Wednesday, 27 June 2012

Our Love


By : T2E
"Turun! Aku bilang turun! Kamu jangan gila, Dri!"
Pagi itu puluhan karyawan berkumpul di atap gedung sebuah perusahaan besar di kota M, salah satu kota terbesar di tanah air.
"Jika aku tak mampu dan tak berdaya untuk bersamamu, detik ini juga, aku akan ...."

Dua tahun berlalu sejak kejadian menggemparkan itu. Demi nyawa seseorang, aku harus mengorbankan harga diriku. Demi kelangsungan hidupnya aku harus rela kehilangan segalanya, karirku, masa depanku dan wanita yang kucintai, Mei Lie. Wanita yang selama aku bekerja, selalu setia menemaniku. Mengisi hari-hariku. Masih terlukis dengan jelas di bayangku, bagaimana kita berdua menghabiskan waktu bersama.
Mei yang selalu memelukku erat ketika berada di pusat perbelanjaan. Mei yang menemaniku 'ngopi' sewaktu aku meeting dengan rekan kerjaku hingga larut malam. Dan satu yang kusuka, tingkah uniknya ketika 'mengulum' lolly-pop kesukaannya yang selalu ia beli ketika berada di kasir sebuah 'hypermarket' kenamaan.
Kini, aku harus membuang jauh-jauh kenangan itu. Mau tak mau. Karena dari mulutku telah keluar sebuah sumpah. Sumpah untuk selalu bersama dengannya. Untuk melupakan Mei dan keluarganya. Untuk meninggalkan kehidupanku demi kebahagiaannya. Salahkah aku? Dosakah aku? Masih kuingat bagaimana hancurnya perasaan Mei ketika aku mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang sangat mencengangkan semua 'penghuni' kantoran disana.

Andrian Wangsa, putra satu-satunya dari konglomerat di kotaku adalah teman sepermainanku sejak kecil. Keluargaku bisa dibilang sangat dekat dengan keluarganya. Bahkan bisa dibilang, 'daging dan otot' yang 'tumbuh' di diriku berasal dari keluarganya. Papanya, William Wangsa sudah banyak membantu kondisi keuangan bisnis papaku yang belakangan mengalami krisis akibat penipuan telemarketing yang dialaminya.
Usia kami tak terpaut begitu jauh. Aku sedikit lebih tua darinya. Menurut kalender Tionghoa, aku berusia 25 tahun, shio naga, kelahiran tahun 1988 (perhitungan kalender masehi aku berusia 24 tahun). Sedangkan Andrian, ber-shio kuda, kelahiran tahun 1990. Otomatis usia kami hanya selisih 2 tahun. Bila aku bersamanya, kami tampak seperti kakak adik. Aku menyayanginya memang. Sama seperti aku menyayangi adikku sendiri. Begitu juga dengannya. Mencurahkan kasih sayangku padanya bisa membuatku lupa dengan kematian adik lelakiku yang meninggal akibat kecelakaan motor.
Mengingat kejadian itu semakin membuatku merasa bersalah. Bagaimana tidak? Aku melihat langsung kondisi tubuhnya yang nyaris tak 'berbentuk' lagi. Aku bahkan sempat trauma karena paranoid. Ya, aku lah yang membelikan sepeda motor untuknya. Padahal jelas-jelas ia masih di bawah umur. Seingatku, dia masih duduk di kelas 1 SMP (kelas VII berdasarkan kurikulum 2004) waktu itu. Itulah kesalahan terbesar dalam hidupku. Hingga kini, aku sendiri masih 'takut' untuk mengendarai sepeda motor.
Tapi, kedekatanku dengan Andrian membuatku dapat melupakan adik 'kecilku'. Di akhir pekan, kami berdua selalu menyempatkan waktu masing-masing untuk sekedar nonton 'bareng' ataupun 'hang out'. Walau usianya masih terbilang muda, namun ia sudah menempati posisi general manager di perusahaan tempatku bekerja. Entah itu karena relasi ayahnya atau karena kecakapannya. Setelah aku telusuri ternyata ia memang berkompeten. Memang pantas ia memegang jabatan penting di perusahaan itu.
Aku sendiri? Aku 'hanya' manager/kepala bagian keuangan. Aku mendapat promosi jabatan setinggi itu pun dikarenakan Mei Lie, putri pemilik perusahaan yang entah kenapa sangat terobsesi denganku. Usianya 4 tahun dibawahku. Menurut ramalan Tionghoa, terpaut usia 4 tahun atau kelipatannya adalah pasangan ideal. Dan memang benar, semakin ia 'mengejarku' aku semakin merasa nyaman. Terlebih wajah orientalnya yang cukup khas menambah daya tarik dan pesonanya.

