Thursday 28 June 2012

THE LOVE TREE



A short story by: Bagus Tito

……Ada  sebuah legenda di sekolah ini,  jika kau mengukir namamu dan orang yang kau sukai pada pohon beringin dekat lapangan saat kelulusan tiba, niscaya cintamu tidak akan bertepuk sebelah tangan.

“Pokoknya gue musti ngebuktiin legenda itu!”
  Tanpa sadar aku mengucapkan kata-kata itu dengan kencang sehingga perhatian seisi kantin kontan tertuju padaku  dan Abigail—sahabatku yang lagi asyik melahap bakso geranat khas kantin sekolah.
“Lo gila ya Tit! Norak banget sih percaya sama legenda kampungan kayak gitu,”bisik Abigail sembari melayangkan tatapan penuh eksekusi padaku. Matanya yang cokelat tua  itu mendadak membulat seperti lollypop.
 Aku yang sedari tadi asyik  meneguk es jerukku yang tinggal separuh  balas melemparkan tatapan yang tak kalah tajam padanya.
“Heh! Jangan pernah ngebilang kalau legenda itu norak!Lo nggak pernah tahu kan kebenaran legenda tentang pohon cinta itu?,”ucapku tanpa jeda.” Jadi jangan pernah  ngebilang hal itu lagi.”
“Terserah deh apa kata lo,”balas  Abigail. “Lagian emang lo mau nulis nama siapa di pohon bangkotan itu?  Lindsay Lohan? Atau  Kate Winslet? Eh.. tunggu.. tunggu ..  atau jangan –jangan lo mau nulis namanya Olga Syahputra ya? Hahaha..!”
“Stop ngetawain gue atau bakal ada es jeruk yang tumpah di kepala lo!,”  ancamku setengah geram yang membuat si cowok keriting berkacamata itu kontan diam. Rupanya dia masih punya rasa takut terhadapku.  “Nama siapa yang bakal gue tulis di pohon cinta itu  bukan urusan lo. Yang pasti, gue bakal ngebuktiin kalau legenda itu memang benar- benar ada!”
“Tapi kelulusan kita kan masih dua minggu lagi, hasil ujian kita aja belum keluar.”
“Masa bodoh. Sekali Tito punya kemauan, gak bakal ada  yang bias menghalangi gue. Titik!,”pungkasku sembari melemparkan selembar uang sepuluh ribuan ke meja dan bergegas pergi meninggalkan Abigail yang masih terbengong-bengong.
***
   Aku sudah memutuskannya. Ya, akusudah berpikir hamper ratusan kali untuk membuktikan legenda itu. Meskipun Abigail atau orang lain menganggap itu hanyalah legenda konyol dan bualan semata, namun aku mempercayainya. Sama seperti aku mempercayai Tuhan.  Biarlah orang menganggapku syirik atau apalah.. Aku  tak butuh ceramah macam itu  .
   Dan tentang siapa nama yang kan aku tuliskan disana, aku juga sudah memikirkannya. Aku akan menorehkan namaku dan namanya. Petra Joshua Ardiantara. Cowok tinggi dan ketua ekskul basket yang banyak digilai gadis- gadis  dan para lelaki berjiwa pink. Dan akulah salah satu cowok berjiwa pink itu. Bisa dibilang akulah pengangum terberatnya diantara pengagum-pengagumnya yang lain. Semenjak insiden bola basket seminggu yang lalu, entah kenapa perhatiannya padaku jadi  berbeda. Saat itu, bola basket yang sedang dimainkannya  bersama teman- teman ekskul basketnya tanpa sengaja terlempar ke arahku dan sukses membuatku pingsan. Maka s emenjak itu perhatiannya padaku mendadak tertuju padaku. Dia sering SMS dan menanyakan keadaanku. Apakah aku baik- baik saja, itulah yang selalu menjadi pertanyaannya.
