Di mataku sore itu terlihat sangat indah. Langit senja menyemburkan
warna jingga kemerahan yang memayungi barisan rumah bilik bambu di pinggir rel
kereta api. Namun keindahan itu tidak dapat menerangi hatiku yang kelabu. Hati seorang
yang putus asa, hati seorang yang tidak ada pilihan lain lagi selain mati
menjemput maut.
Aku terus berjalan di tengah jalur kereta api untuk menjemput malaikat
mautku. Wajahku terasa sangat tebal dengan luka lebam dan bibir berdarah yang
segar. Kulihat kedua tanganku juga masih terdapat darah yang sudah mengering.
Aku tak mau hidup lebih lama lagi, Aku hanya ingin hidup di dunia lain yang
jauh dari keluargaku dan kehidupan fana ini, menunggu seseorang yang kucintai
disana.
Jantungku berdegub semakin kencang ketika goresan pedang malaikat mautku
terdengar dari kejauhan. Suara gemuruh dan klakson kereta api membuat diri ini
tak berdaya dan hanya bisa pasrah dan memejamkan mata. Selamat tinggal ayah,
selamat tinggal kakak, dan selamat tinggal Danu, You are my love until the end.
**Dua
bulan sebelumnya**
“Vino” hardik ayah ketika Aku menyisir rambutku yang basah. Aku harus
cepat membuka pintu kamar sebelum hardikan ayah berubah menjadi amarah. “Iya
yah” kataku sambil menundukan kepala. “Aku kira kamu belum bangun, cepat makan!”
kata ayah datar dan langsung menuruni tangga kembali ke dapur.
Aku langsung turun menuju dapur berkumpul dengan Ayah dan kedua kakakku
Dika dan Diko. Aku jarang melakukan komunikasi dengan Ayah dan kak Dika karena
mereka selalu bersikap dingin dan kasar kepadaku. “Kalau makan itu yang bener!
Jangen lelet!” lagi-lagi ayah membentakku. Aku segera memposisikan diriku tegap
dan melahap makananku dengan serius. Ku lirik kak Diko tersenyum melihatku sambil
menggerakan Alisnya menghiburku yang selalu tertekan di rumah.
Setelah makan Aku pun kembali ke kamar untuk mengambil tas dan sepatuku.
“Hufh, akhirnya selesai juga sarapanku” Aku mengeluh sendiri di dalam kamar.
“Kamu yang sabar ya Vin” suara kak Diko mengagetkanku. Hanya Kak Diko di rumah
ini yang selalu menganggapku bagian dari keluarga ini. Aku tersenyum pada Kak
Diko dan memeluknya “Kak, sampai kapan mereka membenciku? Sudah 19 tahun
lamanya mereka kasar terhadapku” Aku mencoba meluapkan semua perasaanku. “Kamu
yang sabar aja ya, suatu saat mereka juga menyayagimu” kata-kata itu sudah
lazim di telingaku, namun selama ini masih saja Ayah dan Kak Dika bersikap
arogan dan kerap menghadiahkanku tinjunya.
“Yaudah, mending kamu berangkat kuliah, nanti telat loh! Oia nih buat
jajan” Kak Diko menjulurkan uang lima puluh ribu untukku. Aku berterimakasih
kepada kak Diko dan mulai berjalan menuju pintu kamar. Kak Diko yang ada di
depanku langsung turun menuju garasi. Sedangkan Ayah dan kak Dika berangkat ke
markas TNI untuk menjalani kegiatan rutinnya.
Akhirnya usai juga ketegangan pagi ini. Aku sangat senang ketika
semuanya sudah sibuk dengan pekerjaannya. Ayah dan Kak Dika yang berangkat ke
Markas TNI, sedangkan Kak Diko berangkat ke kantor polisi. Aku pun langsung
turun dari kamar menuju garasi dan mendekati motorku yang berdiri sendiri di
garasi. Aku memanasi motor sambil mengeluarkannya dari garasi, memakai helem
dan langsung meluncur ke kampus.
