil memegang perutku yang tersa sangat sakit. Aku keluar dari toilet dan berhasil menghirup udara segar di luar.
“Kafa!” teriakan Irina mendekatiku. Lagi-lagi aku tak sadarkan diri dan ntah berapa lama hingga akhirnya kurasakan aku sudah berada di rumah sakit. Aku membuka mataku perlahan dan terlihat jarum infus sudah menempel di tangan kananku.
“kamu sudah sadar nak?” Suara mama terdengar disampingku.
“Mama” suaraku parau
“Sudahlah kamu istirahat dulu, Alhamdulillah kamu sudah siuman” kata mama.
Aku baru ingat tentang kejadian yang menimpaku, dan aku tahu suara Irina yang terdengar terakhir kali dan dialah yang membawaku ke sini. Aku ingin mengucapkan trimakasih padanya, aku akan bersikap lebih friendly lagi padanya.
*******
Dua hari aku dirawat di rumah sakit, dan berhasil membuat teman-temanku datang menjengukku. Meski aku kurang bersahabat dengan mereka, namun mereka masih sudi menjenguk keadaanku di rumah sakit.
“Bagaimana keadaanmu Kaf” suara salah satu temanku menayakan keadaanku.
“Aku sudah baikan, dan nanti sore sudah boleh pulang kok” kataku pada mereka.
“Emang siapa yang melakukan ini Kaf? Pasti preman-preman ya? apa aja yang berhasil di ambil mereka?” Irina mulai bertanya tentang kejadian itu.
“Iya Ir, dua orang preman yang melakukan ini, yang mereka kuras adalah isi dompetku” kataku pada Irina dan tak mungkin aku menceritakan bahwa keperjakaanku juga ikut di renggut.
“Yauda Kaf, yang penting kamu masih bisa berkumpul lagi dengan keluarga” kata Roy sepupu Irina yang berada di sampingku. Aku merasa masih trauma melihat wajah laki-laki ganteng, karena mengingatkan kepada dua laki-laki yang telah menodaiku.
“Yaudah, kita pamit dulu ya, semoga cepat sembuh Kaf” Kata teman-teman dan seketika pergi meninggalkanku sendiri di rumah sakit.
            Sore hari ketika mama datang dengan Pak johan dan menjemputku pulang kerumah tiba-tiba aku merasa sakit dalam perutku dan sedikit mual.
“Ma, kafa mau muntah” kataku pada mama. Mama langsung menuntunku ke kamar mandi dan aku langsung tak tahan untuk muntah. Ternyata aku muntah darah dan berbau amis yang bikin aku mual dan terus muntah dan berhasil membuat seluruh isi perutku keluar. Aku yakin mama juga melihat apa yang aku muntahkan dan berlari menuju dokter.
Rencana pulang sore itu batal dan diganti dengan tes darah dan kesahatan lain.
“Ma, pokoknya Kafa mau pulang, kalau mama tidak membawa kafa pulang hari ini, kafa akan pulang sendiri” ancamku pada mama karena sudah bosan dirumah sakit.
“Iya sayang, pasti nanti kamu pulang” kata mama sabar menjawab tuntutanku.
            Waktu yang dinanti telah tiba, akhirnya aku bisa pulang juga saat langit sudah gelap. Perlahan aku berjalan di koridor bersama pak johan yang memapah diriku. Di perjalanan pulang aku membuka jendela mobil dan melihat suasana kota malang di malam hari. Dan ketika melihat sepasang pemuda aku teringat pada dua orang laki-laki itu. membuatku emosi dan mengumpat di dalam mobil “Bangsat!”.
“Kenapa nak?” kata mama di sampingku. Aku diam tak menjawab pertanyaannya. Dan tiba-tiba mobil berhenti perlahan dan kulihat beberapa orang berlari menuju arah depan. Aku juga melihat kedepan dan ternyata ada kecelakaan dan terlihat kepala truk ringset dan terdapat darah. Pak johan menjalankan lagi mobilnya perlahan dan bertanya pada salah satu orang di sana.
“Ada apa mas?” tanya pak johan.
“Ada truk menabrak motor yang dikendarai dua orang pemuda” kata laki-laki diluar
“Kenapa pak?” mama memastika apa yang didengarnya.
