Tuesday, 10 July 2012

Buru Elang


Oleh: Javas Nugroho
Angin mengembus dan membirukan kulitku. Tetes-tetes air sisa hujan masih berusaha merendam wajah. Susana sekitar hening. Gelap benar-benar memakanku utuh. Meringkukkan ragaku pada semak ilalang. Mengisolasi secara sempurna. Aku benar-benar takut.
Tanganku biru bekas tali yang mengikat erat. Celana dalam busuk bau sperma masih menyumpal mulutku. Pinggir bibirku perih, robek. Punggungku terasa panas seperti terkelupas. Bahkan, perutku masih menyisakan bekas cakaran.
Hewan liar apa yang menyetubuhiku?
Celana dalamku lepas selutut. Terasa terbakar di ujung sana, dan berlendir.
Aku ingat, mata yang elang itu. Tato naga di pusar.
***
Malam ini seperti biasanya. Aku habiskan dengan gelas-gelas penuh bir. Bergoyang riang dan mengerang. Menikmati warni berkelip dari lampu yang berputar-putar. Kadang, dengan sengaja dan nafsu yang memburu, aku meliuk di tubuh mereka. Memainkan jemariku di inci kebinalan yang berhambur hingga membuncah.
Aku masih mencarinya. Mata itu.
Menelisik diskotik. Mataku mengedar, mencari dan menatap setiap mata pria muda, pria beristri, pria berselingkuh dengan pria. Bahkan pria yang aku yakin sudah punya cucu. Sampai saat ini, baru tujuh orang dengan mata pandangan tajam. Aku tiduri mereka, mengoyak bajunya. Terkadang, jika emosi memuncak, aku menggigit mereka. Namun tak jua naga itu muncul.
Seminggu lalu. Aku meniduri seorang pria yang mengaku sudah beristri dan beranak satu. Matanya tajam. Beberapa kali aku tak berkutik begitu dia berbicara dan menembus ke dalam mataku. Aku hanya membuang muka, atau pura-pura menunduk. Mata itu selalu mengoyak dan menyeretku ke memori hitam.
Lalu aku melepasnya. Sama seperti hubunganku dengan para pria mata elang lain.
Lain kesempatan menyambut. Dadaku bergemuruh dengan pemuda putih bibir merah. Matanya tajam saat melirikku. Namun sepersekian detik matanya menghitam sendu. Aku nyaris merinding saat dia berjalan dan menatapku lekat di depannya.
Harus mendapatkannya!
Aku memberi kode. Dia paham. Kita bertemu di losmen. Ritual berlangsung untuk beberapa jam dengan hasil nihil. Berakhir sama seperti sebelumnya.
Sebenarnya aku sendiri tak paham dengan kelakuan ini. Aku hanya ingin menyembuhkan luka. Menyembuhkan luka dengan membuat luka. Bukankah hal ini sudah membudaya. Yang lemah akan berusaha kuat dan menjungkir balikkan keadaan. Bukankah itu terdengar manusiawi?
Aku cukup menikmati saat seseorang mengerang kesakitan. Aku meluap-luap jika seseorang yang kupakai merintih dan menangis. Sama persis seperti yang aku alamai dulu. Perlahan depresi dan lukaku melunak. Aku bisa bernafas lega setelah menyelami tubuh-tubuh mereka.
Ada sebab, ada akibat. Itu hukum alam.
***
Dia selalu menungguku di ruang tamu.
“Mas Arka baru pulang? Larut sekali mas?” Deva, adikku. Dia menyongsongku dan membawakan tas yang aku tenteng pada tangan kanan. Dia terlihat menekan hidungnya. Aku tahu dia tak tahan dengan bau bir.
Aku cuma diam dan menatapnya samar. Kusunggingkan senyum separuh. “Tidur sana dek, mas capek sekali mau tidur juga.” Dia masih mencoba duduk di depanku. Wajahnya sudah mengisyaratkan tanya. Bibirnya terlihat ingin terbuka dan mengintrogasiku.
“Lembur ya mas?” aku mengangguk dan membelai rambutnya. Dia terdiam sesaat dan terus memandangku lekat.
“Adik tidur saja dulu. Besok ujian kan?”