Sesampainya di kampus ujian mental belum berakhir. Stage dua ujian mental dimulai. Ketika memasuki tempat parkir
kampus sambutan kata “Profesor” sudah bersautan ditelingaku. “Pagi prof, Hai
prof, prof…” panggilan itu selalu mengisi hari-hariku di kampus. Aku dipanggil
dengan sebutan profesor bukan karena Aku pintar ataupun rajin ke perpustakaan,
namun gara-gara penampilanku yang terlalu rapi dan culun untuk lingkungan
kampusku. Dengan kacamata tebal rambut rapi disisir kesamping dan pakaian ala
guru tahun 60an.
Berpakaian rapi seperti itu hanya membuat para dosen senior senang
melihatku dan tak hayal Aku selalu menjadi anak emas di kelas. Namun di mata
teman-temanku penampilanku ini sudah sangat jadul
(jaman dulu) yang lolos seleksi
alam dan mestinya dimusnahkan. Sebenarnya Aku malu dengan apa yang dikatakan
teman-teman kampus namun Aku tidak mempunyai keberanian dan kepercayaan diri
yang besar untuk merubah penampilan yang sudah tercetak saat Aku di sekolah
dasar.
Apalagi, Ayah yang selalu suka melihatku berpenampilan seperti ini. Pernah
sekali Ayah memukuliku gara-gara Aku ke kampus memakai celana jeans. Dan saat
itu juga Aku tak berani memakai jeans ke kampus, lebih baik bertahan dengan
sebutan profesor daripadan mendapat tinju dari ayah.
Tak terasa hari sudah mulai sore, Aku segera kembali ke rumah dengan
terburu-buru, karena jika Aku terlambat pulang pasti Kak Dika akan membentakku.
Di perjalanan pulang ketika melewati kompleks perumahan Aku menemukan kelinci
putih yang tergeletak di jalan. Sepertinya kelinci ini korban tabrak lari dan
tidak seorang pun menolongnya. Aku segera memeriksanya dan ternyata kelinci putih
kecil ini masih hidup, Aku langsung membawa kelinci itu ke rumah untuk dirawat.
Sesampainya di rumah Aku mencoba mencari kardus di gudang dan meletakan
kelinci itu di kamar. Kaki kelinci malang itu patah, dan langsung ku balut
dengan kain kassa. “Semoga aja kamu sembuh yah” Aku mengelus kelinci putih itu.
“Adek pelihara kelinci?” Kak Diko masuk kamar mengagetkanku. “Eh enggak kak,
Ini Aku temukan di jalan dan kakinya patah, jadi Aku putuskan untuk ku rawat
dan ku kembalikan setelah sembuh” Jawabku sambil melihat kelinci putih itu. “Yaudah,
sembunyikan ya! Jangan sampai ketahuan Diko karena dia Akan marah” Kak Diko
mencoba mengingatkanku.
Seminggu kemudian kelinci itu sudah mulai berjalan lagi, saatnya Aku mencari
pemiliknya. Aku membawa kelinci itu menuju tempat saat kelinci itu tergeletak.
Ketika Aku duduk di atas motorku kulihat seorang pemuda tampan, tinggi dan
sedikit pucat sedang membuang sampah di depan rumahnya.
“Mas, maaf ganggu” Aku mencoba memanggilnya ketika dia berjalan masuk ke
rumahnya. Dia menatapku seperti tatapan teman-temanku yang selalu menatap
keanehan dalam diriku, namun berbeda dengan teman-temanku yang mengerutkan alis
ketika pertama melihatku. Dia tersenyum dan menjawab panggilanku “Iya, bisa saya
bantu?” itulah pertama Aku mendengar suaranya yang berhasil membuat diriku
menganggap semakin sempurnalah dirinya.
“Seminggu yang lalu, Aku menemukan kelinci ini tergeletak di sana. Mas
tahu siapa pemilik kelinci ini?” Aku menjulurkan kardus berisi kelinci. “Fio?
Iya ini kelinciku dan hilang seminggu yang lalu”, jawabnya yang terlihat sangat
senang. “Syukurlah, oia Aku Vino” Aku menjuluran tanganku dan memperkenalkan
diriku. “Aku Danu, Ayo masuk dulu Vin”, Danu menjabat tanganku dan langsung
menarikku ke dalam halaman rumahnya. “Eh, motorku masih disana” Aku mencoba
menahan tarikan tangannya. “Oh, Iya. Masukan saja motornya” Kata Danu sambil
melepas pegangan tangannya.