“Truk menabrak dua orang pemuda bu, dan sepertinya dua pemuda itu tewas di tempat” kata pak johan
“Innanillahi wainnanillahirojiun” kata mama.
Hingga akhirnya mobil kami melewati truk yang ringset dan kulihat ada dua pemuda yang tergeletak dan belum mendapat pertolongan. Tiba-tiba aku berharap bahwa kedua pemuda itu adalah dua orang yang telah melecehkanku di toilet.
Seminggu berlalu, sakit dalam perutku semakin parah. Aku merasa kulitku berwarna kuning dan sesekali aku muntah darah. Sengaja aku tidak bercerita kepada mama, karena aku yakin mama pasti akan membawaku ke rumah sakit. Selera makanku juga menurun, dan hanya Bik Yuyun yang menyadari perubahan tubuhku.
“Den, Kafa sakit?” kata bik Yuyun.
“Tak usah urus kafa bik, bibik urus saja pekerjaan bibik” aku merasa cepat emosi akhir-akhir ini.
Aku kembali ke kamar dan tak selera makan lagi, ntah apa yang aku rasakan setelah kejadian di toilet itu. ketika mengingat kejadian itu, emosiku kembali memuncak dan beberapa barang di kamar menjadi pelampiasanku. Aku berbaring di kamar, dan seharian aku belum makan dan terdengar suara mama mengetuk pintuku.
“Kaf, kamu kenapa? Kata bik yuyun kelihatannya ada yang beda dengan kamu” Kata mama lembut membelai rambutku.
“tumben mama kawatir padaku? biasanya mama sibuk dengan pekerjan mama, sibuk dengan dunia mama sendiri” kataku berdiri membelakangi mama.
“Kamu kenapa nak? akhir-akhir ini mama merasakan kamu sering emosi”
“Aku sudah bilang ma, aku tidak apa-apa. Lebih baik mama tinggalin Kafa sendiri saja, mama pasti banyak pekerjaan yang lebih penting daripada mengurus Kafa” kataku semakin emosi.
“Terserah Kafa mau bilang apa, mama ke kamar dulu nak” kata mama dan keluar menuju kamarnya.
Apakah kata-kataku telah menyakiti mama? Tak mungin kata-kataku itu bisa menyakiti hati besar mama, karena mama adalah wanita yang kuat. Terserahlah aku tidak mau tau apa perasaan mama, karena mama juga tidak pernah memperhatikanku.
Tiba-tiba aku mual lagi dan seketika aku berlari menuju kamar mandi. aku memuntahkan cairan bau bercampur darah lagi. lama aku di kamar mandi menyelesaikan rasa mualku dan ketika selesai dan kembali ke kamar kepalaku terasa sangat pusing-dan perutku juga sakit. Sakitnya lebih parah lagi, sakit yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ada apa dengan diriku? aku terus berjalan menuruni tangga untuk meminum air putih menghilangkan hausku setelah muntah di kamar tadi.
Aku tuang air putih dan meminum air itu, namun rasa air putih itu pahit dan lagi-lagi aku muntah di dapur namun tidak sebanyak di kamar mandi tadi. Aku merasa lemah dan tak punya tenaga memegang gelas di tanganku dan seketika aku terjatuh dan terdengan suara pecahan gelas dan teriakan bik Yuyun. Setelah itu semuanya gelap dan aku tak ingat lagi apa yang terjadi.
************
Perlahan Aku membuka mataku dan kulihat langit-langit berwarna putih. terdengar suara seirama dengan denyut jantungku yang terletak di sampingku. Aku masih berselimut dengan tangan penuh dengan alat medis yang ku tahu hanyalah jarum infus yang berada di tanganku itu yang menandakan aku di rumah sakit.
Aku tak melihat siapa di ruangan itu, namun tiba-tiba pintu terbuka dan terdengar suara mama yang senang melihatku sadar.
“Dokter, suster” teriak mama di pintu.
“Mama” kataku mencoba memanggilnya.
Seketika dokter dan dua orang suster masuk membelakangi mama untuk memeriksa keadaanku. Dan seorang suster menyuntikan obat si dekat jarum infusku.
“Semuanya normal, dan kondisi anak ibu ada kemajuan” kata seorang dokter kepada mama.
