By: Richie Reach
Langit mendung berselimut kabut.
Didalam kamar berukuran 3x4 meter, seorang laki-laki berusia 21’an masih
meringkuk didalam selimut. Bantal basah, mata sudah hampir kering dan memerah.
Ia sudah hampir tiga jam menangis tanpa seorang pun tahu. Hanya kesunyian
peneman lara, dan kepedihan yang jadi sahabat setia. Jika ingat semua kejadian
itu, rasanya ingin mati seketika dan terbangun setelah semua sudah berakhir.
Baginya menjadi lelaki yang mencintai sesama sudah sama pedihnya, namun ketika
ia bisa menerima dan bersahabat dengan kepahitan itu, kenapa orang yang ia
cinta dan percayai tega membiarkan hatinya terkoyak. Dengan segala
penghianatan.
Revan, cowok itu baru saja menerima
kenyataan kalau Angga lelaki yang ia cintai tega selingkuh dengan cowok lain.
Hubungan yang sudah ia bina hampir empat
tahun pasca lulus SMA kandas begitu
saja. Lantaran ia memergoki Angga bercumbu dengan Fajar, teman rekan kerjanya
di dalam kosannya. Tega dan tanpa rasa bersalah, dengan datar Angga meminta
maaf. Sudah lebih dari 3 tahun Angga melakukan hal itu tanpa sepengetahuannya.
Apa
arti janji kesetiaan yang selalu ia ucap. Revan tidak pernah sekalipun meladeni
setiap orang yang berusaha mengenalnya lebih dekat, bahkan ia menjaga semua
kepercayaannya. Namun apa balasannya, nihil. Hanya kepedihan dan sakit hati
luar biasa yang didapat.
Disini Revan hanya tinggal sendiri,
seluruh keluarganya tinggal di Batam. Alhasil saat terpuruk, hanya diri sendiri
yang bisa menenangkan hati. Namun, rasa perih sepertinya tidak bisa dibohongi.
Kalau saja ada kesempatan, ia ingin memukul cowok itu dengan kerasnya dan
membiarkanya jatuh tersungkur biar tahu rasanya sakit hati seperti apa.
Lelah, sudah bukan saatnya menangisi
semuanya. Namun kadang saat ingat kenangan itu, tak bisa ditahan juga air mata
untuk menetes. Revan bangkit, ia membuka jendela. Ternyata hari sudah pagi.
Berarti semalam suntuk ia tidak tidur. Untung saja hari ini weekend, otomatis ia tidak perlu
repot-repot untuk berangkat kerja.
Kesal, ia mengambil netbook, dan langsung berseluncur di
dunia maya. Seperti biasa status galau dan sindiran maut ia rancang. Namun apa
arti semua itu, yang ada malah seperti ia masih mencintai cowok itu, persetan
dengan semua itu.
Dega Alviano: Apa yang kamu lakukan
kalau ternyata pacar kamu selingkuh?
Sial, status salah satu temen fb
kenapa harus sama sih dengan kenyataanya sekarang. Kebetulan atau memang di
sengaja, yang jelas mungkin kebetulan. Karena Revan sama sekali tidak mengenal
siapa sosok Dega Alviano. Walau status-status romantic dan hal lainya sering
nampung di beranda.
Dengan berapi-api Revan langsung men-chat karena kebetulan Dega sedang
online...
Revan
Casanova : Gantung dia di tower
telkom
Dega
Alviano : Hehe, kok nge chat gak komen di status, bang?
Revan
Casanova : Emang gue abang tukang
balon apa? nah Lu pagi-pagi
bikin status aneh bikin orang galau
Dega
Alviano : Wah, maaf deh bang.
Aku Cuma habis nonton film yang
temanya tentang selingkuh, yah aku tulis aja di
status.
Abang kesindir yah, hehe? Maaf deh...
Revan
Casanova : Jiakh... sekali lagi
manggil abang, gue getok pake tang
Loh. Atau sekalian gue cium Lu pake setrika.
Dega
Alviano : Ih, sadis banget
sih...
ciumnya pake perasaan dong bang...
