Alan menunduk malu setelah
mengungkapkan perasaan yang selama ini ia rasakan pada Samuel, ini yang
terbaik, pikirnya, jika ia tidak bertindak sekarang, maka ia akan menyesal
sepanjang hidupnya.
“Aku hanya mau mengatakan itu
saja.. aku sudah pasrah, terserah sekarang kau mau menganggapku aneh atau
apa... itulah yang selama ini kurasa dan kupendam tentangmu.. selama ini aku
malu untuk mengatakannya padamu, tapi sekarang.. yahh.. kupikir kau pun pasti
sudah tahu tentang hal ini dari gosip yang beredar..” kata Alan lagi, sementara
Samuel masih terdiam, ekspresinya tidak dapat dibaca.
Lama keduanya terdiam, Alan masih
menunduk.
“A.. aku... “ Samuel akhirnya
membuka suara.
“Jangan !!” sentak Alan tiba-tiba,
Samuel sedikit terkejut dan kata-katanya terhenti.
“Ma.. maafkan aku... tapi aku belum
siap mendengar komentarmu sekarang, aku hanya mau mengatakannya padamu saja,
aku tidak berharap apapun.. sebaiknya aku pergi.. maaf sudah mengganggumu.. “
lanjut Alan kemudian bergegas pergi meninggalkan Samuel.
“Alan tunggu !!” panggil Samuel,
tapi Alan sudah terlanjur menghilang dari pandangan.
Samuel terdiam sambil memandang
kosong ke arah Alan menghilang.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar
Alan sudah merasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam dirinya, tidak
seperti anak laki-laki kebanyakan yang bergerombol di pojokan sekolah,
membicarakan siapa anak perempuan yang paling cantik, siapa yang paling seksi,
siapa yang rambutnya paling bagus, siapa yang paling kaya.
Alan sudah menyadari sejak lama
bahwa ia tidak menyukai perempuan, ia lebih tertarik pada anak laki-laki,
Ya,
Alan menyadari bahwa ia
adalah seorang gay, pada awalnya, hal tersebut memang sempat membuatnya
frustasi, ia frustasi tentang masa depannya, tentang jati dirinya, tentang apa
yang akan terjadi jika keluarga dan teman-temannya mengetahuinya, tentang
bagaimana ia harus menutupi kenyataan tersebut, bukan sekali dua kali ia
mencoba menyangkal dirinya yang sebenarnya dan berusaha hidup “normal” layaknya
anak laki-laki biasa, namun gagal, tapi seiring dengan berjalannya waktu, Alan
akhirnya mulai bisa menerima kenyataan tersebut dan akhirnya terbiasa dengan
hal itu.
Bertahun-tahun ia jalani
kehidupannya di tengah-tengah lingkungan normalnya, berusaha menahan hasratnya
untuk menunjukan perasaannya pada laki-laki yang ia suka, inilah resiko yang
harus ia jalani karena menyukai sesama laki-laki.
Alan sudah terlatih untuk tidak
menunjukan perasaannya pada laki-laki yang ia suka secara terang-terangan, bisa
dibilang ia sudah cukup pro dalam hal ini, hingga akhirnya ia bertemu Samuel di
hari pertamanya duduk di bangku kuliah.
Alan menatapnya duduk di seberang
Alan ketika masa orientasi selama 3 hari berturut-turut, sekalipun Alan tidak
belajar di kelas yang sama dengan Samuel, tapi itu tidak mematahkan rasa
sukanya pada Samuel, walaupun ia tahu sebesar apapun rasa sukanya pada Samuel,
ia tidak akan pernah bisa memilikinya.
Seperti yang sudah-sudah, kali
inipun Alan hanya bisa menatapnya dari kejauhan, memandang kesempurnaannya
sambil berharap suatu saat ia bisa melakukan lebih dari itu, ia dan Samuel
belum pernah mengobrol sekalipun, ini tentu saja karena mereka tidak sekelas,
sulit bagi keduanya untuk bisa saling berkenalan.
