Tuesday 10 July 2012

I’M YOUR LOLLIPOP



By : AnimalMorpher
Ian menutup laptopnya sambil menghela napas panjang. Ian adalah seorang gay, yang di mata masyarakat masih dianggap ‘penyakit’ yang harusnya diberantas, dimusnahkan hingga ke pelakunya. Padahal bukan salah kaum gay, tidak ada yang menginginkan ‘anugerah’ ini. Tidak seorang pun di dunia ini yang mau seumur hidupnya di caci, dimaki, dan dihina layaknya manusia, bukan, layaknya makhluk rendahan yang tidak memiliki harga diri dan hati nurani. Pada dasarnya gay sama seperti semua orang, juga manusia yang memiliki kasih sayang dan rasa ingin dibutuhkan, bukan sebagai seseorang yang harus dijauhi karena orientasi seksualnya.
            Ian merasa dadanya sesak, dipenuhi kebencian dan amarah yang meluap-luap. Artikel yang dibacanya di salah satu situs telah menggores hatinya, bagaimana banyak orang sepertinya dibantai, dicaci maki bahkan dibunuh oleh orang-orang homofobik yang selalu menganggap gay adalah dosa. Padahal tidak ada satu ajaran agama pun yang mengajarkan pelaku gay adalah kaum berdosa. Logikanya, Tuhan menciptakan semua orang dengan satu tujuan. Tuhan menciptakan kaum gay,  bukan untuk mencari dosa. Mustahil jika Tuhan yang menciptakan, menghendaki agar kaum Gay ‘ada’  tapi Dia juga yang menghukumnya karena yang dilakukan ciptaannya berdosa.
            Ian rasanya ingin berubah. Ia tidak mau hidup seperti ini, hidup dalam kepura-puraan dan alibi. Bersembunyi dari orang-orang disekitarnya. Berpacaran dengan wanita, hanya untuk formalitas semata yang padahal ia tahu bahwa itu hanya akan menyakiti wanita yang dipacarinya. Bersembunyi, mencari alasan ketika Mr. dan Mrs. Livingstone, kedua orang tuanya bertanya kapan ia akan menikah. Ian sudah lelah hidup seperti itu.
            “Ya Tuhan, aku lelah hidup seperti ini. Aku lelah.” Batinnya getir.
            Diambilnya foto salah seorang sahabatnya. Sahabat yang sangat ia cintai sepenuh hati. Ian begitu menyayanginya, hanya dalam hati. Ia tahu cintanya bertepuk sebelah tangan, yang membuat hatinya tersayat setiap mengingatnya. Tapi ia selalu ingat, yang penting bukan kebahagiaan dirinya, tetapi kebahagiaan sahabatnya itu, meskipun ia harus melepasnya bersama orang lain.
            Ian mendekap foto itu erat-erat, mengalirkan segenad darah dan detak jantungnya kepada sahabatnya itu, berharap mereka akan selalu bersama, sebagai sahabat.
            Kemudian ia terdiam. Diam yang lama.
            Akhirnya ia hanya menangis, mengingat hidupnya yang telah berbeda dari orang lain, tetapi dipaksa untuk mengikuti norma yang ada di lingkungannya itu walau itu bertentangan 180 derajat dari hati nuraninya.
*************************************************************************************
            “Kurasa akhir-akhir ini Ian semakin menutup diri dari kita. Ia bertambah murung saja.” Kata Andy Flynn kepada Gabe Anderson, sahabatnya. Keduanya adalah sahabat Ian Livingstone.
            Keduanya sudah tahu Ian seorang gay. Dan hanya mereka yang tahu bahwa Ian seorang gay. Mereka juga tahu bahwa Ian mencintai Andy, meskipun Ian berpikir bahwa temannya itu tidak mengetahuinya. Andy juga seorang gay sebenarnya. Wajahnya ganteng bukan main, menurut Ian bahkan Andy tidak jauh beda dengan Zac Efron karena memang Andy memang mirip dia. Tapi ia masih menutupinya. Ia masih tidak yakin bahwa dirinya adalah seorang gay atau hanya ketertarikan yang berbeda yang akan pulih dengan sendirinya. Sementara Gabe 100% straight, namun ia masih menerima Ian apa adanya. Gabe orang yang baik, wajahnya tampan, hidungnya mancung dan ia masih keturunan Portugis dari kakeknya, ia juga masih menganggap gay itu normal adanya. Kalau Ian sih manis, memang sih ia itu ganteng, tetapi kemanisannya lebih mendominasi. Ketiganya tidak bisa lepas satu sama lain.
