Tuesday, 8 January 2013

Vino dan Mimpinya



Di mataku sore itu terlihat sangat indah. Langit senja menyemburkan warna jingga kemerahan yang memayungi barisan rumah bilik bambu di pinggir rel kereta api. Namun keindahan itu tidak dapat menerangi hatiku yang kelabu. Hati seorang yang putus asa, hati seorang yang tidak ada pilihan lain lagi selain mati menjemput maut.
Aku terus berjalan di tengah jalur kereta api untuk menjemput malaikat mautku. Wajahku terasa sangat tebal dengan luka lebam dan bibir berdarah yang segar. Kulihat kedua tanganku juga masih terdapat darah yang sudah mengering. Aku tak mau hidup lebih lama lagi, Aku hanya ingin hidup di dunia lain yang jauh dari keluargaku dan kehidupan fana ini, menunggu seseorang yang kucintai disana.
Jantungku berdegub semakin kencang ketika goresan pedang malaikat mautku terdengar dari kejauhan. Suara gemuruh dan klakson kereta api membuat diri ini tak berdaya dan hanya bisa pasrah dan memejamkan mata. Selamat tinggal ayah, selamat tinggal kakak, dan selamat tinggal Danu, You are my love until the end.

**Dua bulan sebelumnya**

“Vino” hardik ayah ketika Aku menyisir rambutku yang basah. Aku harus cepat membuka pintu kamar sebelum hardikan ayah berubah menjadi amarah. “Iya yah” kataku sambil menundukan kepala. “Aku kira kamu belum bangun, cepat makan!” kata ayah datar dan langsung menuruni tangga kembali ke dapur.
Aku langsung turun menuju dapur berkumpul dengan Ayah dan kedua kakakku Dika dan Diko. Aku jarang melakukan komunikasi dengan Ayah dan kak Dika karena mereka selalu bersikap dingin dan kasar kepadaku. “Kalau makan itu yang bener! Jangen lelet!” lagi-lagi ayah membentakku. Aku segera memposisikan diriku tegap dan melahap makananku dengan serius. Ku lirik kak Diko tersenyum melihatku sambil menggerakan Alisnya menghiburku yang selalu tertekan di rumah.
Setelah makan Aku pun kembali ke kamar untuk mengambil tas dan sepatuku. “Hufh, akhirnya selesai juga sarapanku” Aku mengeluh sendiri di dalam kamar. “Kamu yang sabar ya Vin” suara kak Diko mengagetkanku. Hanya Kak Diko di rumah ini yang selalu menganggapku bagian dari keluarga ini. Aku tersenyum pada Kak Diko dan memeluknya “Kak, sampai kapan mereka membenciku? Sudah 19 tahun lamanya mereka kasar terhadapku” Aku mencoba meluapkan semua perasaanku. “Kamu yang sabar aja ya, suatu saat mereka juga menyayagimu” kata-kata itu sudah lazim di telingaku, namun selama ini masih saja Ayah dan Kak Dika bersikap arogan dan kerap menghadiahkanku tinjunya.
“Yaudah, mending kamu berangkat kuliah, nanti telat loh! Oia nih buat jajan” Kak Diko menjulurkan uang lima puluh ribu untukku. Aku berterimakasih kepada kak Diko dan mulai berjalan menuju pintu kamar. Kak Diko yang ada di depanku langsung turun menuju garasi. Sedangkan Ayah dan kak Dika berangkat ke markas TNI untuk menjalani kegiatan rutinnya.
Akhirnya usai juga ketegangan pagi ini. Aku sangat senang ketika semuanya sudah sibuk dengan pekerjaannya. Ayah dan Kak Dika yang berangkat ke Markas TNI, sedangkan Kak Diko berangkat ke kantor polisi. Aku pun langsung turun dari kamar menuju garasi dan mendekati motorku yang berdiri sendiri di garasi. Aku memanasi motor sambil mengeluarkannya dari garasi, memakai helem dan langsung meluncur ke kampus.