Aku menuju motorku dan memasukannya ke halaman rumah Danu. Kulihat
halaman itu penuh dengan rumpt hias dan beberapa tanaman yang hijau. “Rumahmu
sejuk ya!” Kataku sambil melihat keseluruh sudut halaman. “Begitulah” Jawab
Danu singkat.
Danu menyuguhkan secangkir teh dan beberapa potong kue bolu. “Jadi kamu
yang merawatnya hingga kelinci itu sehat lagi? bakat jadi dokter hewan nih”
Danu membuka percakapan. “Halah, biasa aja lagian Aku kuliah bukan di medical hanya seorang mahasiswa ekonomi” kataku sambil tersenyum malu.
Percakapan kami terus mengalir seperti seorang sahabat yang sudah sangat akrab.
Hingga kehidupan keluarga kami berdua menjadi topik perbincangan.
Dari cerita Danu, ternyata Danu juga seperti diriku , tidak mempunyai
ibu dan tinggal di indonesia bersama pembantu yang mengurusnya. Ayah dan adik
perempuannya tinggal di luar negeri. Ibu Danu sudah setahun meninggal. Aku juga
menceritakan tentang kehidupanku yang selalu hidup dalam ketegangan di dalam
rumah, dan hidup penuh olokan di kampus akibat penampilanku.
Hingga sebulan lamanya Aku berteman dengan Danu, dan cinta itu mulai
tumbuh dalam diriku. laki-laki pertama yang Aku cintai dulu adalah kakak
kelasku bernama Farhan, namun sayang Farhan bukan seorang homoseksual dia murni
laki-laki heteroseksual yang mau menjalin hubungan hanya dengan lawan jenisnya.
Aku langsung membuang rasa cinta itu dan fokus dengan sekolahku. Namun hari ini
Aku kembali jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang baru sebulan ku kenal
yakni Danu.
Di minggu pagi ketika di rumahnya Aku mengorek tentang pribadinya.
Apakah dia sama sepertiku seorang gay ataukah dia seorang hetero? Tak mungkin
bagiku untuk bertanya langsung padanya dengan kalimat ‘Dan kamu gay bukan? Atau
Dan kamu suka cowok gak?’ itu akan merusak pertemananku dengannya. Lebih baik Aku
mengorek hal pribadinya itu dengan pertanyaan-pertanyaan lain saja.
“Dan, selama Aku berteman dengan
kamu kenapa Aku tak pernah melihatmu jalan dengan pacarmu?” Aku memulai
mengorek informasi. “Oh, Aku sudah tiga bulan putus dengan pacarku Vin,
kenapa?” jawabnya yang ditutup dengan pertanyaan buatku. “Tiga bulan putus?
Yang sabar aja ya karena stok cewek di dunia ini masih banyak kok” Aku
meliriknya ketika mengatakan hal itu. Terlihat Danu tersenyum melihat kelincinya
berlarian. “Terus? Kamu kenapa tidak jalan dengan cewekmu Vin?” mampus
pertanyaan itu menghantam diriku. Tidak mungkin Aku menjawab, sorry Dan Aku tak
suka cewek atau Aku gay Dan. Untung Aku masih punya jawaban lain yang lebih pantas dan masuk akal baginya “Mana ada
cewek mau ma diriku yang culun ini Dan” Aku akhiri dengan nada tertawa.
“Yaudah, gimana kalau Aku…?” Danu memotong kalimatnya dan kemudian
tersenyum sendiri. “Kamu kenapa Dan?” tanyaku yang berharap kelanjutan
kalimatnya adalah Aku ingin jadi kekasihmu. “Tapi tak mungkin kamu mau Vin”
jawab Danu semakin membuat aku penasaran. “Bagaimana Aku mau kalau kamu belum mengatakannya” jantungku semakin berdegub kencang berharap
hal konyol dikatakan Danu. “Yaudah Aku ingin bilang kalau Aku ingin merubah
penampilanmu itu” Danu tersenyum padaku. Shit!
Aku pikir dia akan mengatakan cinta padaku, ternyata Aku salah.
“Okelah, apapun yang menurutmu bagus buatku Aku akan mencobanya” jawabku
yang berhasil membuat Dia kegirangan. Hal pertama yang dilakukan Danu adalah
membawa diriku ke salon. “Vin, kamu harus merubah style rambutmu dan salon ini adalah salon langananku” kata Danu
sambil memasuki Salon. Tak perlu waktu lama untuk membentuk rambutku, hanya
tiga puluh menit style rambutku
berubah menjadi rambut acak dan sedikit poni mengarah ke samping kanan bawah.