“Kafa, kamu sudah siuman nak, mama khawatir padamu” kulihat mata mama berkaca-kaca sambil memegang tanganku.
“Ma, Kafa ingin pulang” kataku dengan suara berat.
“iya nak, tapi kamu belum sembuh total” kata mama penuh kelembutan seorang ibu.
Aku melihat ke kalender yang ada di dinding itu dan ternyata kalender disana sudah menunjukan bulan november. “Ma, sekarang tanggal berapa?” kataku ketika melihat kelender itu.
“Tanggal 14 november sayang” Kata mama dan membuatku terkejut ternyata aku sudah empat minggu di rumah sakit.
“Ma, Kafa sakit apa?” kataku ingin tahu.
“Mama juga tidak tahu, tapi kata dokter penyakit kamu sudah hilang karena kamu telah menjalani operasi” mama membuka kain penutup jendela dan berhasil membuat sinar matahari pagi masuk kedalam ruangan.
Hari-hariku di rumah sakit sangat membosankan, seminggu dirumah sakit sudah sangat membosankan, bagaimana dengan empat minggu yang telah kulalui? Mungkin karena aku tidak sadarkan diri maka aku hanya merasa dirumah sakit satu hari saja. Namun ketika aku sadar aku di rumah sakit sudah seminggu dan membuat aku bosan ingin cepat pulang. Bekas jahitan di perutku juga sudah kering dan terkadang aku juga berjalan di sekitar rumah sakit untuk menghilangkan rasa jenuhku sendiri di rumah sakit.
Kabar yang kutunggu akhirnya datang juga, aku sudah boleh dibawa pulang ke rumah dan menjalani perawatan di rumah. ketika sampai dirumah aku disambut oleh seorang pemuda seumuranku dan kulihat wajahnya mirip dengan papa. Kata mama pemuda itu masih keponakan jauh papa yang nasibnya sangat jauh dari kehidupanku.
Ntah kenapa ketika melihat pemuda itu aku merasa sangat membencinya, apakah karena pengalaman yang dulu masih membekas dalam benakku? Yang pasti aku benci melihat gayanya yang sok rajin di depan mama. Berjalan dengan tongkat dan berhasil menarik perhatian mama. Tak terasa bibirklu mengatakan kata-kata yang mungkin menyakiti hatinya. “Dasar kampungan” katika dia menjulurkan tangannya dan menyebutkan namanya yakni Rafa.
Aku masuk ke rumah dengan dibantu pak Johan. Aku mencoba melepas pegangan pak johan yang menganggapku terlalu lemah. “Sudah pak, lepaskan! Aku tak selemah yang pak johan kira” kataku datar. Pak johan langsung melepas pegangan tangannya.
Aku berjalan sendiri ke lantai dua dan Pak johan masih membuntutiku memastikan Aku tidak jatuh saat menuju kamar. Kuhabiskan waktuku berhari-hari di kamar dan sesekali ku melihat Rafa belajar berjalan tanpa tongkat. Ada perasaan senang ketika melihatnya terjatuh dan berusaha berdiri lagi dengan tongkatnya. Namun perasaan untuk membencinya semakin parah ketika aku melihat Rafa sangat akrab dengan bik yuyun dan Pak Johan. Sesekali aku melihat mama sangat memperhatikannya, dan aku merasa kedatangan Rafa akan memperparah mama untuk tidak peduli kepadaku.
Aku sudah sembuh total, dan ku mulai melanjutkan sekolahku yang telah lama aku tinggalkan untuk berobat. Rafa juga mulai sekolah dan yang ku tahu dia dibiayai oleh mama. Meskipun sekolah kami berbeda namun kita berangkat sekolah bersama dengan di atnar oleh Pak johan dan pulangnyapun bersama.
Akhirnya timbul ide untuk ngerjain dia, aku berniat untuk membuatnya berjalan kaki dari sekolahnya sampai rumah.
“Pak, tadi Rafa sms katanya dia mau pulang dengan temannya jadi kita gak usah menyusulnya dan aku mau Pak johan mengantarku ke toko buku sebentar” kataku ketika Pak johan menjemputku di sekolah.