Sesampainya di kampus ujian mental belum berakhir. Stage dua ujian mental dimulai. Ketika memasuki tempat parkir kampus sambutan kata “Profesor” sudah bersautan ditelingaku. “Pagi prof, Hai prof, prof…” panggilan itu selalu mengisi hari-hariku di kampus. Aku dipanggil dengan sebutan profesor bukan karena Aku pintar ataupun rajin ke perpustakaan, namun gara-gara penampilanku yang terlalu rapi dan culun untuk lingkungan kampusku. Dengan kacamata tebal rambut rapi disisir kesamping dan pakaian ala guru tahun 60an.
Berpakaian rapi seperti itu hanya membuat para dosen senior senang melihatku dan tak hayal Aku selalu menjadi anak emas di kelas. Namun di mata teman-temanku penampilanku ini sudah sangat jadul (jaman dulu) yang lolos seleksi alam dan mestinya dimusnahkan. Sebenarnya Aku malu dengan apa yang dikatakan teman-teman kampus namun Aku tidak mempunyai keberanian dan kepercayaan diri yang besar untuk merubah penampilan yang sudah tercetak saat Aku di sekolah dasar.
Apalagi, Ayah yang selalu suka melihatku berpenampilan seperti ini. Pernah sekali Ayah memukuliku gara-gara Aku ke kampus memakai celana jeans. Dan saat itu juga Aku tak berani memakai jeans ke kampus, lebih baik bertahan dengan sebutan profesor daripadan mendapat tinju dari ayah.
Tak terasa hari sudah mulai sore, Aku segera kembali ke rumah dengan terburu-buru, karena jika Aku terlambat pulang pasti Kak Dika akan membentakku. Di perjalanan pulang ketika melewati kompleks perumahan Aku menemukan kelinci putih yang tergeletak di jalan. Sepertinya kelinci ini korban tabrak lari dan tidak seorang pun menolongnya. Aku segera memeriksanya dan ternyata kelinci putih kecil ini masih hidup, Aku langsung membawa kelinci itu ke rumah untuk dirawat.
Sesampainya di rumah Aku mencoba mencari kardus di gudang dan meletakan kelinci itu di kamar. Kaki kelinci malang itu patah, dan langsung ku balut dengan kain kassa. “Semoga aja kamu sembuh yah” Aku mengelus kelinci putih itu. “Adek pelihara kelinci?” Kak Diko masuk kamar mengagetkanku. “Eh enggak kak, Ini Aku temukan di jalan dan kakinya patah, jadi Aku putuskan untuk ku rawat dan ku kembalikan setelah sembuh” Jawabku sambil melihat kelinci putih itu. “Yaudah, sembunyikan ya! Jangan sampai ketahuan Diko karena dia Akan marah” Kak Diko mencoba mengingatkanku.
Seminggu kemudian kelinci itu sudah mulai berjalan lagi, saatnya Aku mencari pemiliknya. Aku membawa kelinci itu menuju tempat saat kelinci itu tergeletak. Ketika Aku duduk di atas motorku kulihat seorang pemuda tampan, tinggi dan sedikit pucat sedang membuang sampah di depan rumahnya.
“Mas, maaf ganggu” Aku mencoba memanggilnya ketika dia berjalan masuk ke rumahnya. Dia menatapku seperti tatapan teman-temanku yang selalu menatap keanehan dalam diriku, namun berbeda dengan teman-temanku yang mengerutkan alis ketika pertama melihatku. Dia tersenyum dan menjawab panggilanku “Iya, bisa saya bantu?” itulah pertama Aku mendengar suaranya yang berhasil membuat diriku menganggap semakin sempurnalah dirinya.
“Seminggu yang lalu, Aku menemukan kelinci ini tergeletak di sana. Mas tahu siapa pemilik kelinci ini?” Aku menjulurkan kardus berisi kelinci. “Fio? Iya ini kelinciku dan hilang seminggu yang lalu”, jawabnya yang terlihat sangat senang. “Syukurlah, oia Aku Vino” Aku menjuluran tanganku dan memperkenalkan diriku. “Aku Danu, Ayo masuk dulu Vin”, Danu menjabat tanganku dan langsung menarikku ke dalam halaman rumahnya. “Eh, motorku masih disana” Aku mencoba menahan tarikan tangannya. “Oh, Iya. Masukan saja motornya” Kata Danu sambil melepas pegangan tangannya.