"Dri, kenapa kamu ga kerja di kantor papamu aja sih?" Tanyaku sewaktu berada di kantin saat jam makan siang hari itu.
Andri, panggilannya tersenyum manis sembari menggelengkan kepalanya.
"Aneh! Punya perusahaan sendiri kok malah mau-maunya kerja sama orang lain?" Aku mengernyitkan keningku lalu memesan makan siangku.
"Itu punya orang tuaku bukan punyaku. Kalau aku bisa usaha sendiri, kenapa harus melibatkan mereka?"
Andrian mengerlingkan matanya kepadaku. Cepat-cepat aku mengambil pesananku lalu duduk di meja terdekat. Entah kenapa, tiap kali ia 'memainkan' matanya aku merasakan sesuatu yang aneh. Ia berusaha menunjukkan suatu perasaan yang tak bisa ia ungkapkan lewat bibirnya.
"Ko, aku boleh ... ?"
Belum siap ia menyelesaikan kalimatnya aku langsung memotong, "Dri, sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku dengan sebutan 'Ko', 'Kak', 'Bang' atau semacamnya. Aku ga nyaman. Panggil aku Julius, Julius Kusuma!"
Aku kembali menegaskan kalimat terakhirku.
"Wah wah. Bos-bos besar kok tumben makan siang di kantor?"
Suara Mei memecah 'ribut-ribut' kecil kami. Mei memang tak bekerja di perusahaan papanya. Hanya saja, ia sering berkunjung ke kantor. Terkadang hanya untuk melihat-lihat aku saja ataupun membawakan makanan kesukaanku.
Siang itu, seperti biasanya ia datang tidak dengan tangan kosong. Di tangan kirinya terlihat ia menjinjing tas tangan, sedangkan tangan kanannya tampak menggenggam sebuah bungkusan yang berisi apalagi kalau bukan favoritku, Pizza.
"Ini aku bawakan Pizza." Mei menghenyakkan pantatnya ke kursi di sampingku.
"Tapi aku udah terlanjur memesan ini." Ujarku menunjuk makananku.
Mei tak berkata apa-apa, tapi mimik wajahnya seolah 'memaksaku' untuk menelan habis seluruh makanan khas Italia tersebut. Mau tak mau, aku menyisihkan makanan yang baru saja aku pesan dan mengambil sepotong lalu tak lama kemudian mulutku asik mengunyah kerenyahan pizza itu.
Merasa tersisihkan, Andrian pun memutuskan pindah ke meja sebelah. Aku menatapnya dengan sorotan tajam dan ia membalasnya dengan tatapan yang tak kalah tajam pula. Ada apa sebenarnya dengan 'anak' itu. Setiap melihat kedekatanku dengan Mei, ia selalu tidak senang. Aku mencoba mencairkan suasana hatinya dengan menawarkannya sepotong pizza. Namun dengan tegas ia menolaknya mentah-mentah.