            “Mungkin sibuk mengerjakan tugas kuliahnya, mungkin saja kan.” Jawab Gabe acuh tak acuh. “Jangan terlalu dipikirkan, nanti juga akan seperti biasanya lagi.”
            “Tapi ini sudah seminggu Ian tidak ada kabarnya. Ayolah, apa kau tidak cemas?”
            “Cemas sih, tapi tidak usah berlebihan begitu lah.”
            Andy kesal dan memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan. Ia memutuskan untuk menghubungi lagi Ian setelah berkali kali ia mencoba menghubunginya. Ia harap ini berhasil, karena sebelumnya nomor Ian tidak aktif sekali pun.
            Belum sempat Andy menghubunginya, Handphonenya bunyi. Ia bergegas keluar dari kamar Gabe untuk menjawabnya.
            Gabe memperhatikan temannya itu berbicara, tapi tak sedikitpun ia mendengar apa yang dibicarakannya.
            Tak lama kemudian Andy masuk.
            “Tadi siapa?” tanya Gabe.
            “Ian. Ia mengajak kita untuk makan malam di Wendy’s malam ini.” Katanya. Terdengar nada khawatir pada perkataannya.
            “Tuh kan, apa kubilang. Kau saja yang terlalu khawatir, buktinya semua baik-baik saja.” Kata Gabe santai.
            “Tapi..”
            “Tapi apa?” Gabe yang sedang tidur-tiduran mendongak.
            “Ian terdengar begitu gembira tadi. Tidak seperti Ian yang biasanya.”
            “Loh, bukannya itu bagus? Berarti ada kemajuan dong?” kilah Gabe.
            “Tapi ini tidak seperti biasanya. Ada sedikit keanehan dalam nada bicaranya. Ada keganjilan yang aku tidak tahu apa maksudnya itu.” Andy menggigit jari.
            “Santai saja. Kau tahu? Sifatmu yang terlalu gampang cemas sesungguhnya merepotkan lho..” kata Gabe menenangkannya.
            Mungkin Gabe benar, pikir Andy. mungkin aku saja yang terlalu cemas.
            Tapi bagaimana jika firasatku benar?
*************************************************************************************
           Malamnya di Wendy’s, Ian menepati janjinya. Ia sudah memesan segelas wine ketika Andy dan Gabe datang.
            “Ian!” panggil Gabe dari pintu masuk kepada Ian yang duduk di pojokan. Gabe dan Andy bergegas menghampirinya.
            Andy menarik kursi dan melepas jaket coklatnya.
            “Mengapa akhir-akhir ini kau tidak ada kabarnya, sob?” tanya Andy ringan.
           Andy memperhatikan Ian. Malam ini Ian terlihat begitu mewah. Pakaiannya Andy tahu bernilai ratusan dollar. Dan dari parfumnya, ia tahu itu tidak bisa dibeli orang sembarangan. Itu membuat Andy bingung. Ian yang ia kenal biasanya selalu berpakaian santai. “Buat apa beli pakaian mahal-mahal. Buang buang uang saja.” Begitu katanya setiap Gabe mengajaknya untuk membeli pakaian bermerk. Andy menoleh ke Gabe. Gabe nampaknya juga menyadari keanehan ini.
            “Biasa, aku sibuk sekali akhir-akhir ini. Maaf ya.” Katanya singkat. Ia lalu memesan minuman. Minuman mahal seharga 271 dollar sebotolnya!
            “Ian! Minuman itu harganya ratusan dolar!” Gabe kebingungan.
            “Tidak apalah. Saat-saat terakhir harus selalu berkesan. Aku tidak ingin melewatkannya begitu saja.” Katanya sambil tersenyum. Ia menatap Andy dan Gabe bergantian. “Yang terakhir harus selalu berkesan, kan?”
            Andy tercekat. Ian biasanya selalu berhemat. Maklum, ia bukan tergolong orang kaya, jadi harus pandai-pandai mengatur keuangannya. Tapi Andy merasa orang yang ada di hadapannya bukanlah Ian yang ia kenal.
            “Apa maksudmu sih? Bicaramu kok melantur gitu?” tanya Andy heran.
            Ian menghela napas panjang dan..
            “Tidak ada lusa, Andy, Gabe. Aku ingin besok, kalian ada di apartemenku untuk menemaniku.”
