A
short story by: Bagus Tito
……Ada sebuah legenda di sekolah ini, jika kau mengukir namamu dan orang yang kau
sukai pada pohon beringin dekat lapangan saat kelulusan tiba, niscaya cintamu
tidak akan bertepuk sebelah tangan.
“Pokoknya
gue musti ngebuktiin legenda itu!”
Tanpa sadar aku mengucapkan kata-kata itu
dengan kencang sehingga perhatian seisi kantin kontan tertuju padaku dan Abigail—sahabatku yang lagi asyik melahap
bakso geranat khas kantin sekolah.
“Lo
gila ya Tit! Norak banget sih percaya sama legenda kampungan kayak gitu,”bisik
Abigail sembari melayangkan tatapan penuh eksekusi padaku. Matanya yang cokelat
tua itu mendadak membulat seperti lollypop.
Aku yang sedari tadi asyik meneguk es jerukku yang tinggal separuh balas melemparkan tatapan yang tak kalah
tajam padanya.
“Heh!
Jangan pernah ngebilang kalau legenda itu norak!Lo nggak pernah tahu kan
kebenaran legenda tentang pohon cinta itu?,”ucapku tanpa jeda.” Jadi jangan
pernah ngebilang hal itu lagi.”
“Terserah
deh apa kata lo,”balas Abigail. “Lagian
emang lo mau nulis nama siapa di pohon bangkotan itu? Lindsay Lohan? Atau Kate Winslet? Eh.. tunggu.. tunggu .. atau jangan –jangan lo mau nulis namanya Olga
Syahputra ya? Hahaha..!”
“Stop
ngetawain gue atau bakal ada es jeruk yang tumpah di kepala lo!,” ancamku setengah geram yang membuat si cowok
keriting berkacamata itu kontan diam. Rupanya dia masih punya rasa takut
terhadapku. “Nama siapa yang bakal gue
tulis di pohon cinta itu bukan urusan
lo. Yang pasti, gue bakal ngebuktiin kalau legenda itu memang benar- benar
ada!”
“Tapi
kelulusan kita kan masih dua minggu lagi, hasil ujian kita aja belum keluar.”
“Masa
bodoh. Sekali Tito punya kemauan, gak bakal ada
yang bias menghalangi gue. Titik!,”pungkasku sembari melemparkan
selembar uang sepuluh ribuan ke meja dan bergegas pergi meninggalkan Abigail
yang masih terbengong-bengong.
***
Aku sudah memutuskannya. Ya, akusudah
berpikir hamper ratusan kali untuk membuktikan legenda itu. Meskipun Abigail
atau orang lain menganggap itu hanyalah legenda konyol dan bualan semata, namun
aku mempercayainya. Sama seperti aku mempercayai Tuhan. Biarlah orang menganggapku syirik atau
apalah.. Aku tak butuh ceramah macam
itu .
Dan tentang siapa nama yang kan aku tuliskan
disana, aku juga sudah memikirkannya. Aku akan menorehkan namaku dan namanya.
Petra Joshua Ardiantara. Cowok tinggi dan ketua ekskul basket yang banyak
digilai gadis- gadis dan para lelaki
berjiwa pink. Dan akulah salah satu
cowok berjiwa pink itu. Bisa dibilang
akulah pengangum terberatnya diantara pengagum-pengagumnya yang lain. Semenjak
insiden bola basket seminggu yang lalu, entah kenapa perhatiannya padaku
jadi berbeda. Saat itu, bola basket yang
sedang dimainkannya bersama teman- teman
ekskul basketnya tanpa sengaja terlempar ke arahku dan sukses membuatku
pingsan. Maka s emenjak itu perhatiannya padaku mendadak tertuju padaku. Dia
sering SMS dan menanyakan keadaanku. Apakah aku baik- baik saja, itulah yang
selalu menjadi pertanyaannya.
Namun biarpun begitu, aku masih belum yakin
terhadap perasaannya. Aku juga masih ragu apakah dia juaga sepertiku atau
tidak. Pasalnya, aku sering melihatnya jalan dengan seorang gadis meskipun kata
teman- teman itu adalah adiknya. Tapi ku
masih berusaha meyakinkan kalau perhatian Petra padaku lebih dari seorang
sahabat. Dan aku akan membuktikannya dengan menuliskan namaku dan namanya di
pohon cinta.
***
“Jadi,
sudah nemuin nama yang mau lo tulis di
pohon itu?,”lagi-lagi Abigail
mengagetkanku yang tengah sibuk mengerjakan tugas penyetaraan reaksi yang
membuat dahiku berkerut.
Sontak aku kupalingkan pandanganku dari buku
diktat tebal dihadapanku kearah Abigail yang tengah sibuk mengenyot-ngenyot lollypop berwarna orange.
“Udah,”jawabku
singkat, membuat Abigail melebarkan mata.
“Siapa?,”tanyanya
penasaran.
“Bukan
urusanmu!”
“Ayolah
Tito, siapa?Kasih tahu dong? Lo pasti mau
nulis nama gue ya, heheheh,”
cellos Abigail sembari menarik- narik kemeja seragamku dengan manja. Aku yang udah bener-
bener emosi karena tingkahnya barusan jadi terpancing. Kontan kututup buku
diktat di hadapanku dan menatap tajam
kearahnya.