"Ada apa denganmu, Dri? Aku udah anggap kamu seperti adikku sendiri. Kalau sekiranya kamu ada masalah, kamu cerita. Jangan seperti ini. Apa ada yang salah antara aku dan Mei?" Pertanyaan demi pertanyaan aku cecarkan untuknya sepulang dari kantor. Kebetulan aku 'menumpang' pada mobilnya karena pagi tadi karena mobilku sedang di-servis.
Dia hanya diam sambil berpura-pura konsentrasi menyetir. Aku sangat hapal tipikalnya. Jika ia sedang menyimpan sesuatu, ia pasti akan lebih banyak diam dan tak mau berbicara dengan siapapun. Ciri-ciri anak semata wayang.
"Jauhi dia!" Tiba-tiba kalimat singkat itu terucap dari mulutnya.
"Siapa?" Aku pura-pura tak mengerti padahal aku tahu pasti yang dia maksud adalah Mei Lie.
Mendadak ia menginjak pedal rem sekuat-kuatnya sehingga aku terdesak ke depan. Untung safety belt menyelamatkanku.
"Kamu kenapa? Kamu mau kita berdua mati konyol gara-gara tingkah konyolmu? Aku tahu usiamu masih sangat muda, tidak sebanding dengan beban kerjamu. Tapi kamu harus bersikap dewasa, jangan hanya di lingkungan kerja saja, dimanapun kamu harus bersikap dewasa."
"Aku hanya ingin kamu jauhi perempuan itu!"
Baru kali ini aku lihat sorot matanya 'semarah' itu. Ia menyebut nama Mei Lie dengan sebutan 'perempuan itu'. Mei Lie? Ada apa dengan Mei Lie? Bukankah ia berasal dari keluarga baik-baik?
"Aku ga ngerti. Alasannya apa? Berkali-kali aku tanya, kamu tak bisa menjawabnya. Aku mencintainya. Begitu juga dengannya. Kalau kamu mau melarangku dekat dengannya, tolong berikan alasan yang logis!"
Ini hanyalah contoh kesekian kalinya kami ribut karena itu. Aku heran. Tapi, setelah aku menanyakan alasan, ia pasti langsung diam. Dan akhirnya meminta maaf. Kelihatannya, kali ini tidak. Terlihat dari emosi di wajahnya yang tak bisa terkontrol.

Hingga suatu hari, aku melihat perubahan sikap Mei Lie. Ia yang ceria dan hangat kini menjadi dingin dan kaku ketika berada di dekatku. Tiap kali aku memeluknya ia menolak. Ia juga menolak ketika kuajak jalan. Jujur, aku rindu dengannya yang dulu. Aku tak tahu kenapa ia bisa berubah sedrastis itu.
Aku mengunci pintu kamarku, duduk di hadapan laptopku. Kebiasaanku ketika duduk di meja kerja di kamarku adalah membuka laci. Ya, di laci itu aku temukan permen lollypop yang masih terbungkus rapi. Permen yang diberikan Mei Lie dari permainan video game. Ia senang sekali ketika berhasil mendapatkannya walau hanya sebuah lollypop. Dan ia langsung 'menghadiahkannya' padaku. Padahal, aku tahu ia suka sekali dengan permen 'bertangkai' tersebut.
Tak terasa kesedihan membahana di otakku. Setitik air memaksa mengalir keluar dari mataku. Aku tetap bertahan, berusaha membendungnya agar aku tak terlihat rapuh. Aku percaya semua pasti ada solusinya. Semua pasti ada jalan keluarnya.
Semua berubah gelap, manakala aku tak sengaja melihat akun facebook-ku sebelum aku keluar dari kamarku. Semua pesan (inbox) yang terus menerus menunjukkan notifikasinya padahal aku tidak sedang berbuat apa-apa. Aku penasaran. Jarang sekali aku menggunakan situs jejaring sosial itu. Hanya beberapa teman yang ada dalam akunku. Bahkan, untuk update status bisa dihitung dengan jari.
Penasaran aku membuka isi pesan tersebut. Alangkah terkejutnya ketika aku melihat percakapan dalam dialog dua arah nan pribadi itu. Seseorang bertindak sebagai aku dan mengatakan aku menyukai seorang pria. Dan aku tak bisa mencintai wanita. Parahnya, pesan itu dikirimkan ke Mei Lie. Wanita yang aku sayangi setelah ibuku. Dari pesan itu pula, aku tahu kalau Mei Lie bisa memaklumiku walau hatinya hancur. Ia juga akan menjaga 'rahasia' itu dari orang-orang termasuk keluarganya. Tak berapa lama kemudian, sebuah pesan masuk lagi. Kali ini dari 'diriku'. Isinya menegaskan kalau Mei harus menjauh dariku jika ingin melihatku bahagia dan hidup tenang.
Ya Tuhan, siapa orang itu? Siapa orang yang tega melakukan hacking terhadap akun pribadiku dan menghancurkan segalanya. Pandanganku 'buta' saat itu juga. Harapanku seakan gelap gulita. Nyawaku seolah-olah pergi meninggalkan ragaku untuk sementara.

