By : Randy Putra
Dia yakin
telah memahami dunia; neraka yang sebenarnya.
Fajar berharap
ayah dan ibunya tahu siapa dia sesungguhnya di balik kulit. Remaja itu berharap
semua akan berjalan mulus dan orang tuanya akan tetap menyayangi dia apa
adanya.
"Kau
harus berani. Hidup dalam kebohongan itu menyakiti dirimu sendiri dan
orang-orang yang tulus menyayangimu," seorang teman memberitahunya.
"Jangan bersusah payah membuat mereka mengerti dirimu, mereka sendiri yang
harus berusaha memahamimu."
"Kau
pasti malaikat yang diturunkan Tuhan padaku," sahut Fajar mengangkat alis,
"... malaikat pencabut nyawa."
Fajar mulai
mengkonsumsi Xanax untuk membantunya tidur, Asih mengantarnya ke dokter karena
cemas dia cepat panik dan tidak sanggup beristirahat. Beberapa malam sebelumnya
dia hanya bisa berbaring di ranjang, menangis, gelisah dan berspekulasi tak
pernah henti. Pertanyaan-pertanyaan membelit pikirannya; apakah ibunya sudah tahu? Apakah ayah akan baik-baik saja
kalau dia bicara? Apakah dia berlumur dosa?
Fajar
berumur 16 tahun, ia adalah anak ke dua dari tiga bersaudara. Kakak
laki-lakinya telah menikah dan memiliki seorang anak, sementara adik
perempuannya masih bersekolah di tingkat dasar. Ayah Fajar mengelola toko furniture dan
ibunya membuka usaha katering di rumah. Dibesarkan di keluarga Katolik yang
kuat membuat Fajar berpikir keras untuk berdamai dengan dirinya, terutama
karena merasa di lahir berbeda.
“Please,
kau tidak mengenal ayahku,” kata Fajar muram. “Beliau berwatak keras dan pola
pikirnya sangat tradisional, aku yakin beliau tak pernah mendengar masalah
begini seumur hidupnya.”
“Jangan
menyebut ini masalah!” protes temannya. “Siapapun dirimu sekarang, itu sangat
alami, dan kau tidak sendirian! Tunggu sampai kau cukup umur, kau pasti akan
heran bertemu orang-orang brilian seperti dirimu banyak di luar sana.”
"Tak ada
yang tertarik padaku," sahut Fajar muram, “aku pernah berupaya mendekati
beberapa orang di sekolah, semuanya menghindar seolah aku menderita kusta.”
Asih
menggeleng, "mungkin caramu yang salah.”
“Entah.”
“Pertama,
untuk berdamai dengan hatimu, cepat kau putuskan untuk memberi orang tuamu,”
kata Asih lagi mengingatkan.
“Saat ini aku
belum tahu. Biarkan aku memikirkannya dulu sebelum mengambil keputusan. Ini
sangat besar untukku.”
Fajar pergi ke
gereja minggu pagi keesokan harinya untuk menghadap Tuhan langsung. Saat masuk
ke ruang pengakuan dosa, seorang pastur memberitahunya untuk mengikuti hati
nurani, Fajar juga mesti siap dengan segala resiko. Pastur itu bernasehat,
"Kuatkan dirimu, bapa tahu bagaimana kemungkinan reaksi orang tua tentang
ini, mungkin kamu harus menunggu beberapa tahun lagi, saat kamu sudah dapat
berpikir jernih dan lebih memahami kehidupan dari berbagai sisi."
Namun
Fajar sudah memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama lagi.
*
Botol Xanax
dan Valium yang bentuknya menyerupai permen lolypop itu telah kosong, Fajar berbaring miring, memandanginya
lama-lama lalu memejamkan mata, dan membukanya lagi setelah lima detik berlalu.
Ia menunggu pikirannya untuk beristirahat dan melupakan kesedihan yang larut.
Gerakan di
luar membuatnya menoleh, seekor kucing hitam berjalan anggun di atas pagar
balkon, berhenti di tengah dan memandang Fajar. Mata mahluk menyala memantulkan
cahaya lampu kamar. Mereka saling menatap selama beberapa saat, sebelum Fajar
memejamkan mata lagi, kini untuk terlelap dalam.
Fajar merasa
letih luar biasa saat terbangun. Cahaya putih yang pucat menerobos kaca
jendela, seakan bukan matahari yang bersinar di luar. Dia menyadari pintu
menuju balkon sudah terbuka, gorden putih tipis di antaranya terhempas lembut,
angin sejuk menyebar masuk ke dalam ruangan, Fajar merapatkan selimutnya, dan
dia telanjang.