Dia bangkit dan meninggalkanku.
Maafkan mas, nggak pernah bisa nemenamin kamu.
Aku bangkit perlahan. Mengunci pintu lalu berjalan ke kamar dengan gontai. Ku jatuhkan ragaku di kasur empuk. Meraih buku kecil di bawah bantal. Lalu kubuka dan menulis:
Malam sayang, lama aku tak menjamahmu. Apa kabarmu?
Tadi, aku menemukan pria mata elang. Aku menidurinya. Bahkan dia kesakitan sampai menangis dan menjerit. Tapi sungguh sial. Tak ada naga dipusarnya. Bukan dia yang menyetubuhiku hingga nyaris mati. Tapi aku cukup puas. Hasratku menyiksa sudah terlampiaskan. Besok aku akan mencari lagi. Jika belum mampu menyiksa mata elang dengan tato naga di pusar aku tak akan berhenti. Aku akan menjadi serigala untuk serigala.
Kututup perlahan lalu mencoba terlelap.
“Mas, bangun. Sudah pagi. Apa kamu tidak berangkat ke kantor? Deva menggoyangkan tanganku perlahan. Mataku masih lekat sekali. Enggan rasanya untuk sekedar bangkit dan duduk dipinggiran kasur.
“Mas, nanti telat lho!” Dia meneriaki telingaku. Aku tarik tangannya hingga jatuh ke ke kasur. Aku langsung memeluknya erat dan menggelitikinya. Dia merengek dan tak bisa lepas.
“Sini temani mas dulu. Lama rasanya kita tidak tidur seperti ini. Dulu dengan ayah dan ibu juga. Apa kau tak merindukan mereka?” Deva diam. Tanganku terasa ada tetesan air hangat.
Ayah dan Ibuku telah tiada. Sejak aku kuliah, saat itu Deva mau SMP.
Aku mendengar ia sesegukan. Suaranya sangat parau, pelan sekali. “Mas, bisa tidak? Sekali saja ada waktu buatku. Aku ingin bercerita banyak tentang yang aku alamai. Apa mas tahu, kalau sekarang Deva sudah resmi jadi team basket? Apa mas tahu jika kemarin aku bahagia karena menang juara 3 menulis essay. Apa mas tahu jika adikmu sedang patah hati karena gadis yang ia suka ditembak cowok lain? Apa mas...” aku tutup mulutnya dengan tangan.
“Sudah tidak usah diteruskan. Sana mandi dulu, biar mas saja yang masak hari ini. Aku tidak suka cowok menangis.” Buru-buru Deva menyeka mukanya. Dia bangkit dan meninggalkanku
Aku segera bangkit dan membuat makanan buat Deva. Pikiranku langsung melayang lagi. Aku bimbang akan apa yang aku lakukan sekarang. Tak mungkin aku diam dengan trauma. Bagiku, balas dendam adalah cara terbaik mengobati semuanya. Namun, sampai sekarang aku tak puas. Adakah yang salah?
Kukocok telur dengan beberapa irisan daun bawang dan cabai. Kugoreng matang dan menaruhnya di piring Deva.
“Mas Deva langsung berangkat saja! Sekarang saatnya piket!” dia sudah berlari dan membuka pintu.
“Makan dulu Dev?”
“Nanti saja di kantin kak!”
Aku mematikan kompor. Memakan telur untuk Deva sembari duduk di kursi. Mataku mengamati dapur yang jarang sekali aku gunakan. Aku lebih suka makan di luar, atau kalau tidak Deva yang membuat sarapan. Dari jauh nampak secarik kertas biru tertempel di kulkas. Aku mendekat dan membacanya:
“Jangan pulang malam lagi mas! Oiya, ada loly-pop untuk mas di kulkas. Aku sengaja beli untukmu saat ada pameran di dekat sekolah. Aku sayang mas.”
Aku tersenyum tipis. Membuka kulkas dan mengecap loly-pop dari Deva.
***
Malam ini aku kembali memburu elang.
Rumah bordil. Aku ke sana kali ini. Melihat etalase-etalase manusia jualan. Melihat puluhan bejat yang datang untuk memuntahkan lendirnya. Beberapa gadis sewaan melambai ke arahku. Ada yang berani mendekat dan meremas kemaluanku. Aku tepis, dia mengomel.
