By : Alfeon
Semarang,
22 Januari 2002
Arrggghhh...
Semarang. Kota ini memang sangat panas. Jauh lebih panas dibanding dengan
Jakarta menurutku. Tujuh tahun sudah aku tinggal di kota yang terkenal dengan
Lawang Sewu sebagai ikon utamanya. Aku tinggal di Semarang bersama nenekku.
Sedangkan orang tuaku berada di Jakarta. Aku sengaja dititipkan di rumah nenek
saat aku berusia sembilan tahun karena saat itu bisnis papaku sedang jatuh dan
beliau dilanda depresi. Dan selama tujuh tahun ini aku kesepian. Untunglah satu
setengah tahun belakangan aku memiliki teman akrab.
“Tam,
nanti kita minum es doger di Imam Bardjo yuk. Sekalian makan batagor,” ajak
Johan, teman semejaku.
“Iya.
Aku juga pengen minum yg seger-seger,
Jo.” Ujarku mengiyakan.
Tama
Aditya. Itulah namaku. Saat ini aku duduk di kelas 2 SMU di salah satu SMU
Negeri favorit tak jauh dari Jalan Pahlawan. Aku termasuk orang yang pendiam
dan cenderung introvert. Prestasiku
juga tidak terlalu menonjol meskipun selalu mendapat peringkat sepuluh besar
sejak kelas 1. Secara fisik, menurut teman-temanku, aku lumayan catching. Dengan tinggi 170 cm, berat 58
kg, berambut hitam lurus dan berpotongan mohawk yang menghiasi wajah oval-ku,
dan kulit berwarna coklat muda yang sangat eksotis menambah daya tarik
tersendiri. Seperti yang teman-temanku bilang, aku lumayan catching.
Sedangkan
Johan, dia adalah teman akrabku sejak kami mengikuti Masa Orientasi Siswa atau
MOS. Nama lengkapnya Johan Praditya. Kami memiliki nama belakang yang sedikit
mirip sehingga sering disangka bersaudara. Benarkah kami mirip? Sayangnya
tidak. Johan jauh lebih menarik dibandingkan aku. Tingginya saja 178 cm, dengat
bentuk tubuh atletis, berambut hitam sedikit ikal, dan berkulit putih. Bukan
cuma aku yang menilainya menarik, teman-temanku lainnya malah bilang kalau
Johan adalah salah satu murid yang cakep
di sekolah.
“Argghhh lama banget sih jam setengah
dua. Pengen cepet pulang nih,” ujar
Johan sambil menguap.
“Tenang,
Jo. Bentar lagi juga bel pulang.
Sekarang kan udah jam 1.” Sebenarnya
aku juga malas dan suntuk dengan rutinitas sekolah. Namun harus bagaimana lagi?
Akhirnya
jam 1.30 saatnya bel pulang sekolah berbunyi. Bel di sekolah kami cukup unik.
Tidak berbunyi “teeett” atau “kriiinggg” melainkan bunyi musik penggalan lagu
mars sekolah. Dan...
“Ayo.
Cepetan.” Johan bergegas menggandeng
tanganku ke arah parkiran motor sesaat selepas doa pulang sekolah usai.
“Nyantai aja napa sih, Jo. Kayak mau ngapain aja.” Johan tidak menggubrisku malah semakin mempercepat
langkahnya tanpa melepas tanganku.
Tak
lama kemudian kami sudah duduk memakan batagor dan es doger yang kami pesan.
Tempat ini dekat dari sekolah. Tidak sampai lima menit menggunakan motor.
“Habis
ini kita jalan sebentar yuk. Ke taman. Pengen
ngobrol nih,” ucap Johan setelah menghabiskan es dogernya.
“Ayo
aja. Lagian sebulan ini kita kan
belum ke sana, Jo.” Taman yang kami maksud terletak di depan makam Belanda di
daerah Gajah Mungkur. Taman itu sering menjadi tempat nongkrong kami setelah usai sekolah. Tempat yang nyaman untuk ngobrol karena berada di perbukitan
sehingga tidak terlalu panas. Di sekeliling taman itu juga terdapat banyak
penjual makanan dan minuman. Tak heran kami sering sekali ke sana.
“Cabut
sekarang, Tam. Pake duitku aja. Kemarin kan udah pake duit kamu.” Kami pun segera berangkat menuju taman
setelah Johan selesai membayar batagor dan es doger.
