Wednesday, 27 June 2012

Semarang Siang Itu



By : Alfeon
Semarang, 22 Januari 2002
Arrggghhh... Semarang. Kota ini memang sangat panas. Jauh lebih panas dibanding dengan Jakarta menurutku. Tujuh tahun sudah aku tinggal di kota yang terkenal dengan Lawang Sewu sebagai ikon utamanya. Aku tinggal di Semarang bersama nenekku. Sedangkan orang tuaku berada di Jakarta. Aku sengaja dititipkan di rumah nenek saat aku berusia sembilan tahun karena saat itu bisnis papaku sedang jatuh dan beliau dilanda depresi. Dan selama tujuh tahun ini aku kesepian. Untunglah satu setengah tahun belakangan aku memiliki teman akrab.
“Tam, nanti kita minum es doger di Imam Bardjo yuk. Sekalian makan batagor,” ajak Johan, teman semejaku.
“Iya. Aku juga pengen minum yg seger-seger, Jo.” Ujarku mengiyakan.
Tama Aditya. Itulah namaku. Saat ini aku duduk di kelas 2 SMU di salah satu SMU Negeri favorit tak jauh dari Jalan Pahlawan. Aku termasuk orang yang pendiam dan cenderung introvert. Prestasiku juga tidak terlalu menonjol meskipun selalu mendapat peringkat sepuluh besar sejak kelas 1. Secara fisik, menurut teman-temanku, aku lumayan catching. Dengan tinggi 170 cm, berat 58 kg, berambut hitam lurus dan berpotongan mohawk yang menghiasi wajah oval-ku, dan kulit berwarna coklat muda yang sangat eksotis menambah daya tarik tersendiri. Seperti yang teman-temanku bilang, aku lumayan catching.
Sedangkan Johan, dia adalah teman akrabku sejak kami mengikuti Masa Orientasi Siswa atau MOS. Nama lengkapnya Johan Praditya. Kami memiliki nama belakang yang sedikit mirip sehingga sering disangka bersaudara. Benarkah kami mirip? Sayangnya tidak. Johan jauh lebih menarik dibandingkan aku. Tingginya saja 178 cm, dengat bentuk tubuh atletis, berambut hitam sedikit ikal, dan berkulit putih. Bukan cuma aku yang menilainya menarik, teman-temanku lainnya malah bilang kalau Johan adalah salah satu murid yang cakep di sekolah.
Argghhh lama banget sih jam setengah dua. Pengen cepet pulang nih,” ujar Johan sambil menguap.
“Tenang, Jo. Bentar lagi juga bel pulang. Sekarang kan udah jam 1.” Sebenarnya aku juga malas dan suntuk dengan rutinitas sekolah. Namun harus bagaimana lagi?
Akhirnya jam 1.30 saatnya bel pulang sekolah berbunyi. Bel di sekolah kami cukup unik. Tidak berbunyi “teeett” atau “kriiinggg” melainkan bunyi musik penggalan lagu mars sekolah. Dan...
“Ayo. Cepetan.” Johan bergegas menggandeng tanganku ke arah parkiran motor sesaat selepas doa pulang sekolah usai.
Nyantai aja napa sih, Jo. Kayak mau ngapain aja.” Johan tidak menggubrisku malah semakin mempercepat langkahnya tanpa melepas tanganku.
Tak lama kemudian kami sudah duduk memakan batagor dan es doger yang kami pesan. Tempat ini dekat dari sekolah. Tidak sampai lima menit menggunakan motor.
“Habis ini kita jalan sebentar yuk. Ke taman. Pengen ngobrol nih,” ucap Johan setelah menghabiskan es dogernya.
“Ayo aja. Lagian sebulan ini kita kan belum ke sana, Jo.” Taman yang kami maksud terletak di depan makam Belanda di daerah Gajah Mungkur. Taman itu sering menjadi tempat nongkrong kami setelah usai sekolah. Tempat yang nyaman untuk ngobrol karena berada di perbukitan sehingga tidak terlalu panas. Di sekeliling taman itu juga terdapat banyak penjual makanan dan minuman. Tak heran kami sering sekali ke sana.
“Cabut sekarang, Tam. Pake duitku aja. Kemarin kan udah pake duit kamu.” Kami pun segera berangkat menuju taman setelah Johan selesai membayar batagor dan es doger.