Revan
Casanova : Itu sih mau Lu, genit
nih ababil...
Dega
Alviano : Ya ampun, mas...
sensi banget yah, lah aku Cuma becanda doang
Revan
Casanova : Ampun nih anak, emang
gue mas mas mie ayam apa?
panggil nama gue aja, udah bagus-bagus nama
gue,
panggilnya abang, mas, seklian nanti aa biar
jadi
tukang baso...
Dega
Alviano : hehe, sorry deh kaka,
peace J
Revan
Casanova : Ok... anak mana?
Dega
Alviano : Hm... kasih taiii
ngga yah...
Revan
Casanova : Shiittt, jorok banget
lu... gratis juga gue ogah
Dega
Alviano : :p hehe, becanda...
sensi nih kaka
Revan
Casanova : sori deh, Cuma lagi kalut
aja...
Dega
Alviano : Udah galau tingkat
nasional yah, sampe kalut gitu...
Revan
Casanova : Ya gitu deh, sering
banget status Lu muncul?
emang gak ada kerjaan yah tiap hari fb’an
terus.
Bilang kasih tai lagi gue santet lo...
Dega
Alviano : Ia...ia... galak
banget kaka, jadit atut...
Revan
Casanova : Lu belum jawan, anak
mana? umur berapa?
Jenis kelamin apa? Single apa sudah married?
Orientasi... kerja atau kul, atau sekolah
atau mungut
rongsokan?
Dega
Alviano : aduh kaka, itu mau
nanya atau mau introgasi. Au dah,
aku anak sby, 18 tahun, pengangguran :p
Revan
Casanova : Oh pantes gak ada
kerjaan, sibuk nyari mangsa yah?
Dega
Alviano : hm... makasih...
Selang
beberapa menit Revan men-chat tapi Dega tidak membalas setelah beribu
pertanyaan yang mengira-ngira dan menyeruak didalam dada, akhirnya sejam
kemudian Dega men-chat dan ia bilang habis tidur. Amanlah, setidaknya kata-kata
kasar Revan tidak menyakiti orang.
Tiga jam Cuma bengong-bengong dan
chat gak jelas dengan teman-teman dunia maya. Rasanya bosan juga. Iseng ia
meng-klik profil Dega Alviano, teman yang sudah bikin dia ketawa kecil disaat
kondisi galau. Lucu juga foto-fotonya, terlihat polos namun tidak kaku.
Revan langsung ogah-ogahan ditempat
tidur. Ia melihat handphone dari tadi seperti mayat hidup. Tidak ada sms atau
telp masuk, beda dengan hari-hari lalu. Bahkan ia rindu sms perhatian. Ah
Bandung menangis.
Drettt...dret...dret...
Nomor
baru memanggil. Siapa yah? Batinnya. Ia berharap bukan Angga, sebab jika
Angga ia berniat membanting hapenya.
“Halo...” Revan mengawali
Tidak ada suara.
“Halo, siapa nih? Jangan iseng!”
“Hehe... kasih taiii ngga yah,”
suara dari sebrang
“Siapa, gue matiin nih. Jangan jadi
orang iseng.”
“Hm... katanya minta ditelpon, di
telpon marah-marah. Ah, memang nasib nelp orang galak, yaudah deh... aku
matiin.”
“Dega yah?”
“Anda betul.” Dibarengi ketawa ngakak
Dega, aneh. Memang aneh, cowo ini kebanyakan ketawa nggak jelas. Bahkan space
ketawanya kalo di bundling sudah habis bergiga-giga. Hadeuuuh...
“Habis iseng sih, lo keturunan kunti
yah dari tadi ngakak mulu?”
“Hehe bukan, keturunan bapakti”
“Ga lucu”
“Biaren, emang siapa yang bilang
lucu.”
“Au ah, nyebelin. Anak mana sih?”
“Pikun yah kaka, udah dibilang anak
sby”
“Presiden dong”
“Tuh tau, hehe. Kaka ada masalah,
ka? Cerita aja, aku siap jadi tempat sampah buat kaka”
“Sial, lo bilang gue mau buang
sampah. Enak aja”
Dega memang lucu. Bahkan disaat rasa
pedih menghujam, ia mampu membasuh luka dengan segala canda dan tawa riang.