“Kamu
mau minum apa?” Tanyaku setelah kami sampai di taman.
“Ntar aja. Kita duduk di sana yuk.” Johan
menggandeng tanganku menuju sudut taman.
“Kamu
masih inget nggak Tam waktu pertama
masuk sekolah dulu? Kamu kayak orang hilang.” Johan memulai percakapan
mengenang saat pertama kali kami masuk SMU.
Sambil
tersenyum aku menjawab, “ iya, Jo. Waktu itu kan aku masih bingung. Kelasnya
dimana aku juga nggak tau. Untung ada
kamu ya, Jo. Dan untungnya lagi kita sekelas.”
“Trus masih inget nggak waktu kita berdua jalan-jalan ke Jogja saat liburan catur
wulan pertama kelas 1 dulu? Kamu kan megangin
bajuku terus waktu kita jalan di Malioboro. Kamu bilang takut terpisah dari
aku. Lucu banget ya.”
Aku
hanya tertawa mengingat kejadian itu.
“Kalau
salah satu dari kita lagi bete atau udah males banget sekolah, kita bolos
bareng trus jalan ke Bandungan atau
Kopeng.” Johan kembali melanjutkan. “Seru banget ya. Bolos bareng, belajar
bareng, dan kita bersenang-senang berdua. Nggak
terasa kita udah hampir dua tahun
berteman.”
“Tepatnya
satu setengah tahun, Jo,” ujarku meluruskan.
“Satu
setengah tahun yang penuh warna bersama kamu.”
“Iya,
Jo. Aku bahagia banget bisa kenal kamu. Bisa berteman dengan kamu. Aku jadi
punya seseorang yang bisa aku ajak berbagi. Akhirnya aku merasa nggak sendirian lagi. Thank’s banget, Jo.” Aku merasa
bersyukur bisa mengenal dan berteman dengan Johan. Ya, hanya berteman. Meskipun
setahun terakhir aku memiliki perasaan lain terhadap Johan. Perasaan yang
membuat hatiku selalu berdebar. Seperti saat ini.
“Tam,
aku tau hidup ini nggak selamanya
manis seperti loly pop. Tapi
terkadang juga asam, di lain hari rasanya bisa menjadi asin atau bahkan pedas.
Dan di hari lainnya bahkan bisa saja terasa pahit.”
Kami
terdiam. Benar kata Johan. Seperti itu lah hidup. Dan aku juga telah merasakan
manis, asam, asin, pedas, dan pahitnya kehidupan, terlebih selama tujuh tahun
belakangan.
Tanpa
sadar aku pun mendesah panjang. Namun... Deg. Jantungku seakan berdetak keras
saat Johan tiba-tiba memegang telapak tanganku.
“Tam,
aku tau hidup kamu terasa berat. Jauh dari orang tua sejak kecil. Bahkan kamu
juga jarang sekali bertemu mereka. Aku tau kamu merasa kesepian, sedih, dan
kecewa. Tapi kamu harus tau, Tam. Kamu masih punya aku. Kamu pasti bisa
merasakan kalau selama satu setengah tahun ini aku selalu berusaha ada buat
kamu.”
“Kamu
benar, Jo. Selama ini kamu selalu ada buat aku. Sampai teman-teman mengatakan
kalau kita saudara kembar yang kemana pun akan selalu berdua. Waktu menjelang
naik ke kelas 2, kamu juga bela-belain
meminta ke wali kelas kita supaya kita bisa sekelas lagi nantinya. Aku
beruntung banget. Aku merasa bahagia bisa kenal kamu. Kalau nggak ada kamu, mungkin sekarang aku udah depresi. Bagiku, kamu seorang teman
sekaligus saudara, Jo.” Seandainya kamu tau, Jo. Aku memiliki perasaan lebih
dari itu. Aku ingin kamu menjadi kekasihku. Tetapi aku rasa itu semua hanya
mimpi.
Johan
mempererat genggaman tangannya. “Aku nggak
mau kalau hanya menjadi teman dan saudara buat kamu, Tam.”
Deg.
Jantungku kembali berdetak keras. Arrgghh
aku mendadak menjadi gugup.
“Mm..
Maksud kamu? Jadi mau kamu apa? Maunya jadi majikanku ya, Jo?” Aku tertawa
kecil mencoba mencairkan kegugupanku.
“Kalau
dengan menjadi majikan kamu, kita bisa selalu berdua, kenapa nggak?” Johan tersenyum sambil menatap
lekat wajahku.