“Kamu mau minum apa?” Tanyaku setelah kami sampai di taman.
Ntar aja. Kita duduk di sana yuk.” Johan menggandeng tanganku menuju sudut taman.
“Kamu masih inget nggak Tam waktu pertama masuk sekolah dulu? Kamu kayak orang hilang.” Johan memulai percakapan mengenang saat pertama kali kami masuk SMU.
Sambil tersenyum aku menjawab, “ iya, Jo. Waktu itu kan aku masih bingung. Kelasnya dimana aku juga nggak tau. Untung ada kamu ya, Jo. Dan untungnya lagi kita sekelas.”
Trus masih inget nggak waktu kita berdua jalan-jalan ke Jogja saat liburan catur wulan pertama kelas 1 dulu? Kamu kan megangin bajuku terus waktu kita jalan di Malioboro. Kamu bilang takut terpisah dari aku. Lucu banget ya.”
Aku hanya tertawa mengingat kejadian itu.
“Kalau salah satu dari kita lagi bete atau udah males banget sekolah, kita bolos bareng trus jalan ke Bandungan atau Kopeng.” Johan kembali melanjutkan. “Seru banget ya. Bolos bareng, belajar bareng, dan kita bersenang-senang berdua. Nggak terasa kita udah hampir dua tahun berteman.”
“Tepatnya satu setengah tahun, Jo,” ujarku meluruskan.
“Satu setengah tahun yang penuh warna bersama kamu.”
“Iya, Jo. Aku bahagia banget bisa kenal kamu. Bisa berteman dengan kamu. Aku jadi punya seseorang yang bisa aku ajak berbagi. Akhirnya aku merasa nggak sendirian lagi. Thank’s banget, Jo.” Aku merasa bersyukur bisa mengenal dan berteman dengan Johan. Ya, hanya berteman. Meskipun setahun terakhir aku memiliki perasaan lain terhadap Johan. Perasaan yang membuat hatiku selalu berdebar. Seperti saat ini.
“Tam, aku tau hidup ini nggak selamanya manis seperti loly pop. Tapi terkadang juga asam, di lain hari rasanya bisa menjadi asin atau bahkan pedas. Dan di hari lainnya bahkan bisa saja terasa pahit.”
Kami terdiam. Benar kata Johan. Seperti itu lah hidup. Dan aku juga telah merasakan manis, asam, asin, pedas, dan pahitnya kehidupan, terlebih selama tujuh tahun belakangan.
Tanpa sadar aku pun mendesah panjang. Namun... Deg. Jantungku seakan berdetak keras saat Johan tiba-tiba memegang telapak tanganku.
“Tam, aku tau hidup kamu terasa berat. Jauh dari orang tua sejak kecil. Bahkan kamu juga jarang sekali bertemu mereka. Aku tau kamu merasa kesepian, sedih, dan kecewa. Tapi kamu harus tau, Tam. Kamu masih punya aku. Kamu pasti bisa merasakan kalau selama satu setengah tahun ini aku selalu berusaha ada buat kamu.”
“Kamu benar, Jo. Selama ini kamu selalu ada buat aku. Sampai teman-teman mengatakan kalau kita saudara kembar yang kemana pun akan selalu berdua. Waktu menjelang naik ke kelas 2, kamu juga bela-belain meminta ke wali kelas kita supaya kita bisa sekelas lagi nantinya. Aku beruntung banget. Aku merasa bahagia bisa kenal kamu. Kalau nggak ada kamu, mungkin sekarang aku udah depresi. Bagiku, kamu seorang teman sekaligus saudara, Jo.” Seandainya kamu tau, Jo. Aku memiliki perasaan lebih dari itu. Aku ingin kamu menjadi kekasihku. Tetapi aku rasa itu semua hanya mimpi.
Johan mempererat genggaman tangannya. “Aku nggak mau kalau hanya menjadi teman dan saudara buat kamu, Tam.”
Deg. Jantungku kembali berdetak keras. Arrgghh aku mendadak menjadi gugup.
“Mm.. Maksud kamu? Jadi mau kamu apa? Maunya jadi majikanku ya, Jo?” Aku tertawa kecil mencoba mencairkan kegugupanku.
“Kalau dengan menjadi majikan kamu, kita bisa selalu berdua, kenapa nggak?” Johan tersenyum sambil menatap lekat wajahku.