"Andri! Ya pasti dia. Hanya dia satu-satunya orang terdekatku yang tahu kata sandiku." Emosiku memuncak tatkala mencoba mengingat-ingat dan mencari tahu siapa dalang dibalik semua ini.
Buru-buru aku keluar dari kamarku, mengeluarkan mobilku dan menginjak pedal gas sekuat mungkin. Aku marah! Iya, aku marah. Jika benar itu Andri, aku sangat kecewa. Orang yang aku anggap adikku malah menusukku dari belakang dan mencabik-cabik ruang privasiku.
Lalu aku mencoba menghubungi Mei Lie untuk menjelaskan semuanya. Sialnya, nomornya tidak aktif.
Sesampainya di rumah Andrian, aku langsung masuk tanpa permisi dan menuju ke kamarnya. Emosi benar-benar menguasaiku. Aku buka pintu kamarnya dengan paksa. Mengejutkan semua 'penghuni' rumah itu. Ketika pintu terbuka, aku melihatnya sedang asik bercumbu dengan seorang wanita. Emosiku menggelegar. Apa yang terjadi di hadapanku jauh lebih 'hina' dari apa yang kubayangkan.
"Keluar kamu!" Aku mengusir wanita itu.
"Apa hakmu mengusirnya? Ini bukan rumahmu!"
"Keluar!!" Aku kembali menghardik wanita itu. Rada-rada takut, ia pun segera 'angkat kaki' dari kamar Andrian.
"Kita harus bicara! Empat Mata!" Ucapku tegas. Sekilas aku melihat mimiknya yang sedikit ketakutan.
Aku menceritakan semuanya. Termasuk tuduhanku padanya yang memang belum terbukti benar.
"Memangnya kenapa? Kamu mencintai wanita itu juga atas dasar balas budi bukan? Kalau begitu, kamu juga harus mencintaiku. Keluargaku sudah banyak membantumu bukan?"
Meletus sudah emosiku ketika sebuah bogem mentah aku daratkan tepat di wajahnya. Aku memukulnya antara sadar dan tidak. Bahkan ketika meninggalkannya, aku sempatkan untuk melihat bahwa keadaannya 'baik-baik' saja. Kulihat di bawah, papa dan mamanya bertanya-tanya.
"Tanyakan saja ke Andrian, Om, Tante. Permisi!"

Hancur lebur. Itulah perasaanku saat itu. Satu sisi, aku kecewa akan sikap Andrian, bahkan aku tak menyangka kalimat itu terucap dari bibir mungilnya. Perasaan ini jauh lebih sakit dari pada saat aku ditinggal mati oleh adik kandungku. Aku tak habis pikir, apa maksud dan tujuannya.
Sesaat kemudian, aku mendapat kiriman pesan singkat darinya. Isinya tentang permintaan maaf darinya. Setelah semua yang diperbuatnya, masih pantaskah aku memaafkannya? Aku hampir kehilangan wanita yang aku cintai. Mungkin aku harus 'mendiamkannya' sesaat.
Usai memberi Andrian 'pelajaran', aku menuju ke rumah Mei Lie. Berusaha memberinya penjelasan. Meyakinkannya kalau semuanya itu bohong alias palsu.

Macet!!! Itu lah salah satu yang aku tidak suka dari kota ini. Kemacetan yang diperparah akibat kecelakaan lalu lintas antara kereta api dengan sebuah mobil sedan. Tak henti-hentinya aku menghubungi Mei di sela-sela kemacetan. Dan berkali-bali itu pula aku gagal mendapat jawaban darinya. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk menelepon ke papanya. Awalnya aku agak segan. Tapi, demi mempertahankan hubunganku dengannya, aku harus mencobanya.
Papanya menjawab panggilanku dan mengatakan Mei Lie akan diberangkatkan keluar negeri karena alasan pendidikan. Mungkin butuh waktu sekitar 5-8 tahun. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Pegangan tanganku melemah. Aku benar-benar putus asa waktu itu.
"Ini semua gara-gara Andrian!!!!" Arghhhh!! Ban*sattt!!!" Teriakku sekeras mungkin.
Aku juga kecewa berat kepada Mei kenapa dia semudah itu percaya dengan dunia maya. Kenapa dia tak menunggu aku menjelaskan padanya secara nyata, bukan dari dunia maya. Hanya setebal itukah kepercayaannya padaku?