Aku menuju motorku dan memasukannya ke halaman rumah Danu. Kulihat halaman itu penuh dengan rumpt hias dan beberapa tanaman yang hijau. “Rumahmu sejuk ya!” Kataku sambil melihat keseluruh sudut halaman. “Begitulah” Jawab Danu singkat.
Danu menyuguhkan secangkir teh dan beberapa potong kue bolu. “Jadi kamu yang merawatnya hingga kelinci itu sehat lagi? bakat jadi dokter hewan nih” Danu membuka percakapan. “Halah, biasa aja lagian Aku kuliah bukan di medical hanya seorang mahasiswa ekonomikataku sambil tersenyum malu. Percakapan kami terus mengalir seperti seorang sahabat yang sudah sangat akrab. Hingga kehidupan keluarga kami berdua menjadi topik perbincangan.
Dari cerita Danu, ternyata Danu juga seperti diriku , tidak mempunyai ibu dan tinggal di indonesia bersama pembantu yang mengurusnya. Ayah dan adik perempuannya tinggal di luar negeri. Ibu Danu sudah setahun meninggal. Aku juga menceritakan tentang kehidupanku yang selalu hidup dalam ketegangan di dalam rumah, dan hidup penuh olokan di kampus akibat penampilanku.
Hingga sebulan lamanya Aku berteman dengan Danu, dan cinta itu mulai tumbuh dalam diriku. laki-laki pertama yang Aku cintai dulu adalah kakak kelasku bernama Farhan, namun sayang Farhan bukan seorang homoseksual dia murni laki-laki heteroseksual yang mau menjalin hubungan hanya dengan lawan jenisnya. Aku langsung membuang rasa cinta itu dan fokus dengan sekolahku. Namun hari ini Aku kembali jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang baru sebulan ku kenal yakni Danu.
Di minggu pagi ketika di rumahnya Aku mengorek tentang pribadinya. Apakah dia sama sepertiku seorang gay ataukah dia seorang hetero? Tak mungkin bagiku untuk bertanya langsung padanya dengan kalimat ‘Dan kamu gay bukan? Atau Dan kamu suka cowok gak?’ itu akan merusak pertemananku dengannya. Lebih baik Aku mengorek hal pribadinya itu dengan pertanyaan-pertanyaan lain saja.
 “Dan, selama Aku berteman dengan kamu kenapa Aku tak pernah melihatmu jalan dengan pacarmu?” Aku memulai mengorek informasi. “Oh, Aku sudah tiga bulan putus dengan pacarku Vin, kenapa?” jawabnya yang ditutup dengan pertanyaan buatku. “Tiga bulan putus? Yang sabar aja ya karena stok cewek di dunia ini masih banyak kok” Aku meliriknya ketika mengatakan hal itu. Terlihat Danu tersenyum melihat kelincinya berlarian. “Terus? Kamu kenapa tidak jalan dengan cewekmu Vin?” mampus pertanyaan itu menghantam diriku. Tidak mungkin Aku menjawab, sorry Dan Aku tak suka cewek atau Aku gay Dan. Untung Aku masih punya jawaban lain yang  lebih pantas dan masuk akal baginya “Mana ada cewek mau ma diriku yang culun ini Dan” Aku akhiri dengan nada tertawa.
“Yaudah, gimana kalau Aku…?” Danu memotong kalimatnya dan kemudian tersenyum sendiri. “Kamu kenapa Dan?” tanyaku yang berharap kelanjutan kalimatnya adalah Aku ingin jadi kekasihmu. “Tapi tak mungkin kamu mau Vin” jawab Danu semakin membuat aku penasaran. “Bagaimana Aku mau kalau kamu belum mengatakannya”  jantungku semakin berdegub kencang berharap hal konyol dikatakan Danu. “Yaudah Aku ingin bilang kalau Aku ingin merubah penampilanmu itu” Danu tersenyum padaku. Shit! Aku pikir dia akan mengatakan cinta padaku, ternyata Aku salah.
“Okelah, apapun yang menurutmu bagus buatku Aku akan mencobanya” jawabku yang berhasil membuat Dia kegirangan. Hal pertama yang dilakukan Danu adalah membawa diriku ke salon. “Vin, kamu harus merubah style rambutmu dan salon ini adalah salon langananku” kata Danu sambil memasuki Salon. Tak perlu waktu lama untuk membentuk rambutku, hanya tiga puluh menit style rambutku berubah menjadi rambut acak dan sedikit poni mengarah ke samping kanan bawah. “Wow, Ini Vino?” Kata Danu memujiku yang berhasil membuat mukaku memerah.