“Wow, Ini Vino?” Kata Danu memujiku yang berhasil membuat mukaku memerah.
“Yaudah, kita balik ke rumah lagi Vin, Langkah kedua sudah menunggu di
rumah” kata Danu sambil menatapku dengan senyumannya yang menawan. Namun
tiba-tiba ponsel Danu berdering “Halo, ada apa Yan? Sorry Aku tak punya waktu
bye!” begitulah yang Aku tangkap dari pembicaraan Danu dengan wajah kesalnya.
“Siapa Dan?” tanyaku ingin tahu. “Biasa sang mantan” kata Danu datar.
Aku langsung kaget karena nama yang di sebutnya adalah “Yan” Ryan kah? Atau
Sofyan? Nama-nama laki-laki berakhiran Yan
mengisi pikiranku. “Oh mantan kamu! hmm emang siapa namanya tadi Aku dengar
kamu manggil dia dengan panggilan Yan atau
yank ya?” kataku menggodanya.
“Hehe, namanya Dian” seperti biasa Danu tersenyum ketika menjawab semua
pertanyaanku. Mendengar kata Dian Aku langsung mengeneralisasi bahwa Danu
adalah laki-laki hetero, Nama Dian adalah nama buat cewek dan yang ada dalam
pikiranku adalah Dian Sastro aktris cantik indonesia dan Dian wiji utami gadis
cantik di kampusku. “Pasti Dian itu cantik ya?” kataku asal. Danu terkekeh
tanpa menjawab pertanyaanku.
Sesampainya di rumahnya, Danu membawaku menuju kamarnya. ini adalah pertama
kali Aku memasuki kamar Danu, karena sebelumnuya Aku hanya menginjakan kakiku
di ruang tamu dan halaman belakang. “Vin, kamu cobain pakaian-pakaian ini” Danu
menunjuk beberapa kantong plastik yang ada di atas kasur. “Hah? Kamu membelikan
ini buatku Dan?” Aku tak bisa menyembunyikan kesenanganku.
“Iya, beberapa potong pakaian yang sengaja Aku belikan untukmu biar kamu
bisa merubah penampilanmu” kata Danu sambil mendorongku menuju pakaian-pakaian
itu. “Terimakasih Dan, tapi apakah kamu akan tetap di sini ketika aku mencoba
pakaian-pakaian ini?” Aku meliriknya dengan tujuan menggodanya. “Haha, ok Aku
keluar dulu Vin, kamu cobain aja” kata Danu sambil menutup pintu kamarnya. Aku
langsung memakai T-shirt dan celana jeans dan merapikan diri di depan meja rias
di kamar Danu.
Di atas meja itu terdapat bingkai foto yang diletakan terbalik. Aku coba
meraih bingkai foto itu dan membaliknya. Terlihat foto Danu dengan seorang
laki-laki seumurannya dan laki-laki itu sama tampannya dengan Danu. Mungkin ini
adalah sepupu Danu dan lumayan siapa tau nanti Aku bertemu dengannya pikirku.
Bagaimana kalau laki-laki ini sama seperti Aanu? Laki-laki normal yang tidak
mungkin menjalin cinta sejenis. Pikiranku berkecamuk dengan cinta yang Aku
butuhkan di dunia ini.
“Wah, kamu pantes banget pakai pakaian itu Vin, Aku jadi pangling
melihatnya” suara Danu mengagetkanku dari belakang. Aku berbalik dan lupa
meletakan kembali bingkai foto yang aku pegang. “Sorry Dan, aku lancang melihat
foto ini, tapi ku hanya ingin membuat foto ini berdiri kembali” kataku ketika
Danu melihat foto yang Aku pegang.
“Itu tidak masalah Vin, foto itu memang sengaja Aku letakan terbalik dan
sebentar lagi foto itu akan Aku buang ke tempat sampah” kata Danu sambil
menghampiriku dengan jus jeruk di tangannya. “Emang kanapa Dan? Foto ini pasti
saudara atau sepupumu ya?” tanyaku sambil memberikan foto itu pada Danu dan
mengambil jus jeruk kemudian ku letakan di meja. “Bukan, Dialah yang bernama
Dian, Dian Wahyu pratama. Laki-laki yang pernah mengisi hari-hariku dulu” Danu
menatapku dengan tajam.