Hingga akhirnya kemarin sore Alan
menyerah, ia merasakan sesuatu yang berbeda dengan Samuel, sesuatu yang
mengatakan bahwa tidak apa-apa memberitahukan Samuel tentang perasaannya, maka
iapun akhirnya menyatakan secara terang-terangan pada Samuel bahwa ia
menyukainya, Alan memberanikan diri mendatangi Samuel dan mengajaknya ke atap
kampus, sekalipun sebenarnya keduanya belum saling mengenal dengan baik, bisa
dibilang itu adalah pertama kalinya mereka bicara satu sama lain.
⃰
Keesokan harinya setelah Alan
menyatakan perasaanya pada Samuel, Alan pergi ke kampus seperti biasa, sedikit
kelegaan menghinggapi hatinya, setidaknya ia sudah menyampaikan perasaannya
pada Samuel, soal bagaimana nanti pandangan Samuel terhadap dirinya, ia sudah
tidak lagi ambil pusing, Alan sudah bertekad untuk tidak akan pernah bertatap
muka dengan Samuel lagi, selamanya.
Saat ini Alan sedang berada dalam
kelasnya, menonton teman-teman sekelasnya bertingkah bodoh, baginya,
teman-teman sekelasnya ini adalah salah satu hiburan baginya, ia sangat
menyayangi teman-teman sekelasnya ini, karena hanya di depan merekalah Alan
dapat mengakui ke”khusus”annya secara nyaman dan terang-terangan, Alan sudah
memberitahukan secara terang-terangan pada mereka bahwa ia adalah seorang gay,
mereka entah menganggapnya bercanda atau apa, hanya tertawa dan mengangguk saja
ketika mendengarnya, mereka juga sudah tahu bahwa Alan menyukai Samuel,
bagaimana tidak bila sikap Alan setiap ada Samuel memperlihatkan hal tersebut,
dan Alan juga memberitahukan pada mereka bahwa ia menyukai Samuel.
Alan tersenyum-senyum sendiri,
membayangkan apa yang akan terjadi bila teman-temannya tahu ia sudah menyatakan
perasaannya pada Samuel.
Tiba-tiba sosok itu muncul di pintu
kelas Alan, sosok yang saat ini tidak ingin ditemui olehnya.
Samuel berdiri di pintu kelas,
memandang berkeliling ke dalam kelas dan berhenti pada sosok Alan yang juga
sedang menatapnya dengan kaku dan sedikit terkejut.
Samuel kemudian berjalan masuk ke
dalam kelas, langsung ke arah tempat duduk Alan, anak-anak yang lain
memandangnya dengan bingung, ini pertama kalinya Samuel masuk ke dalam kelas
mereka.
Samuel berhenti tepat di hadapan
Alan yang kemudian menundukan wajahnya, berpura-pura sedang sibuk membaca buku
yang ada di atas mejanya.
Anak-anak mulai berbisik-bisik
sambil tersenyum ke arah Alan dan Samuel, seluruh anak di kelas ini tahu bahwa
Alan menyukai Samuel, dan mereka bisa menerima hal tersebut dengan cukup baik,
walaupun, well, entah mereka menganggap Alan hanya bercanda atau apa.
“Kau sedang sibuk ?” tanya Samuel
membelah kesunyian antara dirinya dan Alan.
“Ah.. ehh.. ti.. tidak.. “ jawab
Alan terbata sambil masih menatap buku di mejanya.
“Bisa ikut aku sebentar ? ada yang
ingin kubicarakan denganmu tentang.. yang kemarin..” kata Samuel lagi.
Alan terdiam membeku di bangkunya,
matanya melotot gugup, ini dia, pikirnya.
“Bagaimana ?” tanya Samuel lagi.
Alan masih terdiam, cepat atau
lambat ini memang harus terjadi, pikirnya lagi.