“Yaudah, kita balik ke rumah lagi Vin, Langkah kedua sudah menunggu di rumah” kata Danu sambil menatapku dengan senyumannya yang menawan. Namun tiba-tiba ponsel Danu berdering “Halo, ada apa Yan? Sorry Aku tak punya waktu bye!” begitulah yang Aku tangkap dari pembicaraan Danu dengan wajah kesalnya.
“Siapa Dan?” tanyaku ingin tahu. “Biasa sang mantan” kata Danu datar. Aku langsung kaget karena nama yang di sebutnya adalah “Yan” Ryan kah? Atau Sofyan? Nama-nama laki-laki berakhiran Yan mengisi pikiranku. “Oh mantan kamu! hmm emang siapa namanya tadi Aku dengar kamu manggil dia dengan panggilan Yan atau yank ya?” kataku menggodanya.
“Hehe, namanya Dian” seperti biasa Danu tersenyum ketika menjawab semua pertanyaanku. Mendengar kata Dian Aku langsung mengeneralisasi bahwa Danu adalah laki-laki hetero, Nama Dian adalah nama buat cewek dan yang ada dalam pikiranku adalah Dian Sastro aktris cantik indonesia dan Dian wiji utami gadis cantik di kampusku. “Pasti Dian itu cantik ya?” kataku asal. Danu terkekeh tanpa menjawab pertanyaanku.
Sesampainya di rumahnya, Danu membawaku menuju kamarnya. ini adalah pertama kali Aku memasuki kamar Danu, karena sebelumnuya Aku hanya menginjakan kakiku di ruang tamu dan halaman belakang. “Vin, kamu cobain pakaian-pakaian ini” Danu menunjuk beberapa kantong plastik yang ada di atas kasur. “Hah? Kamu membelikan ini buatku Dan?” Aku tak bisa menyembunyikan kesenanganku.
“Iya, beberapa potong pakaian yang sengaja Aku belikan untukmu biar kamu bisa merubah penampilanmu” kata Danu sambil mendorongku menuju pakaian-pakaian itu. “Terimakasih Dan, tapi apakah kamu akan tetap di sini ketika aku mencoba pakaian-pakaian ini?” Aku meliriknya dengan tujuan menggodanya. “Haha, ok Aku keluar dulu Vin, kamu cobain aja” kata Danu sambil menutup pintu kamarnya. Aku langsung memakai T-shirt dan celana jeans dan merapikan diri di depan meja rias di kamar Danu.
Di atas meja itu terdapat bingkai foto yang diletakan terbalik. Aku coba meraih bingkai foto itu dan membaliknya. Terlihat foto Danu dengan seorang laki-laki seumurannya dan laki-laki itu sama tampannya dengan Danu. Mungkin ini adalah sepupu Danu dan lumayan siapa tau nanti Aku bertemu dengannya pikirku. Bagaimana kalau laki-laki ini sama seperti Aanu? Laki-laki normal yang tidak mungkin menjalin cinta sejenis. Pikiranku berkecamuk dengan cinta yang Aku butuhkan di dunia ini.
“Wah, kamu pantes banget pakai pakaian itu Vin, Aku jadi pangling melihatnya” suara Danu mengagetkanku dari belakang. Aku berbalik dan lupa meletakan kembali bingkai foto yang aku pegang. “Sorry Dan, aku lancang melihat foto ini, tapi ku hanya ingin membuat foto ini berdiri kembali” kataku ketika Danu melihat foto yang Aku pegang.
“Itu tidak masalah Vin, foto itu memang sengaja Aku letakan terbalik dan sebentar lagi foto itu akan Aku buang ke tempat sampah” kata Danu sambil menghampiriku dengan jus jeruk di tangannya. “Emang kanapa Dan? Foto ini pasti saudara atau sepupumu ya?” tanyaku sambil memberikan foto itu pada Danu dan mengambil jus jeruk kemudian ku letakan di meja. “Bukan, Dialah yang bernama Dian, Dian Wahyu pratama. Laki-laki yang pernah mengisi hari-hariku dulu” Danu menatapku dengan tajam.