Penuh dengan kepolosan. Andai saja cowok itu ada disini, mungkin Revan memilih
menghabiskan waktu tertawa bersama dengannya, dari pada Revan harus capek-capek
mikirin cowok gila berlabel ‘Angga’. Shiit
Hari-hari Revan sekarang diiringi
tawa renyah Dega. Entah ada formula apa yang membuat Revan bisa semudah itu
lari dari kepedihan. Kenapa ia tidak kenal Dega satu bulan yang lalu.
♥♥
Setiap malam Revan meluangkan
waktunya untuk ngobrol dengan Dega via telpon. Jaraklah yang membuat mereka
menciptakan maya dalam persahabatannya. Dua bulan selalu dilalui bersama lewat
suara dan canda tawa di jejaring sosial. Seperti ada ikatan yang terasa, Revan
selalu menyempatkan hari-harinya membelikan sesuatu dan mengirimnya pada cowok
yang baginya lucu itu. Setiap ia beli baju di mall ia pasti beli dua. Dan
mengirimnya ke Surabaya. Bahkan kadang-kadang rekan sekerjanya sampai heran.
Entah kenapa malam ini
Dega sulit dihubungi. Telpon tidak diangkat. Tidak seperti biasanya, bahkan sms
bertubi-tubi pun tidak dihiraukan. Apa mungkin sudah tidur. Padahal jelas-jelas
tadi siang sudah janjian mau telponan malam ini.
Revan jadi gelisah, yang ia sebalkan
kenapa Dega lima menit yang lalu menulis status..
Jika malam ini kepergianku,
Tuhan...
Aku ingin, tak lama rasa sakit saat
kuputuskan urat nadiku
Dan biarkan aku tak menjadi
kenangan bagi siapapun
Karena aku...
Tak berarti...
Revan tersentak. Sms bertubi-tubi ia
kirim dan menanyakan kenapa Dega menulis status itu. Dan apa arti dari
semuanya. Revan cemas, baginya Dega sudah menjadi bagian dari hidupnya, walau
selama ini tidak ada ikatan cinta ataupun apa. Namun mengenalnya adalah keindahan
tersendiri.
Akhirnya telpon diangkat juga
setelah puluhan sms yang tidak terhitung, dan telpon yang tak terjawab...
“Kamu kenapa? Harusnya cerita sama
aku kalau ada masalah?” Revan setengah ngos-ngosan, bayangkan saja ia dibuat
campur aduk perasaanya dan membiarkan selama dua jam bertanya-tanya.
Hanya isakan tangis yang terdengar.
Dan iringan lagu maafkan aku enda.
“Cerita sama kaka, Deg. Kamu bilang
kita saling terbuka...”
Tak ada jawaban.
“Harusnya kamu tahu gimana paniknya
aku saat baca status kamu. Harusnya kamu tahu seperti apa perasaanku. Aku
sayang sama kamu. Aku nggak mau kehilangan untuk kedua kalinya, aku pengen
ketemu kamu...”
“Maafin aku, ka. Aku nggak kuat”
“Nggak kuat kenapa? Siapa yang
nyakitin kamu, siapa bilang! Jangan jadi orang bodoh, bunuh diri bukan jalan
untuk menyelesaikan masalah.”
“Nggak pernah ada yang tahu kalau
aku berusaha tersenyum diatas kepedihan. Dan nggak ada yang tahu juga kalau
selama bertahun-tahun aku nyimpen borok. Aku ini nggak berguna...”
“Tapi mati bukan jalan, apa maksud
kamu upload gambar pisau. Apa maksud kamu nulis status itu. Kenapa kamu harus
hadir dihidup aku kalau pada akhirnya kamu sama. Pecundang!”
“Kaka nggak tahu gimana rasanya jadi
aku”
“Aku nggak tahu karena kamu nggak
pernah ngasih tahu, kamu nggak jujur sama aku.”