Alan menghela napas panjang,
memantapkan hatinya, ia kemudian berdiri.
“Ayo.. “ katanya.
Keduanya kemudian berjalan keluar
kelas, bisikan anak-anak yang lain semakin ramai, beberapa mengacungi jempolnya
pada Alan sambil tersenyum,
Keduanya kemudian tiba di atap
bangunan kampus, tempat yang sama seperti kemarin.
“Apa yang mau kau katakan setelah
mendengar pernyataanku kemarin ?” tanya Alan memberanikan diri memulai.
Samuel menatap Alan, ia tersenyum,
“Sebetulnya, seperti katamu
kemarin, aku memang sudah mendengar gosip-gosip tentang itu sebelumnya...
akupun sudah merasa... entahlah.. “ Samuel terdiam sejenak.
“Ya, “ kata Alan sambil tersenyum, “kau
sering kali menangkap basah aku sedang memandang ke arahmu...”
“Ya...” sambung Samuel.
Wajah Alan merona, ia menunduk
malu, sudah kuduga, pikirnya, Samuel pasti sudah menyadarinya sejak lama.
“Apa aku boleh bertanya sesuatu ?”
tanya Samuel.
“Ya.” jawab Alan singkat.
“Apa yang membuatmu menyukaiku ?”
tanya Samuel.
Alan tersenyum simpul,
“Entahlah.. ada sesuatu dalam
dirimu yang membuatku menyukaimu.. aku merasa.. “ Alan terdiam malu sejenak,
“aku merasa ada kemiripan di antara kita, sesuatu dalam dirimu yang terasa
familiar bagiku.. aku merasa kita akan cocok satu sama lain..”
Samuel menatap Alan.
“Aku tahu itu kedengarannya bodoh..
akupun merasa demikian.. bagaimana mungkin aku bisa merasa kita akan cocok,
sementara kita tidak saling mengenal satu sama lain... tapi.. yahh... itulah
yang kurasakan terhadapmu..” sambung Alan.
Samuel masih menatap Alan,
ekspresinya tidak bisa dibaca, seperti biasa.
“Tapi jangan khawatir, aku tahu kau
laki-laki normal.. tidak mungkin kau akan membalas perasaanku, makanya aku
menyerah denganmu... aku tidak akan pernah mengganggu kehidupanmu.. kau tenang
saja.. aku hanya ingin mengatakannya padamu saja, seperti yang kukatakan
kemarin, aku tidak mengharapkan apa-apa darimu.. yang penting kau sudah tahu
perasaanku, itu sudah cukup..” kata Alan lagi.
Samuel tersenyum simpul setelah
mendengar perkataan Alan,
Alan menunduk salah tingkah
disenyumi seperti itu,
“Maafkan aku.. ” Samuel akhirnya
membuka suara, “seperti yang kau katakan tadi, iya, aku laki-laki normal..
karena itulah aku tidak bisa pacaran denganmu..”
“A.. aku tidak minta kau jadi
pacarku !!” sanggah Alan cepat memperbaiki kesalahpahaman Samuel,
“Aku tahu.. “ Samuel balas
menyanggah.
Alan terdiam lagi,
“Aku tahu itu.. “ sambung Samuel
sambil tersenyum lagi, “tapi aku bisa menjadi sahabatmu..”
Alan menatap Samuel yang masih
tersenyum padanya,
Ya, Samuel menolaknya secara halus,
Alan tahu kasus-kasus yang seperti ini, menawarkan persahabatan sebagai
kompensasi dari penolakan, tapi pada kenyataannya nanti mereka bahkan tidak akan
saling bicara lagi.
Alan kemudian balas tersenyum,
“Ya.. tentu saja.. “ katanya, ia
tahu ini mungkin akan menjadi kali terakhirnya ia bisa mengobrol dengan
Samuel, menyedihkan memang, tapi mau bagaimana lagi, mungkin memang harus
begini jadinya.