“Gue
mau nulis nama Petra di pohon cinta! Puas lo?,” ucapku dengan nada kasar yang
kontan membuat raut Abigail berubah seratus delapan puluh derajat. Mukanya
Nampak kaget begitu mendengar nama yang barusan kusebut. Dan sorot matanya
seolah meredup tanpa binary.
“Oh,
dia ya?,” ucapnya singkat sebelum akhirnya meninggalkanku dengan langkah
gontai. Aku mendadak tersentak. Ada
apa sebenarnya. Baru kali ini
mukanya berubah sedemikian rupa. Bahkan dia meninggalkanku tanpa sepatah
katapun. Apa dia marah dengan tingkah konyolku yang mempercayai legenda itu.
Atau jangan-jangan…. Dia cemburu. Ah, entahlah, aku tak tahu.
***
Dan
semenjak hari tiu, Abigail seakan
menghindar dariku. Entah kenapa, dia
selalu berusaha menjauh setiap kali berpapasasn denganku. Aku tak tahu apa
salahku. Aku benar- benar tak mengetahuinya. Kenapa mendadak ia jadi berubah.
Ah, setiap kali memikirkannya, aku jadi menitikkan air mata. Biarkan orang
menyebutku cengeng. Yang pasti, aku meraa sedih dan kehilangan karena tak
dianggap olehnya.Bukankah itu menyiksa.
Dianggap tak ada oleh sahabatmu sendiri itu pasti menyakitkan bukan . Tapi
sudahlah, toh naku juga tak bersalah apa-apa.
“Mungkin dia sedang ada masalah dan nggak
pengen diganggu,”bisikku meyakinkan diri sembari melangkah meninggalkan
gerbang sekolah yang beku. Sebeku hatiku sore itu.
***
Setidaknya aku sudah mencoba untuk melupakan
masalahku sdengan Abigail yang tak kunjung selesai itu. Karena focus utamaku
sekarang adalah kelanjutan hubunganku dengan Petra. Maka dengan langkah
sumringah dan wajah cepat, eh maksudku langkah cepat dan wajah sumringah , aku
bergegas menuju ke sekolahku karena malam ini adalah malamkelulusan s ekaligus
inagurasi kami. Dengan detak jantungku yang secepat mobil balap Formula One, aku terus menyusurkan kakiku menuju pohon
beringin legendaris yang terletak di samping lapangan upacara itu. Aku sudah
membayangkan bahwa Petra akan menembakku setelah aku menuliskan ‘Tito
loves Petra’ di pohon itu. Aku sudah benar- benar nggak sabar merasakan
mimpi indah itu jadi nyata.
Maka tanpa
banyak babibu aku mempercepat langkah. Dan akupun terperangah saat kedua
sepatu pantofel putihku berhenti tepat di samping lapangan upacara tempat pohon
cinta itu berada.
“Kog! Kog pohonnya gak ada?,”ucapku tanpa sadar
begitu meihat pohon cinta yang kuidam- idamkan tak menampakkan batang
hidungnya. Yang tersisa hanya bekas
potongan kayu dan bekas galian tanah yang tak s empat dibersihkan.
Aku melongo. Sumpah aku benar- benar melongo
. Sejak kapan pohonnya ditebang? Kog Pak Tukang Kebun Sekolah nggak
bilang-bilang sih kalau pohonnya mau nebang itu pohon?. Kalu begini, aku nggak bakal bis amembuktikan legenda itu
dong. Itu artinya, aku nggak bakal bisa menyatukan cinta cintaku dengan Petra
dong. Dan itu artinya,….. “Akh!,”aku sontak berteriak histeris dan merasakan
tubuhku lunglai.
***
Mataku
mengerjap-ngerjap perlahan. Hidungku rasanya panas saat s ebuah jari telunjuk
mengoles- oleskan minyak kayu putih. Aku kontan membuka mata. Dan aku melihat
sosokny a yang Nampak kaget memandangku. Kami berdua berada di UKS sekolah yang
Nampak sepi.
“Abigail!.”
Teriakku kaget. “Ngapain lo disini?”
Namun
dia malah memalingkan muka , rupanya dia masih marah padaku.
“Heh,
kog diem sih?Lo ngapain disini?,” lanjutku mengulang pertanyaanku.
D
an berhasil. Abigail menolehkan pandangannya kearahku.
“Elo
yang ngapain!,”celosnya jutek. “Ngapain
sih lo pake acara pingsan di lapangan upacara s egala?”
Lapangan
upacara?Heh? Sontak aku jadi ingat kalau aku tadi pingsan gara- gara pohon
cinta yang kupuja- puja itu ditebang. Seketika saja aku kembali histeris.
“Pohonnya…
pohonnya…”racauku.
“Pohonnya
kenapa?,” ledek Abigail.
“Pohonnya
kog ditebang?,”celosku ngasal.
Dan bletak! Tanpa babibu Abigail menjitakku
yang kontan membuatku meringis sambil mengusap- usap kepala.