“Mau mencari gadis seperti apa tuan?” Wanita tambun dari jauh mendekat. Gincunya tebal, menor. Bau parfumnya tercium sangat murahan. Apa ini induk semangnya? Aku terhenti. Melebarkan bibir.
Dia menggiringku untuk duduk di kursi. Jiwa dagangnya sungguh hebat. Diumbarnya semua dagangan. Dari yang sudah afkir, janda kembang, gadis muda seret hingga remaja perawan yang ia dapat dari desa. Dasar penipu!
“Aku cari kucing garong Mama. Bukan cari ayam.” Frontal kuutarakan inginku. Wajahnya tersenyum. Bahkan dia mencubit dadaku.
“Homo ya? Tenang saja. Persediaan laki masih banyak. Mau yang kayak gimana? Ada yang atlet binaraga, ada anak SMA yang unyu, ada juga om ganteng.” Aku naikkan satu alisku sambil memandang nyonya germo ini.
Aku menangguk pelan. Sedikit berpikir sebelum mengiyakan permintaannya.
“Tenang mas. Di sini aman semua. Dinas kesehatan datang sebulan sekali buat cek HIV/AIDS. Kalau mau kondom. Itu ambil saja di meja operator. Gratis untuk tamu.” Aku begidik mendengar ocehannya. Industri seks memang kian berkembang dan modern.
“Baik, aku lihat orangnya dulu!”
Germo ini mengajakku ke lantai dua. Sekitar delapan pria tengah merokok dengan hanya mengenakan celana dalam dan kaos. Mereka langsung berjajar begitu aku dan wanita tambun ini tiba. Mereka tersenyum nakal ke arahku.
Tanpa dikomando, aku pandangi mata mereka satu persatu. Aku pegang wajah mereka. Aku temukan satu mata elang. Seorang pemuda keturunan, rambut jabrik dengan mata semu biru.
“Aku dengan dia saja.” aku menarik pemuda itu menuju arah wanita yang terus tersenyum memandangku.
“Pembayaran langsung ke kasir saja. bisa pakai kartu kredit.”
Aku cuma menggelengkan kepala. Sesaat kemudian, aku masuk ke dalam ruangan yang sudah disediakan. Aku mulai ritual lagi. Menikmati luka.
“Awh, sakit sekali mas.” Desisnya merintih ku tindih.
Aku puas.
***
Lagi. Deva menungguku di ruang tamu. Wajahnya masam.
“Sudah pulang mas?” Deva mengalami tanganku, diciumnya pelan. Ditariknya aku untuk duduk. “Mas, selalu lembur ya setiap hari?” Aku mengangguk pelan. Melihat matanya yang kosong.
“Maaf dek, Mas selalu saja pulang malam.” Aku elus pundaknya.
Dia tersenyum tipis. “Oiya Mas, apa boleh aku tanya sesuatu?” jarang sekali sebenarnya adikku ini bertanya. Dia lebih sering diam. Beda denganku.
“Apa?” aku mengedipkan mata.
“Menurut mas, cinta itu apa?” aku tercekat. Aku tidak menyangka dia akan bertanya tentang cinta. Aku baru sadar jika ia sudah mas puber.
“Cinta adalah dimana dua orang saling mengerti dan membuat ikatan.” Kujawab sekenannya, meski klise. Dia cuma tersenyum dan memandangku miris. Aku gugup mendadak.
Dia bangkit dan mengambil segelas kopi untukku. “Ini cintaku untuk Mas. Bukankah cinta itu luas definisinya. Tidak akan pernah ada definisi yang benar-benar clear. Bukan begitu mas?” aku meringis. Memamerkan deretan gigi sambil menegak kopi yang sudah ia letakkan di meja.
Bagiku, cinta adalah siksa. Sudah terpatri dihatiku, Dev.
“Kalau menurut Mas. Dendam itu apa?” Nafasku terasa berhenti. Air kopi dimulutku menyembur ke depan. Seketika aku terbatuk tak henti-henti.
Deva hanya mematung. Memandangku dengan masih berdiri.