Sesampainya di rumah, Aku tersenyum puas ketika Rafa belum datang juga ke rumah. pasti dia lagi kebingungan menunggu Pak johan menjemputnya. Aku langsung menuju kamar untuk mandi dan sholat dan langsung menuju dapur untuk makan siang.
“Bik, bibik daritadi ngapain kok baru masak?” kataku protes ketika melihat bik Yuyun masak.
“Tadi bibik pusing Den, maafkan bibik” kata bik Yuyun yang terlihat pusat. Aku hanya diam tanpa meresponnya. Dan tiba-tiba terdengar suara mama masuk bersama suara Rafa.
“Hai Raf, capek ya jalan kaki?” kataku ketika dia meminum air putih di dekatku. Mama melihatku dengan perasaan marah dan aku tahu pasti mama sudah curiga bahwa aku yang menyebabkan Rafa jalan kaki.
“Sehat loh Kaf, jalan kaki. Dengan berjalan kaki kita tidak gampang sakit, dan di kampung dulu aku naik-turun bukit untuk kesekolah” kata Rafa dengan bangganya.
“Pantesanlah, kamu kan orang kampung Raf” kataku datar menekankan bahwa dia sadar dengan ke kampungannya.
“Masak Apa bik?” kata Rafa pada bik Yuyun.
“Ini Mas, bibik lagi masak opor ayam kesukaan Den Kafa” jawab bik yuyun sambil tersenyum padaku.
“Yaudah bik, Rafa ke kamar dulu dan nanti ku bantu bik Yuyun” kata Rafa sambil berlalu di sampingku. Ketika melewatiku sengaja ku sleding kakinya dan berhasil membuatnya terjatuh. Aku hanya tersenyum melihatnya terjatuh disampingku. Kulihat tak ada emosi diwajahnya, dia hanya tersenyum dan senyumannya terlihat sangat tulus.
Hari berikutnya aku melihat Rafa berbdiri di pinggir kolam, ntah apa yang dia pikirkan dan yang ku tahu dia sedang melamun sesuatu. Muncullah ide untuk mendorongnya ke kolam. Aku dekati rafa dari belakang perlahan dan ketika sudah dekat seketika aku mendorongnya terjun ke kolam di halaman belakang.
Aku tertawa melihatnya yang sudah shock dan terdengar dia meminta tolong. Aku yakin dia hanya berpura-pura tidak bisa berenang dan aku menikmati dirinya yang berusaha untuk tetap mengapung di air. Tiba-tiba pak Johan melompat dan menolongnya ketepian. Kulihat Rafa batuk tersedak air dan saat itu ku tahu bahwa dia memang tidak bisa berenang.
“Apa-apaan kamu Kaf, kamu belum berubah kamu masih tidak menghormati orang di rumah ini.” teriak mama. “Apa? Pembantu seperti mereka harus dihormati?” kataku menantang. “Kafa, dulu kamu adalah anak yang baik, namun setelah di berikan kebebasan oleh mama kamu menjadi liar sampai kamu jatuh sakit” mama meneteskan air mata. “Mama tak pernah peduli pada Kafa, mama selalu sibuk dengan kerjaan mama, kenapa mama selamatkan Kafa? Bukannya kalau Kafa meninggal mama tak repot lagi?’ aku langsung berlari menuju kamar dan terdengar suara teriakan mama memanggil namaku.
Aku merasa bahwa aku telah keterlaluan menentang mama, sebenarnya aku tak kuasa melihat mama yang meneteskan mata mendengar pembelaanku tadi. Dan tiba-tiba aku mendengar ketukan pintu diikuti suara Rafa memanggil namaku. Aku hanya diam dan Rafa mencoba membuka pintu kamarku “Heh lancang kamu ya, masuk kamar orang tanpa izin” kataku memarahinya. Dia hanya meminta maaf dan kawatir dengan keadaanku.
Stop, jangan dekati aku, aku tak sudi berdekatan dengan gembel yang hanya jadi parasit di rumah orang” Aku membentaknya dan berhasil membuatnya berhenti.
“Kafa, sebenarnya aku tak mau jadi parasit di keluarga kamu” Rafa membela diri. “Baguslah, sebaiknya kamu pergi saja” Kataku dengan pandangan penuh amarah.