Keduanya kemudian terdiam sejenak,
“Baiklah... bila tidak ada lagi
yang mau kau bicarakan... aku turun duluan ya... “ kata Alan akhirnya.
“Ahh.. iya.. ayo kita turun
sama-sama.. “ kata Samuel.
Alan mengangguk, keduanya lalu
turun ke lantai dasar bangunan kampus mereka.
“Kau pulang dengan siapa nanti ?
mau pulang bersama denganku ?“ tawar Samuel ketika keduanya sudah tiba di depan
kelas Alan.
Tawaran basa basi, pikir Alan,
Samuel menawarkan tumpangan pulang juga hanya sebagai kompensasi atas
penolakannya pada Alan, boleh saja hari ini dia diantar pulang, tapi besok,
jangan harap Alan bisa melihat tampang Samuel lagi.
Alan tersenyum getir,
“Terima kasih tawarannya, tapi
siang ini aku mau ke rumah teman..” bohongnya.
“Ohh.. “ kata Samuel pelan, anggap
saja Alan salah lihat, tapi ia sepintas melihat sedikit guratan kekecewaan di
wajah Samuel.
“Mungkin lain kali.. “ kata Alan
lagi.
“Ya.. baiklah... kau hubungi saja
aku kalau kau senggang.. “ kata Samuel.
“Ya.” balas Alan.
Samuel tersenyum lagi,
“Baiklah.. aku masuk dulu..
sampai.. ehh.. jumpa lagi.. mungkin.. “ kata Alan akhirnya.
“Ya, sampai jumpa lagi..” balas
Samuel.
Alan kemudian masuk ke dalam kelas,
meninggalkan Samuel yang masih berdiri di depan kelas Alan, tersenyum
memandangi punggung Alan yang berjalan menjauh.
⃰
Malam harinya, kamar Alan.
Alan merebahkan tubuh di atas
tempat tidurnya, memandang langit-langit kamarnya sambil merenung.
Dari awal dia memutuskan untuk
menyatakan perasaannya pada Samuel, Alan tahu bahwa hal ini akan terjadi,
bahkan sebetulnya ia sadar betul bahwa kemungkinan besar hal inilah yang akan
terjadi, sejak awal Alan tahu bahwa Samuel adalah laki-laki normal, tidak
mungkin Samuel akan membalas perasaannya, tapi ia lega, karena Samuel
menggunakan cara yang halus untuk menolaknya,
Alan tersenyum simpul,
Samuel bahkan menawarkan
persahabatan padanya, walaupun yeahh.. hanya basa basi saja.
Ya sudahlah, pikir Alan, memang
suatu hal yang sangat bodoh untuk lelaki gay sepertinya mengharapkan cintanya
pada laki-laki normal dapat terbalaskan,
Lama Alan termenung sambil masih
memandang langit-langit kamarnya, ketika tiba-tiba intro lagu How To Safe A Life milik The Fray terdengar di
sebelah kirinya,
Ada pesan masuk ke handphone-nya.
Alan mengambil handphone-nya
kemudian membaca pesan yang masuk tersebut,
“Hai.. sedang apa kau ?”
Alan mengernyitkan dahinya, ia
melihat nomor pengirimnya,
Bukan nomor yang ia kenal,
“Ini siapa ?”
Alan membalas pesan tersebut,
Sebenarnya ia hanya basa basi
membalas pesan tersebut, ini bukan pertama kalinya ada yang mengirim pesan
seperti itu padanya, di sekolah, Alan termasuk salah satu anak laki-laki yang
digandrungi oleh para anak perempuan, hal ini tentu saja karena wajah tampan
yang ia miliki, sering kali anak-anak perempuan itu mengirimi pesan yang sama
seperti yang barusan ia terima, Alan tentu saja tidak tertarik dengan mereka,
tapi demi menjaga hubungan baik, Alan tetap membalas pesan-pesan tersebut.