“Dendam itu adalah rasa dimana kita harus membalas kekejian yang orang lakukan kepada kita. Itu tak baik. Tapi terkadang ada manusia yang mendewakan itu. Agar bisa hidup bahagia. Menutup lukanya.” Aku bohong. Aku berkata tak sesuai dengan apa yang aku lakukan.
Balas dendam akan membuatku tersenyum. Sangat puas.
“Jadi tidak boleh ya balas dendam?” dia mengernyit. Meminta keyakinan.
Aku tersenyum mantap.
“Yasudah Deva tidur dulu.” Dia berlalu dari hadapanku.
Seketika aku lemas. Ujung mataku panas dan berair.
***
Aku goyangkan badanku. Nafasku terengah penuh peluh. Dia masih meringkih dan mendesis. “Aku keluaaar!” Teriakku keras. Lendirku menetes di mana-mana. Aku merebah, mengatur nafas. Memandangi sosok putih yang terus menangis di sampingku.
Kutarik bibirku ke kiri dan ke kanan. “Ini untukmu.” Aku segera berpakaian meski nafas putus-putus.
Satu elang tumbang lagi hari ini.
Aku segera berlalu dan bergerak cepat menuju rumah. Aku tak mau telat pulang lagi. Deva pasti sudah meungguku di ruang tamu. Dia jadi sedikit tidur gara-gara aku. Aku tambah lagi laju motorku.
Tiba di rumah. Aku tak mendapati Deva. Dia tak ada di ruang tamu. Tak ada di kamarnya, juga di kamar mandi. Semua ruangan di rumah kosong. Aku berlari kesana kemari sebelum akhirnya terhenti di meja dapur.
Ada buku harianku di sana. Dan secari kertas, lengkap setangkai loly-pop.
Mas, maaf aku baca buku harianmu.
Aku sudah tahu alasan kenapa Mas selalu pulang telat dari buku itu. Sekarang, aku akan berbakti kepada Mas sebagai adik. Aku bantu Mas untuk mencari elang dan tatto naga. Semoga aku cepat menemukan. Biar Mas tidak terus dendam. Bukankah dendam itu tak baik Mas? Terpenting, aku bisa sering bersamamu.
Tunggu aku membawa elang untukmu mas. Aku sayang Mas.
Seketika aku bergetar. Tubuhku dingin dan lemas.
“Deva bodoh!” aku berteriak dan segera keluar untuk mencarinya.
Aku menyusuri setiap diskotik. Bahkan sampai warung remang-remang tempatku berburu elang. Tak satupun terlihat kelebatnya. Baunya tak tercium, apalagi siluetnya. Kemana kau pergi Dev?
Aku menerobos hiburan malam. Hingar bingar justru membuatku makin panik. Aku seperti orang linglung yang tak tahu arah.
“Devaaa!”
Nafasku terhenti sejenak. Mataku melebar. Dadaku terasa sesak. Aku setengah mati menahan untuk tetap stabil dan tidak runtuh. Aku berlari ke arah kiri dari gedung diskotik yang kuinjak sekarang. Menuju padang semak yang ku laknat. Ilalang ini terasa menusuk begitu mengenai tanganku.
“Diiikkk! Di mana kamu?” aku menyenterkan cahaya dari ponsel.
“Deva!!”
Aku berlarian kesana-kemari. Jari-jariku mencabuti ilalang yang sangat tinggi.
“Argh!” ada lengkingan diseberang sana.
“Devaaa! Apa kau tak ap...” aku bersimpuh di depannya.
Dia tersenyum manis. Matanya berbinar.
“Mas, aku menemukan Elang yang kau cari. Jadi kita bisa sering bersama kan?”
Celana Deva terlepas semata kaki. Aku bisa melihat jelas lendir bercampur darah mengalir menuju kedua kakinya. Dia agak memicing dan memaksakan tersenyum.
“Mas, apa dendammu sudah habis?”
Deva berjalan ke arahku. Tangannya kiri memegang belati. Tangan kanannya memegang denda merah mengeluarkan darah.
“Ini jantung elangnya mas.”

Comments
1 Comments

1 comment:

Terimakasih atas kunjungannya, besar harapan penulis tolong tinggalkan jejak dalam kolom komentar, terimakasih....