Fajar tak
ingat bagaimana ia bisa melepaskan seluruh pakaiannya dalam semalam dan
melanjutkan tidur. Meski sangat letih, dia berupaya bangun dan duduk di tepi
ranjang. Dia memandang tangannya yang lemas terjuntai di paha, tubuhnya yang
kurus, betisnya yang putih pucat dan jari-jari kakinya berkuku agak panjang.
Fajar mengangkat
kepalanya lagi dan matanya tertuju pada siluet seorang pria yang berdiri di
balkon, memunggunginya, beberapa detik lalu ia tak ada di sana. Sosok itu
seorang pria dewasa dengan postur tinggi, tak menggunakan satupun pakaian, sama
seperti dirinya. Tubuh pria itu putih terang, berambut hitam tersisir rapi.
Fajar segera merebahkan diri lagi ke ranjang saat pria itu akan berbalik
menghadapnya.
Fajar
buru-buru membalik tubuhnya, meraih selimut dan memandang ke arah lain.
Bayangan pria itu di tembok menunjukkan kalau ia sudah berjalan masuk ke
ruangan dan mendekatinya. Fajar pun merasakan orang asing itu duduk di ranjang
di dekatnya, membuat jantungnya berdebar-debar kencang.
Siapa dia?
Bagaimana ia masuk ke sini?
“Fajar,” bisik
pria itu, suaranya sangat lembut, mirip suara kakak laki-lakinya. Remaja itu
sekarang merasa lebih tenang. Dengan malu-malu dia membalik badan dan menemukan
pria asing itu sedang memandangnya, mereka sangat dekat.
Dia mahluk
terindah yang pernah dilihat Fajar seumur hidupnya. Ia sangat yakin bahwa pria
yang dilihatnya ini bukan manusia biasa. Orang asing ini memiliki wajah
sempurna, ia pria impian yang selama ini ada di benaknya. Tampan berkarisma,
beralis tegas, bibir yang tersenyum ramah, mata coklat yang menatap hangat dan
lembut.
“Kamu siapa?”
tanya Fajar akhirnya. Dia menganggap pertemuan ini hanya ada di dalam
pikirannya, dia tampak terlalu indah sebagai seorang yang nyata.
“Aku tak
bernama,” kata pria itu. “Aku mungkin hanya bagian dari partikel-partikel kecil
yang menggerakkan alam semesta.”
Fajar
mengamati wajah pria itu dengan seksama, menikmatinya, merasakan hangat yang
membuncah di dalam dadanya. “Bagaimana kau ke sini? Apakah kau malaikat yang
datang untuk menjemputku?”
“Di sini aku
hanya meminjam segala sesuatu. Dingin, hangat, kesedihan, kebahagian semua
terasa asing, dan sekarang aku ingin meminjam pikiranmu dan namamu.”
“Kau bisa
memakai namaku. Aku akan baik-baik saja tanpa nama.” kata Fajar.
“Berarti
sekarang aku bernama Putra Fajar” sahut pria itu memejamkan mata, seakan ini
sangat menenangkan dirinya.
"Kalau
kau hanya muncul di pikiranku, apa itu berarti aku akan segera meninggalkan
dunia?" tanya Fajar.
"Jika ini
jalanmu, tentu," sahut Sang Putra Fajar tersenyum. "Tapi kurasa kau
masih bisa berpikir lagi dan mengubah keinginanmu nanti, sementara itu kita
bisa berbincang-bincang."
Fajar masih
mamadangi wajah pria asing itu. Selama beberapa detik terbesit sesuatu di
pikirannya, dengan
sedikit rambut di dagu, pria itu akan sempurna sekali.
"Apakah
saat aku menciptakan tubuhmu berarti pikiranku juga menciptakan
perkataanmu?" saat Ia berkata begitu, Sang Putra Fajar menumbuhkan jenggot
tipis di dagunya. Fajar terpesona.
"Iya dan
tidak," sahut Sang Putra Fajar. Tubuhnya diam tak bergerak, Fajar bahkan
tak melihat bagaimana ia bernafas. Pria itu seperti gambar proyeksi yang utuh.
"Pertama kau harus paham, kehidupan terdiri dari lautan pikiran, saling
bersentuhan. Mereka begitu kuat, bahkan bertahan melewati kematian, namun
mereka kembali lagi untuk melupakan siapa diri mereka. Hidup dan belajar adalah
satu hal, kemudian ia pergi untuk melupakan lagi. Namun apa yang sudah kau
ketahui masih di sana bersamamu."