“Ok, aku akan pergi tapi kamu harus tau satu hal Kafa” Dia menunjukku dengan geram. “Ada apa gembel?” aku berdiri menentangnya berharap perkelahian terjadi dengannya. “Ingat Kafa, kamu boleh sombong sekarang dan bilang kalau kamu tak mau dekat denganku karena aku gembel, apa kau gak tau dalam tubuhmu itu ada organ milik seorang gembel” Dia mengatakannya penuh semangat dan langsung pergi membanting pintu kamarku.
Aku duduk kembali di kasurku dan memikirkan apa yang dimaksud dirinya tadi. Ada organ milik orang lain di tubuhku? jangan-jangan ini berkaitan dengan luka jahitan di perutku ini. Sejurus kemudian aku menuyusl Rafa ke kamarnya. Aku memegang lenganya dan memaksanya untuk menjelaskan kata-katanya tadi.
. “Aku akan cerita jika kamu meminta dengan sopan! setelah itu aku akan pergi dari rumah kamu ini.” kata Rafa memandangku tajam.
“Maaf Raf”, kataku meminta maaf padanya dan merengangkan peganganku. Dan akhirnya dia mulai bercerita tentang dirinya dan abangnya yang rela menonorkan hatinya untuk diriku. Setelah bercerita Rafa berpamitan “Kafa, aku pergi dulu, sayangilah ibumu sebelum kau kehilangan semuanya sepertiku, dan gunakanlah hati itu sebaik-baiknya” Rafa langsung keluar dari kamarnya.
Aku sadar bahwa selama ini aku salah bersikap kepada mama, Rafa dan Orang-orang dirumah. Aku terlalu emosi dengan pengalaman menyakitkan tempo dulu. Aku langsung memegang tangan Rafa dan memohon padanya “Rafa, maafkan aku, maafkan semua kesalahanku padamu, aku lakukan semua ini hanya merasa ingin di perhatikan oleh mama.”, tak terasa air mataku menetes berharap maaf darinya.
Rafa langsung berbalik dan memegang pundakku, “Kafa, jika kepergianku bisa membuat kamu bahagia aku akan pergi dari sini” Rafa tersenyum padaku, senyumannya sangat tulus dan membuatku semakin ingin mempertahankannya. Dan akhirnya aku berhasil membuat rafa bertahan dirumahku ini.
*********
Hari-hariku sekarang sudah berubah dan ketika menginjak bangku kuliah kurasakan ada rasa cemburu ketika Rafa berkenalan dengan gadis cantik yang berasal dri derah sama dengan dirinya. Rafa selalu menceritakan tentang gadis bernama Vika itu dan selalu berhasil membuatku cemburu.
Rasa cemburu itu bukan tidak beralasan, alasannya adalah aku mulai mencintai Rafa. Hingga akhirnya ketika kita camping bersama terjadi hal yang paling di nantikan diriku. ntah sengaja atau tidak Rafa memelukku ketika tidur dan aku membalasnya dengan lebih dan tidak tahu siapa dulu yang memulai. Akhirnya malam indah itu menjadi kenangan terindah dan di hari yang sama aku jadian dengan Rafa.
Hubungan kami sangat harmonis, dan tak pernah kurasakan indah cinta selain bersamanya, namun semua berubah ketika malam ulang tahun Rafa. Dia mendapat hadiah dari mama berupa surat dari almarhum abangnya. Rafa terlihat sangat senang dengan surat itu dan berlari meninggalkanku menuju kaarnya. aku juga sangat senang melihat ekspresinya yang bahagia seperti itu.
Aku merasa rafa terlalu lama di dalam kamar, aku segera menghampri kamar rafa dan mengetuk pintunya. Tumben lama dia membuka pintu, dan ketika membuka pintu aku melihat matanya selesai menangis dan ketika ku tanya ternyata dia berbohong padaku.
Ntah apa yang rafa pikirkan, dia menanyakan tentang kesamaan nama kami berdua dan menanyakan nama papa. Ketika ku memperlihatkan foto papa di kamar dan memberitahu nama papa, Rafa sepertinya berubah seketika dan pamit utuk kembali ke kamarnya lagi.