“Kamu
bego ah, Jo. Jadi selama ini kamu anggap aku sebagai pembantu kamu?” Sambil
pura-pura marah aku berusaha melepaskan tanganku dari genggaman Johan. Tetapi
Johan tidak mau melepaskannya.
“Aku
serius, Tam. Tapi bukan soal pembantu dan majikan. Aku serius pengen selalu bersama kamu. Aku sayang
kamu, Tam. Bukan hanya sebagai teman dan saudara. Aku cinta kamu. Perasaan yang
udah aku simpan sejak pertama kita bertemu satu setengah tahun lalu.”
Deg.
Lagi-lagi jantungku berdetak keras. Apakah aku sedang bermimpi? Tetapi ini
terasa sangat nyata.
“Tam..”
Aku
masih terdiam.
“Maafin aku, Tam. Aku nggak seharusnya ngomong ini. Aku cuma
berusaha jujur dengan perasaanku selama ini. Maafin aku kalau ungkapan perasaanku ini malah menjadi beban
pikiran kamu.” Johan terlihat sedikit panik karena selama beberapa menit tadi
aku hanya terdiam.
Aku
benar-benar tidak percaya kalau Johan ternyata memiliki perasaan yang sama
denganku. Malah dia menyukaiku sejak pertama kami bertemu.
“Jo...”
Akhirnya aku mengeluarkan suara.
“Iya,
Tam.”
“Jo,
sebenernya.. Aku sebenernya..” Aku bingung harus berkata apa. “Sebenernya aku merasa nyaman saat bersama kamu.”
“Trus?”
“Aku..
Aku bingung, Jo.”
“Bingung
kenapa? Maafin aku, Tam. Aku nggak bermaksud menambah beban pikiran
kamu.”
“Bukan
itu, Jo. Terus terang aja selama
setahun terakhir ini aku memiliki perasaan lebih ke kamu. Aku bingung
menjelaskannya. Ini pertama kalinya aku merasa sayang terhadap seseorang. Aku
jatuh cinta, Jo. Dan orang itu kamu. Aku jatuh cinta sama kamu, Jo.”
Johan
terlihat kaget. “Kamu? Beneran kamu
suka sama aku?”
“Iya,
Jo. Perasaanku ini bukan sekedar suka. Bukan karena aku kesepian dan hidupku
yang kacau lantas aku menjadikan kamu pelarian. Aku emang jatuh cinta sama kamu.”
Johan
tersenyum.
“Masih
ingat nggak, Jo, waktu kita berlibur
di Pangandaran saat liburan Natal tahun 2000 lalu? Walau cuma sehari tapi saat
itu lah aku mulai jatuh cinta sama kamu. Kamu ingat, Jo, saat kita berkejaran
di pantai. Aku menarik baju kamu sehingga kamu jatuh terbaring. Sambil tertawa
kamu menarik tanganku dan aku terjatuh menindih badan kamu, Dan tanpa sengaja
aku mencium bibir kamu, Jo. Hanya ciuman sekilas, tapi itu adalah ciuman
pertamaku, Jo.”
“Itu
juga ciuman pertamaku, Tam.” Johan tersenyum bahagia menatap lekat wajahku. “Trus?” Ujarnya melanjutkan.
“Trus apa, Jo?”
“Kita
udah tau perasaan masing-masing, kan?
Kamu mau jadi pacarku? Aku janji bakal selalu jaga kamu, Tam. Aku bakal selalu
ada buat kamu. Di saat kamu senang dan susah. Saat kamu merasa sendirian. Aku
janji nggak akan membiarkan kamu
merasa kesepian lagi. Karena aku tulus sayang kamu. Dan nggak akan pernah ada cowok lain selain kamu. Aku janji.”
“Iya,
jo. Aku sayang kamu. Aku mau jadi pacar kamu. Aku juga janji selalu ada dan
setia buat kamu. Makasih, Jo. Aku bener-bener nggak nyangka kalau kamu juga punya perasaan yang sama seperti yang aku
rasa.”
Johan
kemudian memelukku erat. “Aku yang harusnya berterimakasih, Tam. Karena kamu,
hidupku menjadi bahagia. Aku sayang kamu, Tam”
Sejak
siang itu kami berdua resmi berpacaran. Dia benar-benar sempurna di mataku. Dan
aku beruntung sekali memilikinya.