“Aku pengen mati, ka!”
Air mata mentes. Entah pedih apa
yang membuat Revan begitu takut kehilangan Dega, yang nyatanya belum ketemu. Suara
isang tangis terdengar beriringan dibalik earphone.
“Aku pikir kamu lebih baik dari pada
cowok-cowok gay, nyatanya kamu sama saja. Pecundang. Kalau kamu memang masih
memiliki hati dan menjaga perasaan aku, kamu datang kesini. Kamu hidup disini
bareng sama aku. Kalau kamu memang merasa sampah, silahkan lalukan kebodohan
yang kamu mau.”
Dega hanya menangis terisak-isak.
Revan merasa tidak tega. Baru pertama kali ia mendengar tangisan cowok itu
selama beberapa bulan mengenalnya lebih dekat. Entah sakit apa yang ia rasa.
♥♥
Sudah dua hari Revan tidak mendengar
kabar Dega. Cowok itu seperti menghilang ditelan bumi. Nomor hape tidak aktif,
facebook sudah tutup akun, dan twitter pun sama. Bahkan untuk mencari
keberadaan cowok itu sulit sekali.
Hari-hari Revan kembali hampa.
Didalam kosan, Revan hanya duduk tidak jelas. Kehilangan Dega, ternyata
melebihi kehilangan Revan.
3 Hari terakhir aku di Bandung,
Jakarta I’m coming, kurasa di
Jakarta tidak menyakitkan seperti disini
Makasih untuk perusahaan yang
mengerti keadaan aku...
L
Kangen sama kamu
D.A.
Revan mencoba menghubungi nomor Dega
kembali, tapi tidak aktif. Ia menatap kaos yang dikirim Dega, rasa kangen itu
semakin besar. Pelan, ia mendekat... dan langsung memakai kaosnya.
Tok...tok...tok...
Siapa sih! Revan heran.
Tumben-tumbenan ada yang ngetok malem-malem. Dengan sigap ia langsung membuka
pintu...
Krek...
Jantung Revan seolah berhenti
seketika. Sosok laki-laki tinggi dengan kulit putih dan berlesung pipi berdiri
didepannya. Memberikan senyuman keteduhan. Seperti mimpi disiang bolong, ia
meyakinkan diri, berulang kali ia mengucek-ucek matanya. Belum seratus persen
yakin dengan apa yang dilihatnya. Kaos itu... Revan ingat betul kalo ia
membelikan kaos bergambar shaun the sheep untuk seseorang yang spesial.
“Kaka...” seuntai kata dan seulas
senyum
Revan membuka lebar daun pintu,
menarik tangan cowok itu. Dan menutup pintu, dan dengan air mata ia memeluk
cowok itu erat-erat. Impiannya terwujud, doa’nya pada Tuhan terkabul. Dega,
cowok yang selama belakangan ini membuatnya sulit tidur dan resah.
“Maafin aku kak, aku jarang ngabarin
kaka. Aku sulit ngehubungi kaka.” Ujar Dega polos
Keadaan mengharu biru. Cowok polos
itu hanya membawa 1 tas besar, entah apa isinya. Yang jelas perasaan bahagia.
Harapan tertaruh pada cowok yang tengah memeluknya dengan erat.
“Kenapa kamu nggak ngabarin aku
kalau kamu mau kesini? Kenapa semua akses ngehubungi kamu susah. Coba kalau
kamu ternyata datang tiga hari lagi, apa kamu yakin bakal ketemu aku.”
“Maafin aku.” Dega tertunduk “Aku
udah ngusahain semuanya supaya bisa kesini.”
Revan semakin menangis pilu. Kenapa
baru sekarang ia menemukan orang yang sungguh-sungguh padanya. Rasanya Tuhan
memang adil kali ini.
♥♥
Jakarta...
Kehidupan sudah membaik. Bahkan
Revan sudah menemukan arti tersenyum sesungguhnya. Demikian juga Dega. Namun
sikap posesif Revan kadang membuat Dega bingung. Terlebih cowok itu ternyata
banyak aturan. Namun tidak masalah bagi Dega. Baginya Revan adalah tempat
berteduh paling indah, untuk menggenapkan seluruh kasih sayang.