Aku pikir rafa ingin membutuhkan waktu setelah mendapatkan surat dari abangnya, tapi apa yang di tulis abang rafa ya? aku jadi khawatir memikirkan isi surat yang ditulis Putra untuk rafa itu. Aku terus memikirkan rafa dan membuat diriku tidak bisa tidur semalaman. Banyak yang aku pikirkan tentang sikapnya hari ini, kenapa dia menanyakan tentang kesamaan namaku, nama papa dan foto papa? Itulah pertanyaan yang membuatku tidak bisa tidur.
Hingga terdengar adzan subuh, aku masih tidak bisa memejamkan mataku, dan kuputuskan untuk sholat dan sebelumnya aku turun menuju dapur untuk minum. Ketika di dapur kulihat kamar Rafa terbuka dan Dia keluar perlahan dengan tas ranselnya. Aku ingin menegurnya namun aku masih ingin tahu apa yang akan dilakukan Rafa. Aku sembunyi di gelapnya dapur dan ketika rafa keluar melewati pintu aku langsung menuju kamarnya.
Di kamarnya aku menemukan amplop dari putra dan membuka isinya. Betapa aku kagetnya ketika membaca surat itu yang berisi tentang diri rafa dan Abangnya dan rahasia yang dibawa oleh abangnya. Rafa ternyata saudara tiriku, saudara se-ayah dengan diriku.
Aku langsung berlari keluar dari kamarnya untuk mengejar Rafa. Namun tiba-tiba aku menabrak mama yang sedang menuju dapur.
“Kafa?” kata mama heran. Aku langsung memberikan dua lembar foto Rafa ke mama dan aku menuju garasi mengeluarkan motorku.
“Kafa, kamu mau kemana?” suara mama terdengar memanggilku. Aku tidak mempedulikan panggilan mama dan terus menuntun motorku. Aku melajukan motorku dan tak tahu harus kemana mencari Rafa, namun di dalam pikiranku rafa akan pergi ke terminal.
Ketika di terminal kulihat dirinya sedang duduk memandangi kendaraan yang berlalu lalang. Aku langsung memarkirkan motorku di pinggir jalan dan berlari menghampirinya.
“Rafa” aku memanggilnya dan berhasil membuat dirinya menoleh. Aku berharap dia tersenyum padaku, namun aku salah dia berdiri dan berlari menghindar dariku. Aku terus mengejarnya memperpendek jarak antara kita. Dan akhirnya aku bisa meraih ranselnya dan membuat dia berhenti “ hei, Kamu mau kabur kemana?” kataku dengan nafas terengah-engah.
“Apa lagi yang belum aku tahu raf?” kataku sambil menunjukan amplop milik Rafa.
“Jadi, kamu sudah tahu semuanya?” jawabnya sedikit sedih. Aku langsung memeluknya dan berkata “Raf, ternyata aku punya saudara, dan itu kamu” aku menangis karena senang. Dan tiba-tiba mama datang mendekati kami “Raf, ternyata kamu adalah anak mas Farhan” kata mama dan sambil melanjutkan tentang cerita papa dan perminaan terakhirnya.
Selama ini mama mencari Rafa dan tak pernah tahu apakah Rafa hidup atau sudah mati, namun hari ini semuanya sudah berkumpul dan aku sangat bahagia mempunyai saudara sepertinya. Aku tahu rafa pergi karena tak mau menyakiti hatiku tentang harus berkahirnya cinta kita. Namun aku tahu itulah yang terbaik buat kami berdua.
“Raf, kta sekarang benar-benar bersaudara dan tak ada Best Friend lagi” kataku sambil memeluk rafa dan mama. Mama dan Rafa tertawa renyah dan kebahagiaan kami sangat sempurna dengan adanya Rafa. Semoga kebahgiaan itu selalu terjaga sampai akhirnya aku menutup mata.
SEKIAN
Terimakasih sudah sempat membaca tulisan ini, pastilah banyak salah ketik dalam tulisan ini karena aku menulisnya juga terlalu terburu-buru dan terlalu padat dengan kegiatan lain. Dan saatnya untuk berkomen ria bagi kawan-kawan komentator yang handal. Hujat dan Hina juga tak apa :-D
Ray Rowling

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya, besar harapan penulis tolong tinggalkan jejak dalam kolom komentar, terimakasih....