Hari-hari
selanjutnya kami isi dengan penuh kebahagiaan. Kami selalu saling mendukung
satu sama lain. Berhubung Johan lebih pandai dari aku, maka dia dengan sabar
selalu membantuku belajar, terutama pelajaran Matematika, Fisika, dan Kimia.
Saat kami jenuh dengan aktifitas sekolah, sesekali kami bolos sekolah seharian
bersenang-senang di daerah pinggiran Semarang. Aku tidak pernah merasa kesepian
lagi. Karena dia selalu ada menemaniku.
Kami
membuktikan janji yang kami ikrarkan siang itu. Selalu ada untuk pasangan kami
dan tidak ada laki-laki lain. Kami sadar cinta unik yang kami miliki butuh
perjuangan. Bukan cuma itu, akan banyak godaan yang datang. Untuk itu, kami
membuat beberapa aturan dasar yang penting. Pertama, tidak ada privasi diantara
kami. Aku dan Johan adalah suatu kesatuan jadi kami tidak saling menyembunyikan
sesuatu, termasuk hal yang kecil dan remeh sekalipun. Kedua, untuk menghindari
godaan, kami memutuskan untuk tidak mengenal laki-laki lain yang memiliki
perasaan unik seperti kami. Aturan lainnya? Tidak perlu, karena kami berusaha
saling memahami apa yang pasangan kami mau.
Setelah
lulus SMU, kami memutuskan untuk mengambil satu
pilihan jurusan dan universitas yang sama saat Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru atau SPMB. Ya, hanya satu pilihan karena kami tetap ingin satu
kampus. Akhirnya kami lolos SPMB dan menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di
Universitas Negeri tak jauh dari SMU kami. Tinggal melangkahkan kaki dari
tempat kami biasa makan batagor dan es doger.
Jakarta,
2 Maret 2012
Tak
terasa waktu berlalu begitu cepat. Kini aku dan Johan telah melewati waktu
bersama selama sepuluh tahun. Seperti yang Johan pernah bilang padaku, hidup
ini tidak selamanya manis seperti loly
pop. Selama kami berhubungan, memang ada beberapa masalah penting. Namun
itu semua tidak membuat kami berpisah dan saling menyakiti.
Masalah
penting pertama terjadi tahun 2006 saat kami sibuk menjadi mahasiswa hukum. Pada
suatu hari orang tua Johan mengundangku makan malam di rumah. Setelah makan
malam, kami berempat, aku, Johan dan kedua orang tuanya, melanjutkan
perbincangan di ruang tamu.
Hal
yang membuat aku dan Johan sangat terkejut adalah ternyata kedua orang tuanya
telah mengetahui sejak lama tentang hubungan kami. Mereka bercerita dari awal
bagaimana kecurigaan mereka muncul sejak kami kelas 1 SMU. Sebagai orang tua,
menurut mereka, tentu memiliki insting khusus menyangkut anak mereka. Kedekatan
kami selama ini dinilai terlalu istimewa sebagai pasangan sahabat.
Walaupun
mereka tidak pernah memergoki kami berciuman atau bercinta, mereka meyakini
kami adalah pasangan kekasih. “Perasaan cinta kalian tidak mungkin kalian
tutupi,” begitu ucap mama Johan waktu itu.
“Kami
sangat shock, sedih, dan marah,” papa Johan ikut berbicara.
“Tetapi
kami terus berpikir dan memonitoring hubungan kalian. Sampai akhirnya kami
sadar bahwa kalian tulus saling mencinta. Walaupun kami sangat sedih dan
kecewa, tetapi kami tidak ingin kehilangan kalian. Kami juga sudah menganggap
kamu sebagai putra kami sendiri, Tam. Maka dengan berat hati kami mengijinkan
hubungan kalian berdua.” Mama Johan menyambung ucapan suaminya.
Saat
itu kami, aku dan Johan, sangat kaget menghadapi kenyataan yang belum pernah
kami bayangkan sebelumnya. Perasaan kami campur aduk, sedih, terharu, dan
bahagia, semuanya menjadi satu. Kami langsung memeluk mereka dan menangis
bahagia.
Sejak
itu aku memanggil mama dan papa Johan dengan sebutan mama dan papa. Kami juga
mulai terbuka terhadap mereka dengan segala persoalan yang tengah kami hadapi.