"Itu
berarti aku sedang melupakan siapa diriku," kata Fajar.
"Kalau
kau berhenti sekarang, kau melewatkan satu kesempatan untuk memahami,"
kata Sang Putra Fajar. "satu kehidupan, kau memahami satu hal, lalu ada
lagi yang lainnya. Saat kau sudah mengumpulkan semuanya, dunia ini bukan lagi
untukmu."
"Aku tak
sanggup," kata Fajar, menatap langit di luar jendela. "Aku meminta
kepada Tuhan untuk diberikan kesempatan yang lain, aku ingin hidup seperti
orang-orang biasa, aku tidak ingin berbeda."
"Setidaknya
kau bisa melihat sesuatu dari sudut yang berbeda. Sementara keberadaanku tak
terlalu mengandalkan Tuhan, iya tidak?" kata Sang Putra Fajar hampir
tertawa, "Ah, begitu kau menyebut Dia?"
"Iya,"
sahut Fajar mengangguk. "Apakah berarti kau bukan malaikat?"
"Aku
tidak ada saat kau tak ada, Fajar," kata pria itu.
“Aku merasa
waktuku semakin pendek, tubuhku terasa sangat lemah.”
"Teruslah
bertanya dan berbicara maka aku akan menemanimu. Kurasa belum terlalu
terlambat,” kata Sang Putra Fajar.
“Aku tidak
mengerti kenapa orang tuaku tidak menerimaku,” lanjut Fajar, kini mengamati
dada Sang Fajar yg mulai menumbuhkan rambut tipis begitu dia memikirkannya.
“Berpura-pura menjadi orang lain sangat menyiksaku. Mama dan Papa menyuruhku
untuk berdoa dan memohon pengampunan Tuhan karena pikiranku yang kacau. Aku tak
pernah memilih jalan ini, demi apapun, aku tak pernah menginginkannya.”
“Mungkin
orang tuamu merasa tercerahkan dengan cahaya yang menyilaukan dari atas,
mereka perlu memicingkan mata untuk melihat segala sesuatu, mereka bahkan tak
sanggup melihat hati seorang anak. Kau, Fajar, tak ada cahaya yang terlalu
terang mengacaukan pandanganmu sekarang. Saat kau merasa terlalu gelap? Kau
hanya perlu diam atau temukan sendiri obor untuk melanjutkan perjalanan.”
“Aku tak
melihat jalan di manapun,” sahut Fajar muram. “Aku hanya ingin mengakhiri ini
semua.”
“Jalan itu di
sana, persis di bawah kakimu,” sahut Sang Putra Fajar meyakinkan. "Obor
juga bersamamu setiap waktu."
“Hidupku
hancur, wahai Putra Fajar. Orang tuaku tak menerimaku lagi,” kata Fajar muram.
“Ayah bahkan tak mau menatap mataku saat mengusirku dari rumah. Aku tak
memiliki siapa-siapa. Untuk apa aku hidup?”
“Aku tahu kau
berniat meninggalkan tubuh itu,” kata Sang Putra Fajar. “Kau memiliki hak untuk
melakukannya. Bahkan orang tuamu tidak berhak atas tubuhmu dan pikiranmu, semua
yang kau punya adalah milikmu saat ini.”
Seekor burung
nuri berwarna biru terbang masuk ke dalam kamar, dia berputar di atas mereka
lalu hinggap di pundak Sang Fajar. Burung itu seakan membisikkan sesuatu
padanya. Pria itu tersenyum lagi, matanya coklatnya bercahaya.
“Dia bilang
kau memiliki sesuatu,” kata Sang Putra Fajar. Si burung nuri memandang Fajar
dengan teliti sebelum mengepakkan sayap dan meninggalkan mereka. “Ia mutiara
tersembunyi di dalam sana.”
“Apa itu?”
Tanya Fajar.
“Aku tidak
tahu, hanya kau yang tahu," kata Sang Putra Fajar, mengangkat bahu.
"Sekarang mari kita tinggalkan dulu kecemasanmu. Bagaimana dengan bermain
musik? Aku suka sekali bermain musik. Kau menyukai instrumen apa?”
“Aku hanya
bisa menikmati musik,” kata Fajar mengernyit. “Aku belum pernah menyentuh gitar
atau apapun, namun keinginan itu ada.”
“Bagus,” sahut
Sang Putra Fajar. Ia segera mengangkat tangan kanan dan menjentikkan jarinya
dengan anggun, lalu gitar akustik tercipta dalam genggamannya. Fajar tak bisa
berhenti terpesona.