            “Menemanimu? Untuk apa?” tanya Gabe.
            “Aku ingin kalian menemaniku…” Katanya begitu yakin. “saat aku mengakhiri hidupku.”
            Andy begitu tercekat mendengarnya. Begitu juga Gabe. Pikiran mereka berdua saat itu langsung blank dan hampa. Kosong.
            “Ah, kau pasti bercanda kan? Ayolah, Ian, ini sama sekali tidak lucu.” Tawa Gabe penuh kecanggungan sesaat setelah ia bisa mengendalikan diri.
            “Tidak, aku tidak sedang bercanda, Gabe. Aku serius.” Terbesit keyakinan yang begitu jelas di matanya ketika ia berkata seperti itu.
            “Ta-tapi mengapa?” kata Andy masih belum percaya. Ia masih belum bisa berkata apa-apa. Saking kagetnya, mulutnya terasa kelu.
            “Aku sudah lelah hidup seperti ini. kau tahu? Di luar sana banyak orang yang membenci gay sepertiku. Bahkan banyak gay yang dibunuh! Aku tidak mau seperti mereka. Hidup dalam penderitaan hingga akhir hayat mereka. Sebaik apa pun aku, dimata mereka aku --dan kaumku yang lain—selalu salah. Mereka menghujat kami kalian tahu? Mencaci maki kami dengan membawa segala kutipan agama yang mereka yakini melarang hal seperti ini juga. Aku tidak bisa seperti yang lain, yang telah mati dengan membawa penderitaan yang begitu berat. Sudah saatnya aku menentukan hidupku sendiri, sebagai seorang yang bebas. Dan aku memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu esok malam di apartemenku. Dan, dan..” kata-katanya terputus. Di matanya hanya tersirat kekosongan. Kosong yang penuh rasa sakit.
            “Tapi tetap saja, itu, itu…. Salah.” Kata Gabe.
            “Gabe benar, Ian. Kau tidak bisa berbuat seperti itu, Ian! Kami ini sahabatmu, ingat. Kami tidak bisa membiarkan apa pun terjadi padamu. Ayolah, singkirkan pikiran itu. Kau harus tahu kami menyayangimu. Kami akan selalu ada di sisimu..” belum selesai Andy berbicara Ian langsung memotongnya.
            “Karena kalian sahabatku. Aku ingin kalian ada di sisi ku ketika aku mengakhiri hidupku. Karena kalian sahabatku.” Kata Ian tulus. Ia menggenggam tangan kedua sahabatnya itu. Sejenak Andy bisa merasakan penderitaan yang dirasakan temannya itu.
 “Oh ya, aku hampir lupa. Aku akan mengatakannya sebelum aku mati. Andy, aku mencintaimu, bukan sebagai sahabat, tetapi ‘cinta’ yang sesungguhnya. Entah kau akan membenciku, tapi selama ini aku sayang padamu. Aku hanya ingin kau tahu itu.”
“Anyway, kalian mau menemaniku kan? Ayolah, lakukan untukku.” Tambahnya.
            Gabe menoleh kearah Andy yang terdiam mendengarnya. Nampaknya itu bukanlah suatu kejutan mengingat mereka berdua sudah mengetahuinya sebelumnya. Namun Andy tidak berkata apa pun. Tetap saja terasa aneh bila diucapkan.
            Andy dan Gabe lalu bertatapan. Mereka ragu. Ragu, kaget, dan otak mereka masih menganggap ini semua hanyalah lelucon belaka. Tapi kesungguhan yang terpancar dari diri Ian membuat Andy dan Gabe hanya bisa terdiam.
*************************************************************************************
            “Apa yang harus kita katakan kepada Ian?” tanya Gabe cemas keesokan harinya.
            Masih dikamar Gabe, Andy berpikir keras apa yang harus mereka lakukan nanti malam. Semalam mereka belum memberi jawaban atas permintaan Ian yang super mengejutkan itu.
            “Bagaimana pun itu salah. Aku tidak ingin kehilangan sahabatku sendiri.”
            Dalam hati Andy mengiyakan perkataan Gabe. Ia juga belum siap—sama sekali tidak siap—untuk kehilangan teman terdekatnya. Mereka bertiga sudah bersahabat sejak High school. Sampai sekarang mereka masih bersahabat walau pun masing-masing beda universitas.