“Kamu?” tanyaku gugup. “Iya, Aku sama sepertimu Vin, laki-laki pilihan
yang saling mencintai sesamanya” Danu memegang pundakku. Sama? Bagaimana dia
tahu tentang diriku? Aku diam dan sedikit ketakutan. “Pasti kamu berfikiran
bagaimana Aku tahu kamu juga seorang gay?” Danu tersenyum menatapku yang
terpojok. “Kamu tau darimana Dan?” mukaku memerah ketika Danu semakin
mendekatkan wajahnya kewajahku. Jantungku semakin berdegub kencang dan
berkeringat “Perasaanku yang mengatakannya”. Hembusan nafas Danu semakin
memburu dan sekejap Danu mendaratkan bibirnya di bibirku. Aku hanya memejamkan
mata menikmati ciuman Danu.
“Cklek” di ikuti kilatan cahaya membuat Danu melepas ciumannya. Ternyata
ada seseorang yang berdiri di dekat pintu sambil memegang kamera digital.
“Dian!” Danu kaget. “Ternyata ini yang membuat kamu berpaling dariku Dan, tapi
tidak apa-apa Aku akan menghancurkan hidupmu dan hidup laki-lakimu itu” Dian
langsung berlari ke luar. “Dian!” teriak Danu dan mengejarnya sedangkan diriku
hanya mematung di dalam kamar Danu.
Beberapa menit kemudian Danu kembali lagi. “Dan? Aku ketakutan dengan
ancaman Dian” Kataku dengan nada Cemas. “Kamu tenang saja Vin, Aku akan selalu
bersamamu melindungimu sampai kapanpun”, Danu memelukku yang masih mematung
berdiri. “Vin, maukah kamu menggantikan Dian dan berjanji tidak akan
meninggalkanku?” Danu melanjutkan kata-katanya sambil memelukku. “Kapanpun Dan,
karena Aku juga mencintaimu” Aku melepas Danu dan memintanya untuk mengantarku
pulang.
Sesampainya di rumah ternyata Ayah dan kak Dika sudah lebih dulu di
rumah. “Darimana saja kamu? Dan apa-apaan ini? berpakaian seperti ini” suara
kak Dika menyambutku dengan kasar. Untung saja ada kak Diko disana “Vin, cepat
masuk kamarmu” kata kak Diko menyelamatkanku.
Aku langsung membaringkan tubuhku di atas kasur memikirkan kejadian siang
tadi yang terjadi di rumah Danu. Betapa senangnya mengingat diriku sekarang
sudah memiliki kekasih yang akan mengisi hari-hariku ke depan. Namun
kebahagiaan itu berubah ketika Aku mngingat kejadian Dian datang dan ancamannya
merasuk dalam pikiranku. Aku menjadi takut membayangkan apa yang akan dilakukan
Dian nanti. Tak terasa Aku memejamkan mataku karena kelelahan mengingat
kejadian-kejadian tadi.
Sebantar rasanya Aku memejamkan mata dan langsung terbangun oleh suara
ayah yang menggedor pintuku dengan kasar. Aku langsung melompat dari tempat
tidur dan berlari membukakan pintu. Aku buka kunci pitu dan seketika pintu di
dorong dari luar dengan keras. “PRAAKK” tamparan mendarat di pipiku.
“Mau jadi apa kamu Vin!” Ayah memperlihatkan fotoku yang sedang berciuman
dengan Danu. Aku hanya diam tak tahu harus menjawab apa. Semua sudah tahu dan Dian
ternyata bergerak lebih cepat. Ayah terus menamparku dan Aku terjatuh ke lantai,
seketika kak Dika menendangku dan berhasil membuat perutku melilit.
“Ayo bangun kau, sudah lama Aku ingin menghajarmu Vin” kata kak Dika
menarik kaosku untuk berdiri. Setelah Aku berdiri, Aku disambut dengan tinjuan
diwajahku dan berhasil membuat darah mengalir dari hidung dan bibirku tergores
luka. Lagi-lagi Aku jatuh dan tak kuat rasanya menahan sakit ini.