“Kamu kuliah saja yah, jangan
kerja.” Ujar Revan saat kedunya menikmati makan malam di foodcourt dalam mall didaerah Jakarta
“Aku kerja saja, Ka.”
“Tapi lulusan SMA susah. Apa kamu
mau jadi pelayan restoran begitu?”
“Ngga papa kak, kerja apa aja. Aku
nggak mau banyak nyusahin kaka. Udah dikasih tumpangan aja aku seneng.”
“Aku nggak numpangin kamu. Jangan
ungkit-ungkit hal seolah-olah aku tidak ikhlas. Udah pokoknya kamu harus
kuliah”
“Sambil kerja yah kak?”
“Nggak, kuliah aja. Cukup! Gajiku
cukup buat sehari-hari, bahkan tabunganku cukup untuk biayai kamu.”
Revan memang baik. Selain jadi
Custamer Service di salah satu bank ternama. Revan juga punya usaha sampingan
distro dan rumah makan di Bandung. Semuanya sudah ada yang mengatur. Untuk
masalah keuangan sampai detik ini, Revan tidak ada kesulitan.
♥♥
Hidup itu memang dinamis. Tidak ada
yang tahu bagaimana keadaan kedepannya. Bahkan Revan dan Dega. Kini kebahagiaan
tengah bersahabat. Sudah hampir tujuh bulan mereka bersama susah senang dilalui
bersama. Bahkan Revan semakin mencintai cowok yang kini bersamanya.
“Kak, makasih banyak” Dega mencium
pipi cowok yang ada disampingnya, memeluknya dengan penuh kasih sayang. Revan
hanya tersenyum.
“Hal apa yang paling kaka takuti
dalam hidup ini.”
“Diselingkuhi. Sakit rasanya. Hm...
kaya dicabik-cabik pake pisau.”
“Dega janji, Dega bakal setia sama
kaka. Cuma kaka yang paling Dega sayang.” Revan tersenyum.
“Gimana kuliah kamu?”
“Lancar aja kak, besok suruh bayar
uang semester dua juta lima ratus. Hm..
kak, aku kerja aja yah?”
“NGGAK! Sudah berapa kali aku
bilang, fokus kuliah saja. Gaji kamu kalau kerja juga nggak seberapa, yang ada
entar kuliah kamu keteter. Aku masih bisa biayai kamu”
“Ia...ia, aku minta maaf”
♥♥
Hujan deras mengguyur ibukota
dimalam hari. Revan keluar dari ATM. Sedangkan Dega masih saja duduk didalam
kamar.
“Beneran Deg, aku boleh nginep
disini.” Ujar Steven yang sedang mengeringkan diri dengan handuk
“Boleh kok, kakaku baik. Bentar lagi
juga pulang”
Steven adalah teman kuliah Dega, dan
kebetulan Steven bernasib sama. Yakni, gay.
Bukan untuk ditutupi, lagi. Namun diantara keduanya hanya sebatas berteman,
walau entah apa yang dirasakan Steven lantaran Dega merespon perhatiannya biasa
saja. Steven memakai kaosnya dan perlahan ia mendekat kearah Dega.
“Bentar, bulu matanya ada yang jatuh”
Stevan pelan mendekat hingga mereka
berhadapan. Dan...
Kreek...
Makanan yang dibawa Revan jatuh.
Dega jadi gelagapan, bingung. Ia takut Revan salah paham. Wajah Revan geram.
Steven yang takut langsung memakai celana panjangnya dan langsung meminta izin
pulang sama Dega. Ia juga takut ada kesalah pahaman.
Dengan emosi yang memuncak Revan
melempar makanan itu kemuka Dega. Dan meraih tubuh cowok itu, dan menjatuhkanya
ketempat tidur.
“Lo pikir lo siapa. Lo sama aja
bangsat! Jadi selama ini lo bohongi gue.” Emosi Revan memuncak
“Kaka, dengerin Dega dulu.”