Handphone-nya berbunyi lagi, Alan
membaca balasan pesannya dengan malas,
“Ini aku, Samuel.. “
Alan melotot membaca pesan
tersebut, sontak ia langsung bangun dan duduk di atas tempat tidurnya,
Tidak mungkin, pikirnya, ada angin
apa tiba-tiba Samuel menghubunginya ? dan juga, darimana ia tahu nomor
handphone Alan ?
“Dari mana kau tahu nomor
handphone-ku ?”
Tangan Alan bergetar saking
terkejutnya, ia senang Samuel mengiriminya pesan, tapi di sisi lain ia bingung
kenapa Samuel tiba-tiba menghubunginya.
“Aku tanya dari teman
sekelasmu, tadi siang aku lupa menanyakan langsung padamu.. hehe.. sedang apa
kau ?”
Samuel membalas pesannya.
Alan tersenyum sambil membalas
pesannya,
“Aku sedang istirahat di
kamar.. ada apa ?“
“Ohh.. kau sedang senggang ?
temani aku jalan-jalan mau tidak ? aku bosan di rumah, tidak ada kerjaan, kalau
kau mau.. kujemput kau ke rumahmu.. “
Alan membeku di tempatnya sambil
membaca pesan balasan dari Samuel, bernafas saja ia tidak berani saking
senangnya, Samuel mengajaknya jalan !!!!
Wajah Alan merona merah, “Mimpi apa
aku semalam ?” pikirnya.
“Boleh..”
Alan masih terdiam di tempatnya,
menanti balasan pesan dari Samuel.
“Oke, setengah jam lagi aku
tiba di rumahmu..”
Itulah isi pesan terakhir dari
Samuel.
Alan masih terdiam di atas
tempat tidurnya, ia masih belum percaya Samuel baru saja mengajaknya jalan.
Senyum merekah di wajahnya,
Setengah jam kemudian motor Samuel
sudah bertengger di depan rumah Alan,
“Kau mau mengajakku ke mana ?”
tanya Alan.
“Kau sudah makan malam ?” tanya
Samuel.
Alan menggeleng,
“Kalau begitu, pertama kita cari
makan dulu, biar kutraktir kau.. ayo naik.. “ kata Samuel.
Alan menuruti perkataan Samuel,
setelah yakin Alan sudah duduk dengan nyaman di belakangnya, Samuel langsung
menjalankan motornya.
Singkat cerita keduanya kini duduk
di dalam sebuah cafe kecil di pusat kota,
Alan terdiam menatap Samuel yang
duduk di hadapannya, menyantap pesanannya dengan lahap, baru pertama kali ini
ia melihat pemuda berkaca mata itu makan, cukup berantakan menurutnya, Alan
tersenyum samar melihat cara Samuel makan.
Alan kemudian melayangkan
pandangannya ke sekitarnya, cafe ini tidak begitu besar, tapi terasa cukup
nyaman,
“ka.. kau sering.. ehh... ke sini
?” tanya Alan terbata.
Samuel mengangguk sambil berusaha
menelan makanan dalam mulutnya,
“Dulu aku dan kakak-kakakku sering
makan di sini.. tapi sejak kakak laki-lakiku pindah ke kota sebelah kami jadi
jarang ke sini lagi..” katanya setelah mulutnya kosong.
“Kau punya berapa kakak memangnya
?” tanya Alan penasaran.
Samuel tersenyum, inilah tujuannya
mengajak Alan keluar malam ini, untuk bisa lebih saling mengenal satu sama
lain, Samuel tahu Alan penasaran sekali mengenai dirinya tapi Alan malu untuk
bertanya duluan, jadi Samuel memancingnya terlebih dahulu.