“Kamu?” tanyaku gugup. “Iya, Aku sama sepertimu Vin, laki-laki pilihan yang saling mencintai sesamanya” Danu memegang pundakku. Sama? Bagaimana dia tahu tentang diriku? Aku diam dan sedikit ketakutan. “Pasti kamu berfikiran bagaimana Aku tahu kamu juga seorang gay?” Danu tersenyum menatapku yang terpojok. “Kamu tau darimana Dan?” mukaku memerah ketika Danu semakin mendekatkan wajahnya kewajahku. Jantungku semakin berdegub kencang dan berkeringat “Perasaanku yang mengatakannya”. Hembusan nafas Danu semakin memburu dan sekejap Danu mendaratkan bibirnya di bibirku. Aku hanya memejamkan mata menikmati ciuman Danu.
“Cklek” di ikuti kilatan cahaya membuat Danu melepas ciumannya. Ternyata ada seseorang yang berdiri di dekat pintu sambil memegang kamera digital. “Dian!” Danu kaget. “Ternyata ini yang membuat kamu berpaling dariku Dan, tapi tidak apa-apa Aku akan menghancurkan hidupmu dan hidup laki-lakimu itu” Dian langsung berlari ke luar. “Dian!” teriak Danu dan mengejarnya sedangkan diriku hanya mematung di dalam kamar Danu.
Beberapa menit kemudian Danu kembali lagi. “Dan? Aku ketakutan dengan ancaman Dian” Kataku dengan nada Cemas. “Kamu tenang saja Vin, Aku akan selalu bersamamu melindungimu sampai kapanpun”, Danu memelukku yang masih mematung berdiri. “Vin, maukah kamu menggantikan Dian dan berjanji tidak akan meninggalkanku?” Danu melanjutkan kata-katanya sambil memelukku. “Kapanpun Dan, karena Aku juga mencintaimu” Aku melepas Danu dan memintanya untuk mengantarku pulang.
Sesampainya di rumah ternyata Ayah dan kak Dika sudah lebih dulu di rumah. “Darimana saja kamu? Dan apa-apaan ini? berpakaian seperti ini” suara kak Dika menyambutku dengan kasar. Untung saja ada kak Diko disana “Vin, cepat masuk kamarmu” kata kak Diko menyelamatkanku.
Aku langsung membaringkan tubuhku di atas kasur memikirkan kejadian siang tadi yang terjadi di rumah Danu. Betapa senangnya mengingat diriku sekarang sudah memiliki kekasih yang akan mengisi hari-hariku ke depan. Namun kebahagiaan itu berubah ketika Aku mngingat kejadian Dian datang dan ancamannya merasuk dalam pikiranku. Aku menjadi takut membayangkan apa yang akan dilakukan Dian nanti. Tak terasa Aku memejamkan mataku karena kelelahan mengingat kejadian-kejadian tadi.
Sebantar rasanya Aku memejamkan mata dan langsung terbangun oleh suara ayah yang menggedor pintuku dengan kasar. Aku langsung melompat dari tempat tidur dan berlari membukakan pintu. Aku buka kunci pitu dan seketika pintu di dorong dari luar dengan keras. “PRAAKK” tamparan mendarat di pipiku.
“Mau jadi apa kamu Vin!” Ayah memperlihatkan fotoku yang sedang berciuman dengan Danu. Aku hanya diam tak tahu harus menjawab apa. Semua sudah tahu dan Dian ternyata bergerak lebih cepat. Ayah terus menamparku dan Aku terjatuh ke lantai, seketika kak Dika menendangku dan berhasil membuat perutku melilit.
“Ayo bangun kau, sudah lama Aku ingin menghajarmu Vin” kata kak Dika menarik kaosku untuk berdiri. Setelah Aku berdiri, Aku disambut dengan tinjuan diwajahku dan berhasil membuat darah mengalir dari hidung dan bibirku tergores luka. Lagi-lagi Aku jatuh dan tak kuat rasanya menahan sakit ini.