            Entah perasaan apa yang Andy rasakan, tapi ia merasa ada perasaan lain selain rasa sebagai ‘sahabat karib’. Hati kecilnya seperti tidak mau kehilangan Ian, karena rasa yang lain.
            Ah, ini hanya perasaanku saja, batinnya.
            “Aku juga berpikir seperti itu. Tapi rasanya ia bersungguh-sungguh ingin melakukannya. Ingat pakaiannya semalam? Juga wine yang ia pesan seharga ratusan dolar itu? Itu bukan dirinya lagi, Gabe. Ia melakukannya karena ia tahu hidupnya kan segera berakhir. Ia sudah siap untuk melakukannya. Sangat siap.” Kata Andy getir.
            “Tapi, tapi.. itu salah. Dan..” Gabe tidak melanjutkan perkataannya.
            “Aku juga merasa Ian belum siap untuk ini. tapi apa kau lihat penderitaannya? Ia sudah sangat menderita. Mungkin ia telah menemukan cara lain untuk mengakhiri penderitannya. Berakhir dalam damai.” Kata Andy, seolah membaca pikiran Gabe.
            Gabe terdiam. Lama. Ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih sekarang.
            “Kurasa kita sudah mendapatkan keputusan,” kata Andy getir. Kerongkongannya terasa tercekat.
            Gabe terdiam tanda ia menyetujuinya walau pun berat.
*************************************************************************************
            “Sebentar.” Sahut Ian.
            Ian terlihat begitu gembira ketika mendapati dua sahabatnya sudah berdiri di hadapannya. “Ayo masuk!” katanya sambil membuka pintu lebar-lebar.
            Andy dan Gabe duduk di sofa besar di apartemen itu. Terdapat tiga gelas wine putih di meja di depan mereka dan sebuah botol yang tidak diketahui isinya. Ian lalu mempersilahkan kedua temannya untuk minum.
            “Terima kasih kalian mau datang ke tempatku. Kalian tidak tahu betapa aku menghargai perbuatan kalian ini. terima kasih. Hanya ucapan terima kasih yang bisa kuberikan sebagai tanda terima kasih terakhirku untuk kalian.” Katanya. Saat itu Ian terlihat begitu bersih dan segar, seakan sudah mati dengan kepucatannya itu. “Untuk teman-temanku, yang ada di sampingku hingga aku mati,” katanya lalu bersulang dengan Andy dan Gabe.
            Andy dan Gabe hanya terdiam, bersulang dengan hampa tanpa meminumnya sedikitpun. Hampa. Itulah yang Andy rasakan saat itu. Ingin rasanya ia menghalangi Ian, namun sisi lain hatinya beranggapan bahwa tekad Ian sudah bulat, mustahil untuk merubahnya.
            Lama sekali mereka berdiam diri tanpa berucap satu sama lain.
            “Well, ini saatnya.” Kata Ian akhirnya, lirih. Ia mengambil botol kecil di meja dan menuangkannya ke wine putihnya. Ketika bubuk-bubuk putih dari botol itu tertuang ke minumannya, seketika wine putih itu berubah warna menjadi merah tua.
            Ian memegang gelasnya. Gemetar ia memegangnya. Tepat sebelum Ian menegak minumannya, Andy berdiri.
            “Ehm, Ian, ingatkah kau ketika kita bertemu di High School dulu? Kita satu kelas saat ospek, ingat? Aku, kau dan Gabe. Ingatkah apa yang mempertemukan kita hingga kita menjadi sahabat seperti sekarang?” tanya Andy sambil menoleh kearah Ian.
            Ian sedikit menerawang, mengingat masa-masa saat mereka bertiga ospek dulu. Ia lalu meletakkan gelasnya di meja.
            “Ya aku ingat. Kita memakai baju aneh, topi dari jerami dengan wajah coreng moreng hitam yang membuat kita menjadi aneh. Awalnya kita tidak saling kenal. Lalu saat ada permainan berkelompok, kita bertiga sekelompok. Kita kalah, dan kita harus menghabiskan satu permen lollipop bertiga, secara bergantian. Ya, aku ingat itu. Memangnya kenapa?”
            “Ingat Lollipopnya, Ian! Bagaimana manisnya, yang membuat kita bertiga menjadi seperti sekarang. Manis yang kita bertiga rasakan, yang kita bagi hingga kita semua dapat merasakannya. Ingat saat itu, kita berbagi! Tak peduli betapa malunya kita saat itu, kita menikmatinya iya kan? kita menikmatinya karena kita bersama, Ian.” Sambung Gabe.