“Dengerin apa lagi.” Tamparan
bertubi-tubi membuat Dega tidak berdaya. Ia pasrah.
Revan mendorong kepala Dega ke
tempat tidur hingga ia sesak nafas. Ia membiarkan Dega tersiksa. Ia merasa
untuk keduakalinya menerima kenyataan kalau ia harus menerima sakit. Persetan
dengan orang-orang yang bisanya menyakiti dan mengoyak-oyak perasaan orang.
“Kaka dengerin aku dulu, ka.” Dega
tidak bisa lama-lama menahan sakit. Pikirannya melayang kembali, ia ingat betul
delapan bulan silam sebelum ia kabur. Ia menjadi pelampiasan amarah orang
tuanya.
“ANJING LO!” Revan memuncak
“Setelah apa yang gue lakuin buat
lo, lo tega ngehianatin gue. Lo butuh apa, lo cuma butuh duit gue. Iya...”
Revan ngos-ngosan, ia membuka tas, dan uang yang ada didalam amplop coklat ia
buka.
“Kalo ini yang lo mau, lo ambil.
PUNGUT!” Revan melmpar puluhan lembar uang lima puluh ribuan dan membiarkan
berterbangan dan beberapa menyentuh muka Dega. Dega hanya bisa menangis.
“Dari dulu aku udah biasa ngalamin
hal ini, Kak”
“Udah biasa, emang biasa. Karena lo emang
sampah. Sampah yang bisanya cuma mencari iba orang lain, dan lo
memanfaatkannya”
“Ia kak, aku sampah yang nggak
berguna.” Dega terisak
“Sekarang, lo yang pergi atau gue
yang pergi. Pintu udah kebuka lebar, lo pikir gue bisa dibohongi sekarang.
Shiit...”
Dega membereskan barang-barangnya. Ia
merapihkan baju-baju, dan malam ini ia berniat untuk pergi dari kosan ini.
Semoga wajah memar, dan badan yang seperti remuk bisa membalas semua jasa
Revan. Revan yang dianggap Dega mau mengerti dan memahami, ternyata sama juga.
“Ka, maafin aku kalau ada salah. Aku
berterimakasih banyak sama kakak.” Dega mau mencium tangan Revan, namun Revan
seperti jijik dan tak mau menyentuh cowok itu lagi. Dega pergi tanpa membawa
uang sepeserpun bahkan, ia hanya membawa pakaian yang ia bawa dulu. Satu barang
pun ia tidak berani bawa.
“Lo yakin nggak bawa duit itu,
bukanya itu yang lo cari penipu.”
“Kalo cinta, itu harus percaya kak.
Tahan kata-kata ketika kaka marah, dan bicara ketika semuanya sudah baik. Kalau
emang selama ini aku merasa membohongi kaka, aku minta maaf. Aku sudah lakukan
semua dengan kejujuran, sesuai dengan keinginan kakak. Tapi kalau aku tidak
seperti yang kaka mau, aku minta maaf...”
“Simpen kata-kata lo buat dapet iba
dari orang lain.”
Revan menutup kamarnya dan
membiarkan Dega keluar dengan hujan mengiringi.
Akhhhhhhhhh....
shiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit! Anjriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit! Revan
berteriak dengan kencangnya.
Dega berjalan bingung tanpa arah.
Kemana lagi ia mau melangkah.
Revan membenamkan wajahnya di tempat
tidur. Ia menangis sejadinya. Keduakalinya ia merasa diselingkuhi. Namun disaat
tangannya mau meraih handphoennya. Ia memgang satu buku kecil. Milik Dega. Pelan-pelan
ia membuka...
Untuk Hidup
Buku Kecilku, aku hanya ingin
berbagi...
Aku cape nggak bisa kaya orang
lain. Aku lemah, bahkan aku tidak bisa jadi apa-apa buat orang lain. Aku cape
juga buat pelampiasan.
Diluar orang melihat aku seperti
bahagia, tapi nyatanya. Untuk melawan saja aku tidak mampu. Sudah banyak rasa
sakit ini. badan hampir penuh dengan memar dengan cambukan ikat pinggang.