“Kamu bego ah, Jo. Jadi selama ini kamu anggap aku sebagai pembantu kamu?” Sambil pura-pura marah aku berusaha melepaskan tanganku dari genggaman Johan. Tetapi Johan tidak mau melepaskannya.
“Aku serius, Tam. Tapi bukan soal pembantu dan majikan. Aku serius pengen selalu bersama kamu. Aku sayang kamu, Tam. Bukan hanya sebagai teman dan saudara. Aku cinta kamu. Perasaan yang udah aku simpan sejak pertama kita bertemu satu setengah tahun lalu.”
Deg. Lagi-lagi jantungku berdetak keras. Apakah aku sedang bermimpi? Tetapi ini terasa sangat nyata.
“Tam..”
Aku masih terdiam.
Maafin aku, Tam. Aku nggak seharusnya ngomong ini. Aku cuma berusaha jujur dengan perasaanku selama ini. Maafin aku kalau ungkapan perasaanku ini malah menjadi beban pikiran kamu.” Johan terlihat sedikit panik karena selama beberapa menit tadi aku hanya terdiam.
Aku benar-benar tidak percaya kalau Johan ternyata memiliki perasaan yang sama denganku. Malah dia menyukaiku sejak pertama kami bertemu.
“Jo...” Akhirnya aku mengeluarkan suara.
“Iya, Tam.”
“Jo, sebenernya.. Aku sebenernya..” Aku bingung harus berkata apa. “Sebenernya aku merasa nyaman saat bersama kamu.”
Trus?”
“Aku.. Aku bingung, Jo.”
“Bingung kenapa? Maafin aku, Tam. Aku nggak bermaksud menambah beban pikiran kamu.”
“Bukan itu, Jo. Terus terang aja selama setahun terakhir ini aku memiliki perasaan lebih ke kamu. Aku bingung menjelaskannya. Ini pertama kalinya aku merasa sayang terhadap seseorang. Aku jatuh cinta, Jo. Dan orang itu kamu. Aku jatuh cinta sama kamu, Jo.”
Johan terlihat kaget. “Kamu? Beneran kamu suka sama aku?”
“Iya, Jo. Perasaanku ini bukan sekedar suka. Bukan karena aku kesepian dan hidupku yang kacau lantas aku menjadikan kamu pelarian. Aku emang jatuh cinta sama kamu.”
Johan tersenyum.
“Masih ingat nggak, Jo, waktu kita berlibur di Pangandaran saat liburan Natal tahun 2000 lalu? Walau cuma sehari tapi saat itu lah aku mulai jatuh cinta sama kamu. Kamu ingat, Jo, saat kita berkejaran di pantai. Aku menarik baju kamu sehingga kamu jatuh terbaring. Sambil tertawa kamu menarik tanganku dan aku terjatuh menindih badan kamu, Dan tanpa sengaja aku mencium bibir kamu, Jo. Hanya ciuman sekilas, tapi itu adalah ciuman pertamaku, Jo.”
“Itu juga ciuman pertamaku, Tam.” Johan tersenyum bahagia menatap lekat wajahku. “Trus?” Ujarnya melanjutkan.
Trus apa, Jo?”
“Kita udah tau perasaan masing-masing, kan? Kamu mau jadi pacarku? Aku janji bakal selalu jaga kamu, Tam. Aku bakal selalu ada buat kamu. Di saat kamu senang dan susah. Saat kamu merasa sendirian. Aku janji nggak akan membiarkan kamu merasa kesepian lagi. Karena aku tulus sayang kamu. Dan nggak akan pernah ada cowok lain selain kamu. Aku janji.”
“Iya, jo. Aku sayang kamu. Aku mau jadi pacar kamu. Aku juga janji selalu ada dan setia buat kamu. Makasih, Jo. Aku bener-bener nggak nyangka kalau kamu juga punya perasaan yang sama seperti yang aku rasa.”
Johan kemudian memelukku erat. “Aku yang harusnya berterimakasih, Tam. Karena kamu, hidupku menjadi bahagia. Aku sayang kamu, Tam”
Sejak siang itu kami berdua resmi berpacaran. Dia benar-benar sempurna di mataku. Dan aku beruntung sekali memilikinya.