            Ian kembali mengingatnya kepada saat-saat itu. “Lalu maksudmu?” tanyanya.
            “Yang dimaksud Gabe adalah kita harus berbagi, seperti kita berbagi lollipop itu. Kau ada masalah, kami ada. Aku ada masalah, kalian ada. Gabe kesulitan, kita berdua disisinya. Aku dan Gabe tidak akan membiarkanmu dalam kesulitan, Ian. Ayolah, kita ini teman. Kau tidak bisa menyimpan masalahmu sendirian. Biarkan aku dan Gabe membantumu. Kami akan membantumu melaluinya.” Andy menambahkan sambil duduk di sebelah Ian.
            “Tapi semua sudah terlambat, Andy. semua sudah begitu sulit untuk dirubah. Aku sudah tidak sanggup lagi. Kau tidak merasakan bagaimana sakitnya aku, berdiam diri ketika orang-orang sepertiku dibantai diluar sana. Itu menyakitkan. Masalah ini, masalah gay ini. aku takut mengecewakan orang tuaku, aku tidak mau melihat kesedihan di waajah ibuku. Aku lebih baik mati hingga tak ada satu pun yang tahu. Itu akan membuatku labih baik.” Katanya. Ia menatap tajam Andy.
            “Lihat ke dalam hatimu! Bukan ini yang membuatmu merasa lebih baik. Lihatlah!” seru Gabe.
            Ian terdiam lama.
            “Yang membuatku lebih baik adalah saat aku tidak harus mendapatkan masalah seperti ini semua.” Katanya sambil menunduk.
            “Tepat! Aku dan Gabe tidak akan menemanimu bunuh diri, tapi kami akan menemanimu melalui masalahmu. Yang kau butuhkan saat ini hanyalah dukungan teman, bukan mengakhiri hidupmu begitu cepat. Pikirkanlah, Ian.” Kata Andy. ia menggenggam erat tangan Ian dan dirasakannya tangan itu gemetaran.
            Ian menatap kedua sahabatnya. Matanya memerah, kemudian sebutir air bening mengalir dari pelupuk matanya.
            “Ya. Kau benar. Tak pernah kupikirkan itu. Tak pernah terlintas di benakk. Aku memiliki teman yang harus kupertahankan. Ya, seperti teman..” katanya tersendat-sendat.
            “Seperti sahabat.” Tambah Gabe.
            Gabe duduk disebelah Ian, dan kami memeluknya. Erat. Berharap kesedihan dan penderitaannya akan terbagi bersama Andy dan Gabe. Ian hanya menangis sementara tanpa ia sadari bibirnya terus mengucap.
            “Seperti sahabat, sahabat, sahabat,……” ulangnya getir. Giginya bergemeletukan sementara air matanya terus mengalir.
            Andy lalu berdiri.
            “Tidak, Gabe-lah sahabatmu. Aku pacarmu.” Kata Andy.
            Ian menengadah. “ Apa maksudmu?”
            Gabe juga agak kaget mendengarnya.
            “Setelah pernyataanmu kemarin, barulah aku sadar aku juga mencintaimu. Sebagai pacar. Aku tak sanggup kehilanganmu. Sejak peristiwa lollipop itu, aku sudah menyayangimu, tetapi aku tidak yakin perasaan apakah itu. Dan kemarin, aku sadar aku mencintaimu. Aku berjanji akan menjadi lolipopmu, orang yang akan memberimu manisnya kehidupan sementara kau menjalaninya dan kebahagiaan saat kau menikmati saat saat bersamaku. Aku akan menjagamu. I’m your lollipop.. Ian Livingstone, maukah kau menjadi pacarku?” Andy berlutut di hadapan Ian. Gabe agak menggeser posisi duduknya, menjauh.
            Ian tertegun mendengarnya. Sesaat kemudian ia tersenyum penuh haru.
            “Aku mau. Aku mau!” jawabnya sambil terisak. Ia lalu memeluk Andy dan Andy mencium keningnya. Gabe hanya tersenyum melihatnya. Ian hanya terus menangis di pelukan Andy. Menangis dan menangis.
            Menangis bersama lollipopnya.
(maaf kalo masih berantakan dan jelek banget, baru pertama bikin cerpen, hehehe)

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya, besar harapan penulis tolong tinggalkan jejak dalam kolom komentar, terimakasih....