Sudah memasuki bulan kelima aku berdiam diri. Aku menonaktifkan semua komunikasi. Menjauhkan diri dari lingkungan sosial. Berusaha untuk melupakan segalanya. Hingga aku mendengar berita yang tak mengenakkan.
Andrian berniat bunuh diri! Mendengar kata 'bunuh' berarti dekat dengan kematian. Dan kematian kembali membuka trauma masa laluku. Masa laluku sewaktu kehilangan adik kandungku.
Papa dan mama Andrian yang langsung ke tempat 'persembunyianku' untuk memberitahukan hal ini.
"Tolonglah kami, Julius. Andrian anak kami satu-satunya. Satu-satunya penerus keluarga kami."
Awalnya aku bersikeras menolak. Namun, aku 'iba' melihat kedua orang tuanya yang sudah tidak muda lagi. Aku juga teringat pada kedua orang tuaku ketika kehilangan adikku. Bagaimana perasaan mereka waktu itu tergambar jelas di depanku saat ini.
Pertahananku runtuh. Aku harus membujuk anak semata wayang itu agar tidak bertindak bodoh.

Untuk membujuknya bukan hal mudah, aku harus mengucapkan sumpah di hadapan semua orang kalau aku harus menjaganya seumur hidupku. Sebagai seorang adik sekaligus kekasih! Semua mata tertuju pada kami. Anak seorang konglomerat ternyata memiliki kelainan dan kini ia sedang 'berusaha' memaksaku untuk menjadi kekasihnya. Dengan cara yang dipaksa!
Aku bingung. Bingung harus berbuat apa. Aku berusaha menolak namun sedikit lagi ia akan jatuh. Dan untungnya aku sempat mengucapkan sumpah itu dan menarik tubuhnya lalu membawanya ke zona 'aman'.
Harga diriku hancur. Benar-benar martabatku sebagai seorang lelaki lebur seiring dengan sumpah yang aku ucapkan.

Rahasia itu pun tetap terjaga karena semua sepakat untuk tak membeberkan masalah ini ke publik. Tapi tetap saja masalah ini menjadi beban yang sangat berat bagi Julius.

"Kamu bisa memiliki hidupku, ragaku, fisikku, tapi aku tetap akan anggap kamu sebagai adikku, tidak lebih."
"Tapi kamu ingat sumpah yang kamu ucapkan?"
Andrian memelukku erat lalu mengecup pipiku. Hampir setiap saat dia melakukannya. Aku sangat jenuh bahkan risih dibuatnya. Pepatah mengatakan, alah bisa karena biasa. Ternyata itu berlaku juga untukku. Lama-lama aku terbiasa dengan perlakuan Andri. Bahkan aku merasa ada sesuatu yang kurang jika ia tidak berada di sampingku.
"Cinta kita yang seperti ini takkan bertahan lama, Dri. Kamu tahu pasti akan hal itu."
"Aku tak mau tahu. Aku tetap akan mempertahankannya walau nyawaku taruhannya. Kamu juga tahu pasti kan aku tak main-main?"
Lagi-lagi aku lemah terhadap bayang-bayang kematian. Mendengar kalimat-kalimat yang berhubungan dengan kematian membuatku tak berdaya.

Mei Lie dikabarkan telah menikah dengan seorang pria berkebangsaan Jerman dan akan melangsungkan pernikahan mereka di sana. Aku dan Andrian juga mendapat undangannya. Aku sempat tak menyangka kalau Mei sangat mudahnya melupakanku. Padahal aku masih ingat jelas kenangan-kenangan indahnya saat bersamaku. Apakah ini takdir? Atau aku memang tak berjodoh dengannya? Atau aku ...?
Cinta yang kujalani telah pupus. Hanya cinta semu antara insan sesama jenis yang kurasakan dari Andrian. Aku tak tahu kapan cinta kita ini akan berakhir. Akankah cinta ini sekeras permen lollypop pemberian Mei yang hingga saat ini masih tersimpan rapi di laciku? Entahlah, biarlah Tuhan yang menentukan. Aku sudah memutuskan untuk menjalani hidup ini. Bila hidup adalah permainan, tentu aku sebagai pemain utama harus melakoninya bukan? Biarlah kematian yang akan memisahkanku dan mematahkan sumpahku atas Andrian.

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya, besar harapan penulis tolong tinggalkan jejak dalam kolom komentar, terimakasih....