“Sudah, cukup Dika!” suara kak Diko membentak kak Dika. “Jangan pernah
membela orang biadap ini ko!” suara ayah juga membentak Kak Diko. “Iya,
lepaskan aku Diko, biar Aku menghajar anak ini” suara kak Dika terdengar dan
berhasil menendang perutku lagi. “Jangan Ka, nanti Vino bisa Mati” Kata Kak
diko.
“Seharusnya dia memang mati, dia telah membunuh Bunda” suara kak Dika
meraung. “Dika, jangan selalu menyalahkan Vino, Bunda Meninggal memang sudah
Takdirnya ketika melahirkan Vino. Kalau kalian Tetap menghajar Vino, Aku akan
menghubungi teman-temanku dan melaporkan kalian ke kantor polisi” ancam kak Diko.
“Baiklah, tapi Aku tak mau melihatnya di sini, pergi kau Vin” kata
ayahku sambil mengakhiri dengan satu tendangan lagi. Aku mendengar kak Diko dan
Ayah masih berdebat di ruang tamu. Aku sendiri masih kesakitan di kamar dan
berusaha berdiri. Tempatku bukanlah di rumah ini, Aku harus keluar dari rumah
ini. Aku telah mengecewakan semuanya dan tak tahu harus pergi kemana.
Aku menuruni tangga dan menuju ruang tamu. “Pergi kau bajingan!” suara
kak Dika menggema di ruang tamu. “Vin, kamu mau kemana dek?” tanya kak Diko ramah.
Aku hanya diam dan terus berjalan menuju pintu. “Ayah, kak Dika, kak Diko
maafkan Vino selama ini telah menyusahkan kalian, terimakasih telah merawatku”
kataku berpamitan. “Mati saja kau!” kak Dika berdiri dan ditahan oleh Kak Diko.
Aku langsung keluar dari rumah berjalan memakai jaket menutupi wajahku yang luka. Bagaimana keadaan
Danu? Pasti dia juga menderita sepertiku dan semoga dia lebih tabah dariku,
sepanjang perjalanan Aku selalu memikirkan Danu, Ayah dan kakak-kakakku.
Kata-kata kak Dika selalu terulang di telingaku, “Mati saja kau!… Mati saja
Kau!”. mungkin benar kata Dia lebih baik Aku mati dan tidak menyusahkan mereka
lagi. Aku putuskan untuk menjemput malaikat mautku di lintasan kereta api. Malaikat
mautku itu adalah kereta Api yang melaju menuju arahku.
Suara kereta api semakin mendekat dan Aku mencoba tersenyum mengingat
kejadian bersama Danu. “Twuuuuuuuuuuuuuuuut” Akhirnya malaikat mautku menjemputku.
Hantaman yang keras mementalkan diriku ke samping jalur kereta. Suara kereta
api masih terdengar dan Aku langsung membuka mataku dan kulihat ternyata Danu memelukku.
“Vin, jangan tinggalkan Aku” itulah kata-kata dari Danu untuk mengingatkan akan
janjiku padanya.
Setelah kereta lewat suaranya-pun sepi menjauh, tiba-tiba terdengar
suara laki-laki menghampiri kami berdua, “Sudah ayo kita pergi dari negara ini”
ternyata laki-laki itu adalah Papa Danu. Danu tersenyum dan berdiri memeluk
papanya. “Papa akan melakukan apa saja untuk kebahagiaanmu nak, dan kehidupanmu
bukan untuk negara ini. Ayo ikut papa tinggal di luar sana dan bawa kekasihmu
ini”, kata papa Danu yang memeluknya erat. “Terimakasih Pa”, Danu tersenyum dan
papanya membalas senyuman itu. Aku pun di papah masuk ke dalam mobil, dan di
sana kulihat sepasang kelinci putih yang salah satunya ku selamatkan tempo dulu.
“Terimakasih Tuhan, kau mengirimkan kebahagiaaan ini, Aku akan menjaganya
hingga akhir hayatku. Amien” Aku berdoa dalam hati semoga kabahagiaan ini abadi
dan bertahan lama di negara lain nanti.
Sekian
walaupun diawal agak angst..tp dd suka karna happy ending!!!
ReplyDeleteIni pernah diikutsertakan sebuah lomba, tapi sayang gagal... hahahaha...!
Delete