“Ya
iyalah pohonnya ditebang,orang pohonnya mengganggu pemandangan gitu,” ucapnya
sadis.
“Tapi
bukannya tadi siang pohonnya masih ada?”.
“Pohonnya
ditebang pas anak- anak pulang sekolah, jadi tanpa sepengetahuan anak- anak.
Lagian ngapain sih lo masih nagrep-ngarepin I tu pohon nggak jelas?Apa lo udah
gila ya? Apa lo bener- bener buta sampai- sampai lo manfaatin itu pohon buat
nembak si Petra yang udah jelas- jelas straight itu?”.
Kontan aku terkesiap mendengar perkataan
Abigail barusan. Petra Straight?
Darimana dia tahu?
“Apa
lo nggak lihat kalo Petra tadi ngenalin ceweknya ke anak- anak? Apa lo udah
bener- bner gila sih Tit?”.
“What????
Jadi????”.
“Iya,”
Potong Abigail sebelum aku sempat menyelesaikan perkataanku. “Petra bitu
straight dan elo udah salah kalo selama
ini lo ngejar- ngejar dia.”
Aku membisu. Sepeti ada ribuan selotip
lengket yang membungkam mulutku. Tanpa kusadari mataku perih. Air mataku
perlahan menetes.
“Jadi
apa artinya perhatian dia selama ini?,” ucapku mellow seperti adegan- adegan
dalam sinetron- sinetron .
“Ya
elah Tit, dia merhatiin elo karena dia merasa bersalah atas insiden bola basket
itu,”cetus Abigail saking gemasnya.
Mungkin, jika aku bukan sahabatnya, dia akan menguburku hidup- hidup. “Lagian, ngapain sih lo ngarepin
burung yang terbang tinggi s ementara ada kupu- kupu di jemari lo.”
Aku terkesiap begitu mendengar perkataan
cowok itu barusan. “Maksudnya?”
Kontan muka Abigail mendadak merah seperti
lollypop rasa stroberi. Gerak tubuhnya jadi salah tingkah. Aku hamper saja
tertawa ngakak melihat tingkahnya.
“Gue
suka sama elo Tit, ngapain elo terus ngarep- ngarepin Petra,” sambungnya
kemudian yang sontak sukses membuat
mataku terbelalak dan nyengir nggak karuan. Jujur aku terkaget tingkat dewa
mendengar pengakuannya barusan. Aku benar- benar nggak nyangka kalau sahabat
dekatku ini punya perasaan lebih terhadapku.
“Jadi…..”
“Iya…
s ebenernya gue nggak marah kog s ama lo. Gue
Cuma bête aja pas denger elo bakal nulis nama Petra di pohon cinta itu.
Padahal gue ngarep banget lo nulis nama gue di sana, hehehhe,” jelas Abigail
dengan muka menunduk.
Aku yang sedari tadi terdiam mendengarkannya
akhirnya tersenyum. Tanpa ragu kugerakkan tanganku dan menggenggam jemarinya
dengan erat. Dia mengangkat wajahnya. Dan mata cokelat yang bersembunyi dibalik
kacamata minus itu menatap mataku.
“Gue
sebenernya juga pernah punya perasaan sama lo, Gail. Tapi karena lo lebih
sering nyebelin daripada merhatiin gue, maka interest gue jadi lebih ke Petra.
Jujur waktu lo ngejauh dan nyuekin gue, rasanya seperti ada yang hilang dari
dalam hati gue. Gue kange n sama kekonyolan lo, gue kangen sama sifat nyebelin
lo, gue kangen……”
“Ssssst…..,”Abigail
meletakkan telunjuknya di bibirku. “Nggak usah diterusi karena rasanya akan
sangat panjang kalo ngomongin kejelekan gue,”ucapnya dengan lembut. Baru kali
ini aku menndengar suaranya yang seperti ini. Kesannya, menentramkan.
“Jadi…
lo mau nggak jadi sahabat special gue?”lanjut Abigail kemudian.
“Cuma
sahabat special?” aku mengangkat alisku, menggodanya.
“Emmm…
maksudku lebih dari sahabat special sih. Errr… mau nggak lo jadi kekasih gue?,:
jawabnya salah tingkah. Aku hanya tersenyum geli melihat kelakuannya. “Asal lo
cariin gue pohon pengganti buat nulis nama lo sama gue disana.”
Abigail
lantas tersenyum begitu mendengar
jawabanku. Dan tnpa ragu, mataku kembali bertatapan dngan matanya. Hati kami
bertaut. Dan mendadak saja, sunyi. Hanya desau angin dan nafas kami saja yang
terdengar. Dan tanpa disadari, wajah kami berdekatan. Kedua bibir kami nyaris menempel, rasanya
hamper saja aku merasakan ciuman pertamaku. Namun tiba- tiba….
“Hei!
Kalian lagi ngapain sih disini? Upacara kelulusannya udah mau dimulai tuh?”.
Kami
menoleh hampir bersamaan. Dan disana, di
depan pintu UKS yang lupa kami tutup, berdiri seorang gadis yang memandang kami
de ngan tatapan s ebal.