Sang Putra
Fajar mulai memainkan gitarnya dan bersenandung. Fajar mendengarkan dengan
tersenyum, lalu air matanya mengalir, musik yang diamainkan pria itu sangat
indah dan melankolis, musik itu hanyut bersama perasaannya.
Setelah
memetik senar terakhir untuk menutup lagunya, Sang Putra Fajar menolehnya. “Kau
mau mencoba?”
Fajar
menggeleng-geleng. “Aku tidak bisa.”
“Akan kubantu.
Bangun dan duduk di sini!”
Fajar pun
bangkit. Ia bergerak perlahan dan duduk dengan hati-hati di depan sang Putra
Fajar, yang menyerahkan gitar kepadanya. Remaja itu merasakan jantungnya berdegup
kencang, mereka luar biasa dekat. Jari-jari Sang Putra Fajar mulai menyentuh
tangan kirinya, menunjukkannya cara menggenggam, dan tangan lain untuk memetik
senar gitar. Ia merasakan hangat tangan Sang Fajar, merasakan hangat tubuh yang
menempel di punggungnya.
Fajar tak
mengerti bagaimana, semuanya terjadi secara ajaib, ia mulai menggerakkan ujung
jarinya, memetik senar dengan hati-hati namun yakin. Ia memainkan lagu yang
berbeda, lebih sedih. Begitu merasa nyaman, Fajar bahkan memejamkan matanya untuk
mengkhayati suara petikan gitar itu.
Beberapa saat
kemudian ia pun melakukannya sendiri, sungguh menakjubkan baginya untuk
menguasai gitar dalam sekejap. Sang Putra Fajar pun bangkit dan berdiri di
depannya. “Terus mainkan! Rasakan kau terbang bersamanya, rasakan dia sebagai
bagian darimu,” ia berkata.
“Bermain musik
adalah salah satu cara mengenal dirimu,” lanjut Sang Putra Fajar. “Musik yang
masuk ke dalam akan membuatmu peka pada alam. Mereka akan berdatangan ke dalam
ragamu. Kau akan melupakan dunia yang menentangmu, kau akan berdiri sendiri,
menjadi besar sehingga segala sesuatu takkan bisa menyembunyikanmu.”
Fajar masih
memainkan lagunya, matanya terpejam rapat. Melodinya semakin dalam dan jauh.
“Selama kau menyimpan semangat itu, aku akan berada di sini untuk
mendengarkanmu bermain.” Bisik Sang Putra Fajar untuk terakhir kalinya. Lalu
Fajar merasakan keningnya dicium.
*
Asih duduk di
dekat ranjang tempatnya berbaring, menggenggam tangan Fajar dengan erat.
Segalanya di ruangan itu bernuansa putih bersih, ada infus menggelantung di
samping kiri. Fajar tersenyum pada gadis itu. Ia hampir tak sanggup
menggerakkan tubuhnya.
“Maafkan aku,”
kata Asih, menangis. “Apa yang kau rasakan?”
“Malam paling
mengerikan seumur hidupku,” sahut Fajar, hampir berbisik. “Mereka memasukkan
selang ke dalam hidungku dan menyedot isi lambungku, sungguh menyakitkan.”
“Maafkan aku,”
kata Asih lagi, air matanya bercucuran. “Tidak semestinya aku memaksamu
melakukannya, aku mestinya mengerti kau butuh waktu.”
“Aku tak
menyesalinya, Asih. Kalau kau terlambat datang beberapa menit saja aku mungkin
sudah meninggalkan dunia ini,” kata Fajar, ikut menangis. “Aku berterimakasih
untuk itu.”
“Aku membaca
tweet terakhirmu, dan langsung berlari ke tempatmu,” kata Asih, mengusap air
mata dengan punggung tangannya. “Tolong terima permohonan maafku ya.”
“Tidak apa-apa
Asih,” kata Fajar. “By the way, kau akan heran jika mendengar apa yang terjadi
saat aku sekarat dan hampir mati, aku bertemu seorang pria yang luar biasa
tampan di alam sana. Namanya Putra Fajar, dia meminjam namaku. Setelah
kupikir-pikir dia mungkin sajaLucifer—“
Asih bergidik.
“Ah siapapun
Sang Putra Fajar, Ia membuatku sadar bahwa mengakhiri hidup bukanlah jalan
terakhir yang terbaik. Aku sekarang tahu apa yang harus kulakukan untuk
melanjutkan hidup. Aku tahu apa yang bisa kubagi pada dunia. Asih, begitu aku
meninggalkan tempat ini, kau akan mengantarku ke toko alat musik paling bagus
di kota ini. Aku akan membeli gitar pertamaku!”