“Aku punya dua kakak, kakakku yang
pertama perempuan, umurnya tiga tahun di atasku, namanya Gabriella, sedangkan
kakakku yang kedua, kakak kembarku... namanya Kenneth, sekarang ia tinggal di
kota sebelah untuk urusan sekolah.” kata Samuel.
“Kau punya saudara kembar ???”
tanya Alan kaget, ini berita baru baginya.
Samuel mengangguk.
“Sekarang ceritakan tentangmu, kau
berapa bersaudara ?” tanya Samuel.
“Aku anak tunggal.. “ jawab Alan.
“Ohh.. “ kata Samuel.
Alan melanjutkan makan, sementara
Samuel terdiam tampak sedang berpikir,
Alan menatap Samuel,
Alan senang sekali bisa makan di
luar bersama Samuel, ini bagai mimpi baginya, ingin rasanya waktu ini tak
pernah berhenti, tapi kemudian kenyataan menghantam lamunannya, ia kembali
teringat akan peristiwa tadi siang, Samuel sudah menolaknya, acara makan malam
ini juga pasti salah satu kompensasi dari Samuel,
Alan menunduk, ia meletakan
sendoknya,
“Sebetulnya kau tidak perlu
melakukan ini, Samuel.. “ katanya lesu.
“Hah ? melakukan apa ?” tanya
Samuel bingung.
“Menawarkan persahabatan..
mengajakku makan di luar... aku tahu kau melakukan ini karena kau kasihan
padaku, kan.. “ jawab Alan.
Samuel mengernyitkan dahinya,
“Aku apa ?” tanyanya semakin
bingung.
Alan terdiam sambil masih menunduk,
Samuel menatap bingung pada Alan,
sejenak kemudian ia mengerti apa maksud Alan, Samuel tertawa hambar,
“Jadi kau pikir.. tadi siang aku
menawarkanmu persahabatan hanya basa basi saja , begitu ??? sekarang ini aku
mengajakmu keluar hanya untuk menutupi rasa bersalahku karena sudah menolakmu
??” tanyanya.
Alan masih menunduk terdiam,
“Dengar ya, Alan... asal kau tahu
saja, aku serius waktu mengatakan ingin menjadi sahabatmu tadi siang itu... dan
sekarang juga aku mengajakmu keluar maksudnya agar kita bisa mulai mengenal
lebih dalam mengenai satu sama lain...” kata Samuel tegas.
Perlahan Alan mengangkat wajahnya
menatap Samuel, Samuel sendiri balas menatap Alan dengan tajam, wajahnya tampak
serius.
“Kau masih belum percaya ?” tanya
Samuel.
“Bu.. bukan begitu.... hanya
saja... harusnya.. ehh... normalnya, seorang laki-laki bila ditembak oleh
laki-laki lagi pasti akan merasa jijik dengan laki-laki itu dan.. ehh... menjauhinya,
bukannya malah.. bersahabat dengannya..” jawab Alan terbata.
“Jadi kau mau aku menjauhimu saja
?” tanya Samuel tampak serius.
“Ahh... ti..tidak... jangan.. “
kata Alan takut.
“Lalu ? kau mau mulai mempercayaiku
atau bagaimana ?” tanya Samuel lagi.
Alan menatap Samuel lagi dengan
cukup lama,
Ia akhirnya tersenyum, Samuel juga
balas tersenyum,
“Sudah percaya ?” tanya Samuel.
Alan mengangguk,
“Baguslahh.. “ kata Samuel lalu mengemut
lolypop yang baru ia buka bungkusnya.
Alan masih terdiam sambil menatap
Samuel.
“Ehhmm... boleh tanya sesuatu ?”
tanya Alan.
Samuel mengangguk sambil masih
mengemut lolypopnya.
“Kenapa kau tidak menjauhiku ? kau
tidak jijik denganku yang... ehh... gay ini ?” tanya Alan takut.