“Sudah, cukup Dika!” suara kak Diko membentak kak Dika. “Jangan pernah membela orang biadap ini ko!” suara ayah juga membentak Kak Diko. “Iya, lepaskan aku Diko, biar Aku menghajar anak ini” suara kak Dika terdengar dan berhasil menendang perutku lagi. “Jangan Ka, nanti Vino bisa Mati” Kata Kak diko.
“Seharusnya dia memang mati, dia telah membunuh Bunda” suara kak Dika meraung. “Dika, jangan selalu menyalahkan Vino, Bunda Meninggal memang sudah Takdirnya ketika melahirkan Vino. Kalau kalian Tetap menghajar Vino, Aku akan menghubungi teman-temanku dan melaporkan kalian ke kantor polisi” ancam kak Diko.
“Baiklah, tapi Aku tak mau melihatnya di sini, pergi kau Vin” kata ayahku sambil mengakhiri dengan satu tendangan lagi. Aku mendengar kak Diko dan Ayah masih berdebat di ruang tamu. Aku sendiri masih kesakitan di kamar dan berusaha berdiri. Tempatku bukanlah di rumah ini, Aku harus keluar dari rumah ini. Aku telah mengecewakan semuanya dan tak tahu harus pergi kemana.
Aku menuruni tangga dan menuju ruang tamu. “Pergi kau bajingan!” suara kak Dika menggema di ruang tamu. “Vin, kamu mau kemana dek?” tanya kak Diko ramah. Aku hanya diam dan terus berjalan menuju pintu. “Ayah, kak Dika, kak Diko maafkan Vino selama ini telah menyusahkan kalian, terimakasih telah merawatku” kataku berpamitan. “Mati saja kau!” kak Dika berdiri dan ditahan oleh Kak Diko.
Aku langsung keluar dari rumah berjalan memakai jaket  menutupi wajahku yang luka. Bagaimana keadaan Danu? Pasti dia juga menderita sepertiku dan semoga dia lebih tabah dariku, sepanjang perjalanan Aku selalu memikirkan Danu, Ayah dan kakak-kakakku. Kata-kata kak Dika selalu terulang di telingaku, “Mati saja kau!… Mati saja Kau!”. mungkin benar kata Dia lebih baik Aku mati dan tidak menyusahkan mereka lagi. Aku putuskan untuk menjemput malaikat mautku di lintasan kereta api. Malaikat mautku itu adalah kereta Api yang melaju menuju arahku.
Suara kereta api semakin mendekat dan Aku mencoba tersenyum mengingat kejadian bersama Danu. “Twuuuuuuuuuuuuuuuut” Akhirnya malaikat mautku menjemputku. Hantaman yang keras mementalkan diriku ke samping jalur kereta. Suara kereta api masih terdengar dan Aku langsung membuka mataku dan kulihat ternyata Danu memelukku. “Vin, jangan tinggalkan Aku” itulah kata-kata dari Danu untuk mengingatkan akan janjiku padanya.
Setelah kereta lewat suaranya-pun sepi menjauh, tiba-tiba terdengar suara laki-laki menghampiri kami berdua, “Sudah ayo kita pergi dari negara ini” ternyata laki-laki itu adalah Papa Danu. Danu tersenyum dan berdiri memeluk papanya. “Papa akan melakukan apa saja untuk kebahagiaanmu nak, dan kehidupanmu bukan untuk negara ini. Ayo ikut papa tinggal di luar sana dan bawa kekasihmu ini”, kata papa Danu yang memeluknya erat. “Terimakasih Pa”, Danu tersenyum dan papanya membalas senyuman itu. Aku pun di papah masuk ke dalam mobil, dan di sana kulihat sepasang kelinci putih yang salah satunya ku selamatkan tempo dulu. “Terimakasih Tuhan, kau mengirimkan kebahagiaaan ini, Aku akan menjaganya hingga akhir hayatku. Amien” Aku berdoa dalam hati semoga kabahagiaan ini abadi dan bertahan lama di negara lain nanti.
Sekian

Comments
2 Comments

2 comments:

  1. walaupun diawal agak angst..tp dd suka karna happy ending!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini pernah diikutsertakan sebuah lomba, tapi sayang gagal... hahahaha...!

      Delete

Terimakasih atas kunjungannya, besar harapan penulis tolong tinggalkan jejak dalam kolom komentar, terimakasih....