Terkait
kuliah, kami tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya. Hanya dalam
waktu 3 tahun 4 bulan, kami berhasil lulus dari salah satu Fakultas Hukum
terbaik di Indonesia yang terkenal karena Bapak Hukum Progresif, yaitu (Alm)
Prof. Satjipto Rahardjo dan beberapa alumni dari kampus kami seperti mantan
Menteri Kehakiman, Muladi, dan mantan Jaksa Agung, Hendarman Supandji.
Setelah
kami lulus, kami sempat bekerja di sebuah bank swasta nasional selama setahun.
Kemudian kami memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan memulai bisnis kami.
Ada
masalah penting kedua yang terjadi dalam hubungan kami. Di tahun 2008, tak lama
setelah kami pindah ke Jakarta, Johan meyakinkanku untuk berterus terang
tentang hubungan kami kepada orang tuaku. Ini adalah hal berat karena aku
memang sangat jarang bertemu orang tuaku. Paling hanya setahun sekali. Dan lagi,
aku tidak yakin mereka bisa bersikap seperti orang tua johan. Namun Johan terus
meyakinkanku. Dia mengatakan bahwa
apapun yang terjadi kami akan tetap selalu bersama.
Tepat
seperti dugaanku, mereka murka mendengar pengakuan kami. Papa tidak segan
menamparku beberapa kali. Sedangkan mama hanya menangis. Meski aku jarang
bertemu mereka, tetap saja ada perasaan sedih dalam hatiku.
Johan,
seperti biasanya, selalu menguatkan aku. Kami secara rutin mengunjungi kediaman
mereka walau reaksi yang kami dapat tidak berubah.
Hingga
saat ini, mereka masih belum bisa menerimaku. Mungkin bagi mereka, aku hanyalah
sampah.
Dulu
aku pernah bermimpi untuk bisa hidup bahagia dengan orang yang aku sayang dan
kini semua itu menjadi nyata. Dengan Johan berada di sampingku, aku, atau
tepatnya kami, menjalani hidup dengan bahagia. Perbedaan pendapat selalu ada
sejak kami menjalin hubungan sepuluh tahun lalu. Namun itu tidak menjadi batu sandungan
dalam hubungan kami. Itu bukan lah hal besar, karena kami selalu berusaha
saling memahami dan mengerti apa yang pasangan kami inginkan. Itulah
kebahagiaan bagi kami.
Saat
ini, setelah sepuluh tahun terlewati, kami memiliki bisnis kafe dan petshop di Jakarta Selatan. Semua adalah
hasil patungan kami ditambah sebagian kecil dari orang tua Johan. Kami juga
tengah menyelesaikan S2 di sebuah Sekolah Bisnis terkenal di kawasan Cilandak.
Seperti
kata Johan, hidup tidak selalu manis seperti loly pop. Namun kami berusaha melewati itu semua. Dan kami
bersyukur semuanya baik-baik saja. Semuanya bermula di Semarang, siang itu
setelah pulang sekolah, tanggal 22 Januari 2002.
Aku
hanya ingin bilang, bahwa terkadang hidup memang tidak adil. Bagi sebagian
orang hidup juga sangat berat. Selalu saja ada masalah yang menghadang. Begitu
juga dalam kehidupan kami selama ini. Sangat banyak masalah yang kami hadapi.
Mulai dari dulu ketika sekolah dan kemudian kuliah, dengan tugas-tugas, teman,
dan keluarga. Begitu juga berbagai masalah di dunia kerja dan ketika kami
membuka bisnis di Jakarta. Belum lagi masalah-masalah dalam hubungan pribadi
kami.
Jika
dipikir, masalah tidak akan ada habisnya. Namun kami tetap menghadapinya dengan
senyum. Dan memang seperti itulah seharusnya. Bermimpilah tentang kehidupan
yang indah, kemudian bangkit, rencanakan, dan raihlah kehidupan indahmu.
Semangat!
***
Terimakasih telah membaca cerita yang panjang dan membosankan ini. Cerita ini
memang datar dan cenderung tidak memiliki konflik alias tidak ada klimaksnya. Ini
murni cerita fiksi, jadi jika ada kesamaan nama dalam tokoh utama cerita ini
adalah kebetulan saja. Mohon maaf jika cerita ini sangat membosankan. Bagusnya
sih jadi mini novel atau cerbung supaya banyak konflik yang terasa. Jadi ada
klimaksnya. Oiya kalian bisa memanggilku Alfeon. Kalian bisa menghubungiku
lewat email: alf_eon@yahoo.com