Samuel meletakkan sendoknya,
kemudian menatap Alan,
“Kakak kembarku, Kenneth, juga sama
sepertimu... jadi aku sudah cukup terbiasa dengan masalah percintaan sesama
jenis..” jawabnya,
“Ap.. apaa ?? kakak kembarmu juga
??”
Samuel mengangguk,
“Andai saja yang kuliah di sini itu
kakakmu, bukannya dirimu... kan masalah percintaanku tidak akan mengalami
hambatan.. “ gerutu Alan.
Samuel melotot pada Alan, sementara
Alan tersenyum nakal,
“Kenalkan aku pada kakakmu dong..”
kata Alan sambil masih tersenyum,
“Kakakku sudah punya pacar tahu..
namanya Collin, teman sekolahnya dulu..” kata Samuel.
“SIAL !!!” kata Alan sambil
pura-pura marah.
“Ya, sayang sekali. Sudah jangan
bicarakan masalah itu lagi, aku tidak peduli dengan orientasi seksualmu, yang
penting aku nyaman berteman denganmu, itu sudah cukup..” kata Samuel lagi lalu
kembali menyantap makanannya,
Alan tersenyum simpul lalu
mengikuti Samuel menghabiskan makanannya.
Sisa malam itu mereka habiskan
untuk mengobrol, bercerita tentang diri masing-masing, sedikit banyak Alan
mulai mengetahui tentang hidup Samuel, orang yang selama ini disukainya,
seperti mimpi saja ia bisa duduk berhadapan dengan Samuel, mengobrol dan
bercanda santai, sesuatu yang sangat ia dambakan selama ini.
Waktu sudah menunjukan pukul
setengah sebelas malam di arloji Alan ketika keduanya sampai kembali di depan
rumah Alan.
“Well, uhhmm... thanks ya..” kata
Alan ketika ia sudah turun dari motor Samuel.
“Ya.” balas Samuel sambil
tersenyum,
Alan balas tersenyum,
“Besok kau kuliah jam berapa ?”
tanya Samuel.
“Besok ? jam 7.. kenapa ?” tanya
Alan.
“Mulai besok kau kujemput saja,
ya.. “ kata Samuel.
“Apa ??” tanya Alan terkejut.
“Kubilang, mulai besok kau kujemput
ke sini.. “ ulang Samuel.
“Ti.. tidak usah.. aku tidak mau
merepotkanmu.. “ kata Alan lagi.
“Jangan konyol, sekarangkan kau
sahabatku, jadi wajar-wajar saja kan bila sahabat berangkat ke kampus sama-sama
? lagipula besok aku juga kuliah jam 7.” kata Samuel.
“Ta.. tapi..”
“Jam 6 pagi tepat aku akan sudah di
sini..” potong Samuel.
“Sam..”
“Baiklah.. aku pulang dulu, sudah
malam, sampai besok kalau begitu.. terima kasih ya karena sudah menemaniku
malam ini.“ kata Samuel.
Alan menatap Samuel,
“Baiklah,.. sampai besok..” katanya
akhirnya menyerah.
Samuel menyalakan motornya kemudian
melaju pergi meninggalkan Alan yang masih berdiri terpaku di depan rumahnya.
Alan memandangi Samuel hingga ia
tak terlihat lagi, Alan kemudian berjalan masuk ke dalam rumahnya.
Alan merebahkan tubuhnya di atas
tempat tidurnya,
Ia tersenyum senang, Samuel
ternyata tulus mau bersahabat dengannya, ia tidak pernah membayangkan bahwa
akan begini jadinya, selama ini yang ia pikirkan adalah bahwa Samuel akan
menjauhinya setelah Alan menyatakan perasaannya pada Samuel, tapi kenyataannya
ternyata lebih baik dari yang diharapkan, Alan berjanji pada dirinya sendiri
untuk berhenti mencintai Samuel, karena sekarang Samuel adalah sahabatnya, ia
tidak mau mengajak sahabatnya memasuki dunianya yang kelam dan berat.