Hari-hari selanjutnya kami isi dengan penuh kebahagiaan. Kami selalu saling mendukung satu sama lain. Berhubung Johan lebih pandai dari aku, maka dia dengan sabar selalu membantuku belajar, terutama pelajaran Matematika, Fisika, dan Kimia. Saat kami jenuh dengan aktifitas sekolah, sesekali kami bolos sekolah seharian bersenang-senang di daerah pinggiran Semarang. Aku tidak pernah merasa kesepian lagi. Karena dia selalu ada menemaniku.
Kami membuktikan janji yang kami ikrarkan siang itu. Selalu ada untuk pasangan kami dan tidak ada laki-laki lain. Kami sadar cinta unik yang kami miliki butuh perjuangan. Bukan cuma itu, akan banyak godaan yang datang. Untuk itu, kami membuat beberapa aturan dasar yang penting. Pertama, tidak ada privasi diantara kami. Aku dan Johan adalah suatu kesatuan jadi kami tidak saling menyembunyikan sesuatu, termasuk hal yang kecil dan remeh sekalipun. Kedua, untuk menghindari godaan, kami memutuskan untuk tidak mengenal laki-laki lain yang memiliki perasaan unik seperti kami. Aturan lainnya? Tidak perlu, karena kami berusaha saling memahami apa yang pasangan kami mau.
Setelah lulus SMU, kami memutuskan untuk mengambil satu  pilihan jurusan dan universitas yang sama saat Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru atau SPMB. Ya, hanya satu pilihan karena kami tetap ingin satu kampus. Akhirnya kami lolos SPMB dan menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Negeri tak jauh dari SMU kami. Tinggal melangkahkan kaki dari tempat kami biasa makan batagor dan es doger.

Jakarta, 2 Maret 2012
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kini aku dan Johan telah melewati waktu bersama selama sepuluh tahun. Seperti yang Johan pernah bilang padaku, hidup ini tidak selamanya manis seperti loly pop. Selama kami berhubungan, memang ada beberapa masalah penting. Namun itu semua tidak membuat kami berpisah dan saling menyakiti.
Masalah penting pertama terjadi tahun 2006 saat kami sibuk menjadi mahasiswa hukum. Pada suatu hari orang tua Johan mengundangku makan malam di rumah. Setelah makan malam, kami berempat, aku, Johan dan kedua orang tuanya, melanjutkan perbincangan di ruang tamu.
Hal yang membuat aku dan Johan sangat terkejut adalah ternyata kedua orang tuanya telah mengetahui sejak lama tentang hubungan kami. Mereka bercerita dari awal bagaimana kecurigaan mereka muncul sejak kami kelas 1 SMU. Sebagai orang tua, menurut mereka, tentu memiliki insting khusus menyangkut anak mereka. Kedekatan kami selama ini dinilai terlalu istimewa sebagai pasangan sahabat.
Walaupun mereka tidak pernah memergoki kami berciuman atau bercinta, mereka meyakini kami adalah pasangan kekasih. “Perasaan cinta kalian tidak mungkin kalian tutupi,” begitu ucap mama Johan waktu itu.
“Kami sangat shock, sedih, dan marah,” papa Johan ikut berbicara.
“Tetapi kami terus berpikir dan memonitoring hubungan kalian. Sampai akhirnya kami sadar bahwa kalian tulus saling mencinta. Walaupun kami sangat sedih dan kecewa, tetapi kami tidak ingin kehilangan kalian. Kami juga sudah menganggap kamu sebagai putra kami sendiri, Tam. Maka dengan berat hati kami mengijinkan hubungan kalian berdua.” Mama Johan menyambung ucapan suaminya.
Saat itu kami, aku dan Johan, sangat kaget menghadapi kenyataan yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya. Perasaan kami campur aduk, sedih, terharu, dan bahagia, semuanya menjadi satu. Kami langsung memeluk mereka dan menangis bahagia.
Sejak itu aku memanggil mama dan papa Johan dengan sebutan mama dan papa. Kami juga mulai terbuka terhadap mereka dengan segala persoalan yang tengah kami hadapi.