**
Aku kenal dengan orang, namanya
Revan. Baik, dia bisa jadi sahabat aku. hehe J kangen deh rasanya, pengen ketemu,
kapan yah....
**
Dapet kiriman dari kak Revan,
isinya 1 buah baju, 1 pack permen Yuppy yang bentuk hati, sama 1 pack permen
Ampenlible loly pop yang rasa strawberry, pengen makan permennya tapi sayang.
**
Aku mikir buat mati aja. Kak Revan,
maafin aku kalo gak bisa nepatin janji buat ketemu. Semoga nanti bisa ketemu di
surga, hehe apa neraka yah?
**
Ia membalik satu demi satu halaman.
Hape sayang, maaf yah aku jual
kamu. Soalnya aku nggak ada pilihan lain. Aku sayang kak Revan, tapi aku nggak
punya uang buat kesana. Nanti kalo aku udah kerja disana, aku cari kamu lagi
terus aku tebus J
**
Aduh, gimana jadi bingung. Bandung
luas ternyata, untung ada bapak ojek yang baik hati. Gratis pula, hehe tau aja
yang punya uang pas-pasan. Moga amal ibadahnya diterima, o...o... ^_^
**
Buku kecil, aku senang kak Revan
ternyata baik. Walau dia posesif, dan kadang emosian tapi aku sayang sama dia,
aku bakal tetap setia sama dia. Hm...
**
Aku kuliah, jadi nggak enak hati.
Aku udah banyak repotin kak Revan. Tuhan, lindungi selalu kak Revan.
**
Tepat 6 Bulan, ah... ga sabar dua
bulan lagi. Kak Revan ultah, kasih kado apa yah? Hm... apa “Keperjakaan aku”
haha ngawur deh. Kadonya apa yah, bingung...
**
Di kampus Cuma punya temen satu,
Steven. Dia tinggal di Jakarta sama om-om, tau deh siapa? Apa pacarany O_o tapi
kasihan dia, disiksa terus moga dia dapet jalan lain. Lindungi sahabat aku
Tuhan.
**
Wah, satu bulan lagi buku kecil,
maaf aku baru update lagi. Aku gak sabar nunggu ultah kak Revan ^_^ ngarep
diajak tunangan, LOL emang kita bisa Nikah haha dimana yah? Belanda kali...
**
Aduhhh... si Steven nih mandi atau
apa, lama banget. Pulsa cekak lagi, susah hubungi kak Revan kalau Steven mau
nginep. Bolehin gak yah... *BINGUNG
**
Revan meneteskan air mata. Ia
mengambil hape Dega yang ada dimeja. Ia langsung melihat kotak keluar. Lima sms
gagal dikirim.
Kak Revan, Steven mau nginep
dikosan boleh ngga? Kasihan dia tadi pulang kul kehujanan, terus dia lagi ada
masalah sama kakanya. Boleh nggak kaka?
**
“Revannn goblog!” Revan berteriak
sendiri dan membenturkan kepalanya. Cemburnya yang terlalu besar membuat fatal
semuanya. Revan menyesal sudah menyakiti
Dega.
Baju Dega basah kuyup. Ia menangis
sejadinya. Tidak ada tempat berlabuh. Kenapa orang yang ia sayangi tega
melakukan semua ini.
Tanpa ia ketahui Revan berlari
keluar mencarinya. Ia menyesal sudah mengusir Dega.
Dega memandang langit, membiarkan
wajahnya dibasahi air hujan.
Tuhan,
Aku ingin bertemu dengan-Mu malam
ini..
Dega berjalan, ia tidak melihat
kanan kiri. Tak peduli dan seketika itu...
Bruukk... tubuhnya terpental jauh,
sebuah mobil menabrak dirinya dari samping. Dan semuanya... terasa gelap.
Revan yang saat itu baru sampai dan
melihat.
“Degaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”
Revan menjerit...
Selesai
Kadang, untuk mengerti...
Kita harus tahu bagaimana rasanya
kehilangan...
Karena, hidup tidak semanis loly
pop...