Wednesday, 25 July 2012

Twincest - the last boy friend

By :  Ray Rowling

Aku tumbuh di rahim bunda tak sendiri, ya… Aku tumbuh bersama saudara kembarku, berbagi ruang sembit di rahim bunda. Bunda yang sangat cantik menurutku, dan itu terbukti dari foto-foto pernikahan Bunda dengan Ayah. Hanya foto pernikahan dan satu lembar foto Ayah dan Bunda ketika masih mengandung menjadi harta karun kami berdua.
            Kata nenek, Bunda dan Ayah meninggal di hari kelahiran kami. Saat itu tepat pukul satu pagi Bunda merasakan rasa sakit diperutnya pertanda diriku bersama saudaraku akan lahir kedunia. Ayah yang sedang panik langsung membawa Bunda kerumah sakit yang agak jauh dari rumah. Namun nasib berkata lain, sebuah truk menyenggol mobil Ayah menyebabkan Mobil mini van yang ayah tumpangi terpelanting.
            Ayah tak tertolong lagi dan tewas ditempat, sedangkan bunda masih bisa diselamatkan namun kondisinya kritis. Tidak  ada pilihan lain selain menyelamatkan nyawa kami dikandungan selagi masih ada kesempatan. Dan setelah beberapa jam Bunda menyusul ayah dan mereka berdua dikubur berdampingan tepat di depanku saat ini. Aku masih tak percaya kalau Aku masih dapat diselamatkan saat kecelakaan itu. Ingin rasanya Aku berbaring ditengah-tengah mereka berdua.
            “Bunda, Ayah… Dani ingin berbaring disamping bunda dan Ayah” kataku sambil meneteskan air mata di atas pekuburan Ayah dan Bunda. Mati mungkin pilihan terakhirku, mati dan dikubur bersama Ayah dan Bunda. Namun Aku tahu, Meski jasadku berdampingan dengan mereka belum tentu kami akan bertemu disurga. Aku akan dijebloskan ke neraka karena perbuatan Bunuh diri tak akan diampuni oleh Tuhan.
            “Tuhan, jika Aku tak dapat bahagia setelah ini, Aku mohon jemputlah diriku” kataku perlahan sambil terus meneteskan air mata.
            “Tuhan tak akan mengambulkan permintaanmu itu” Suara Danu saudara kembarku mengagetkanku. Aku berdiri memandangnya dan langsung pergi menjauh darinya.
            “Jangan Pergi lagi, Aku capek mencari kamu!” Kata Danu sambil menarik tanganku. Aku berbalik dan menunduk kearah makam Ayah dan Bunda. Aku merasa malu berdampingan dengan Danu, malu karena ulahku yang tak dapat dinalar olehnya.
            Aku jatuh cinta pada Danu, Aku mencintainya lebih dari seorang saudara. Aku mencintainya dan tak ingin berbagi dengan orang lain. Aku tidak rela ketika Danu memutuskan untuk menikahi Hana pacar SMAnya.
            “Bunda, Ayah… Mungkin Bunda dan Ayah sudah tahu apa yang terjadi pada kami berdua. Bunda juga mengerti apa yang Aku rasakan saat ini….” Kata Danu berbicara pada makam Bunda. Aku hanya diam merasakan pegangan Danu ditanganku yang semakin kuat. “Boy, Kenapa kamu tidak pernah bercerita kepadaku tentang perasaanmu? Sejak kapan kamu mencintaiku? Aku kakakmu boy” Danu memaksaku untuk melihat kearahnya.
            Aku hanya diam dan berusaha melepaskan pegangan tangannya. “Dani…!” Bentak Danu dan berhasil membuatku berhenti berontak. Sesaat suasa hening dan semakin membuat suasana makam sepi.
            “Kamu ingin tahu? Padahal kamu sendiri yang menumbuhkan rasa itu padaku” bentakku padanya. Danu terperangah dan mengumpulkan kata-kata diotaknya yang akan dilontarkan kepadaku, namun sebelum dia berbicara aku langsung menambahi Kalimatku yang pertama.
            “Kamu pikir, apa yang kau ajarkan padaku dulu itu tidak mempengaruhiku? Dan apa yang kita lakukan bersama sampai kita lulus SMA tidak membentukku seperti ini? Pikir pakai otak, dan jangan hanya menyalahkanku bang!” cercaku padanya dan sekali sentakan Aku berhasil melepaskan genggaman tangannya.
            “Look… kamu pikir abang juga akan lepas tangan begitu saja? Abang tahu Abang salah dan apa yang kita lakukan sejak SMP itu tak pantas dilakukan. Abang hanya ingin merubah dan menebus kesalahan abang” Kata Danu dan berusaha meraih tanganku lagi.
            “Cukup, sekarang Dani punya pilihan sendiri, dan Abang yang menujukan pilihan Dani. Aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri pada Abang. Lebih baik Aku pergi merantau ke kota mencari kehidupanku sendiri” Kataku dan langsung pergi menjauh dari Danu ayang sedang berdiri disamping makam Ayah dan Bunda.
            “Dani…” Teriak Danu memanggilku, namun Aku terus melangkahkan kakiku menjauh darinya.
“Dan… Kumohon jangan pergi” Danu memohon padaku.
“Maaf  bang, Aku tak bisa melihat Abang hidup bahagia dengan orang lain. Jalan satu-satunya Dani harus pergi menjauhi Abang. Semoga Abang bahagia bersama Hana dan Terimakasih telah mengajariku Cinta ini” Kataku sambil meraih tangannya dan menciumnya.
“Dani, maafkan Abang, Abang akan memperbaiki semuanya. Abang janji… jangan tinggalkan abang sendiri, hanya kamu keluarga Abang.” Danu memohon dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Maaf bang, Dani harus pergi… Abang akan bahagia bersama Hana, dan Dani akan Bahagia jika tak melihat kebahagiaan abang dengan orang lain. Kita Akan tetap menjadi saudara. Jaga makam Bunda dan Ayah, juga Makam nenek bang. Sampai jumpa bang” Aku melepas pegangan tangannya dan pergi meninggalkannya.
Saat dipinggir jalan, Aku menggunakan jasa Ojek dan sebelum berangkat Aku mencoba tersenyum menatap ke arahnya, melambaikan tangan padanya. Tak ada senyuman dari dirinya, dia hanya memandangiku sambil mengusap air matanya dengan lengan bajunya.
“Abang, meski kita tumbuh bersama dirahim yang sama, namun takdir dan jalan hidup kita tidak sama. Semoga abang Bahagia” Kataku dalam hati saat diatas ojek Motor menuju terminal terdekat.
*********************************************************************

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya, besar harapan penulis tolong tinggalkan jejak dalam kolom komentar, terimakasih....