Terkait kuliah, kami tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya. Hanya dalam waktu 3 tahun 4 bulan, kami berhasil lulus dari salah satu Fakultas Hukum terbaik di Indonesia yang terkenal karena Bapak Hukum Progresif, yaitu (Alm) Prof. Satjipto Rahardjo dan beberapa alumni dari kampus kami seperti mantan Menteri Kehakiman, Muladi, dan mantan Jaksa Agung, Hendarman Supandji.
Setelah kami lulus, kami sempat bekerja di sebuah bank swasta nasional selama setahun. Kemudian kami memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan memulai bisnis kami.
Ada masalah penting kedua yang terjadi dalam hubungan kami. Di tahun 2008, tak lama setelah kami pindah ke Jakarta, Johan meyakinkanku untuk berterus terang tentang hubungan kami kepada orang tuaku. Ini adalah hal berat karena aku memang sangat jarang bertemu orang tuaku. Paling hanya setahun sekali. Dan lagi, aku tidak yakin mereka bisa bersikap seperti orang tua johan. Namun Johan terus meyakinkanku.  Dia mengatakan bahwa apapun yang terjadi kami akan tetap selalu bersama.
Tepat seperti dugaanku, mereka murka mendengar pengakuan kami. Papa tidak segan menamparku beberapa kali. Sedangkan mama hanya menangis. Meski aku jarang bertemu mereka, tetap saja ada perasaan sedih dalam hatiku.
Johan, seperti biasanya, selalu menguatkan aku. Kami secara rutin mengunjungi kediaman mereka walau reaksi yang kami dapat tidak berubah.
Hingga saat ini, mereka masih belum bisa menerimaku. Mungkin bagi mereka, aku hanyalah sampah.
Dulu aku pernah bermimpi untuk bisa hidup bahagia dengan orang yang aku sayang dan kini semua itu menjadi nyata. Dengan Johan berada di sampingku, aku, atau tepatnya kami, menjalani hidup dengan bahagia. Perbedaan pendapat selalu ada sejak kami menjalin hubungan sepuluh tahun lalu. Namun itu tidak menjadi batu sandungan dalam hubungan kami. Itu bukan lah hal besar, karena kami selalu berusaha saling memahami dan mengerti apa yang pasangan kami inginkan. Itulah kebahagiaan bagi kami.
Saat ini, setelah sepuluh tahun terlewati, kami memiliki bisnis kafe dan petshop di Jakarta Selatan. Semua adalah hasil patungan kami ditambah sebagian kecil dari orang tua Johan. Kami juga tengah menyelesaikan S2 di sebuah Sekolah Bisnis terkenal di kawasan Cilandak.
Seperti kata Johan, hidup tidak selalu manis seperti loly pop. Namun kami berusaha melewati itu semua. Dan kami bersyukur semuanya baik-baik saja. Semuanya bermula di Semarang, siang itu setelah pulang sekolah, tanggal 22 Januari 2002.
Aku hanya ingin bilang, bahwa terkadang hidup memang tidak adil. Bagi sebagian orang hidup juga sangat berat. Selalu saja ada masalah yang menghadang. Begitu juga dalam kehidupan kami selama ini. Sangat banyak masalah yang kami hadapi. Mulai dari dulu ketika sekolah dan kemudian kuliah, dengan tugas-tugas, teman, dan keluarga. Begitu juga berbagai masalah di dunia kerja dan ketika kami membuka bisnis di Jakarta. Belum lagi masalah-masalah dalam hubungan pribadi kami.
Jika dipikir, masalah tidak akan ada habisnya. Namun kami tetap menghadapinya dengan senyum. Dan memang seperti itulah seharusnya. Bermimpilah tentang kehidupan yang indah, kemudian bangkit, rencanakan, dan raihlah kehidupan indahmu. Semangat!

*** Terimakasih telah membaca cerita yang panjang dan membosankan ini. Cerita ini memang datar dan cenderung tidak memiliki konflik alias tidak ada klimaksnya. Ini murni cerita fiksi, jadi jika ada kesamaan nama dalam tokoh utama cerita ini adalah kebetulan saja. Mohon maaf jika cerita ini sangat membosankan. Bagusnya sih jadi mini novel atau cerbung supaya banyak konflik yang terasa. Jadi ada klimaksnya. Oiya kalian bisa memanggilku Alfeon. Kalian bisa menghubungiku lewat email: alf_eon@yahoo.com

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya, besar harapan penulis tolong tinggalkan jejak dalam kolom komentar, terimakasih....