   Namun biarpun begitu, aku masih belum yakin terhadap perasaannya. Aku juga masih ragu apakah dia juaga sepertiku atau tidak. Pasalnya, aku sering melihatnya jalan dengan seorang gadis meskipun kata teman- teman itu adalah adiknya.  Tapi ku masih berusaha meyakinkan kalau perhatian Petra padaku lebih dari seorang sahabat. Dan aku akan membuktikannya dengan menuliskan namaku dan namanya di pohon cinta.
***
“Jadi, sudah nemuin nama  yang mau lo tulis di pohon itu?,”lagi-lagi  Abigail mengagetkanku yang tengah sibuk mengerjakan tugas penyetaraan reaksi yang membuat dahiku berkerut.
   Sontak aku kupalingkan pandanganku dari buku diktat tebal dihadapanku kearah Abigail yang tengah sibuk mengenyot-ngenyot lollypop berwarna orange.
“Udah,”jawabku singkat, membuat Abigail melebarkan mata.
“Siapa?,”tanyanya penasaran.
“Bukan urusanmu!”
“Ayolah Tito, siapa?Kasih tahu dong? Lo pasti mau  nulis nama gue ya, heheheh,”  cellos Abigail sembari menarik- narik kemeja  seragamku dengan manja. Aku yang udah bener- bener emosi karena tingkahnya barusan jadi terpancing. Kontan kututup buku diktat  di hadapanku dan menatap tajam kearahnya.
“Gue mau nulis nama Petra di pohon cinta! Puas lo?,” ucapku dengan nada kasar yang kontan membuat raut Abigail berubah seratus delapan puluh derajat. Mukanya Nampak kaget begitu mendengar nama yang barusan kusebut. Dan sorot matanya seolah meredup tanpa binary.
“Oh, dia ya?,” ucapnya singkat sebelum akhirnya meninggalkanku dengan langkah gontai. Aku mendadak tersentak. Ada  apa  sebenarnya. Baru kali ini mukanya berubah sedemikian rupa. Bahkan dia meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Apa dia marah dengan tingkah konyolku yang mempercayai legenda itu. Atau jangan-jangan…. Dia cemburu. Ah, entahlah, aku tak tahu.
***
Dan semenjak hari tiu,   Abigail seakan menghindar  dariku. Entah kenapa, dia selalu berusaha menjauh setiap kali berpapasasn denganku. Aku tak tahu apa salahku. Aku benar- benar tak mengetahuinya. Kenapa mendadak ia jadi berubah. Ah, setiap kali memikirkannya, aku jadi menitikkan air mata. Biarkan orang menyebutku cengeng. Yang pasti, aku meraa sedih dan kehilangan karena tak dianggap olehnya.Bukankah itu  menyiksa. Dianggap tak ada oleh sahabatmu sendiri itu pasti menyakitkan bukan . Tapi sudahlah, toh naku juga tak bersalah apa-apa.
Mungkin dia sedang ada masalah dan nggak pengen diganggu,”bisikku meyakinkan diri sembari melangkah meninggalkan gerbang sekolah yang beku. Sebeku hatiku sore itu.
***
   Setidaknya aku sudah mencoba untuk melupakan masalahku sdengan Abigail yang tak kunjung selesai itu. Karena focus utamaku sekarang adalah kelanjutan hubunganku dengan Petra. Maka dengan langkah sumringah dan wajah cepat, eh maksudku langkah cepat dan wajah sumringah , aku bergegas menuju ke sekolahku karena malam ini adalah malamkelulusan s ekaligus inagurasi kami. Dengan detak jantungku yang secepat mobil balap Formula One, aku  terus menyusurkan kakiku menuju pohon beringin legendaris yang terletak di samping lapangan upacara itu. Aku sudah membayangkan bahwa Petra akan menembakku setelah aku menuliskan  ‘Tito loves Petra’ di pohon itu. Aku sudah benar- benar nggak sabar merasakan mimpi indah itu jadi nyata.
   Maka tanpa  banyak babibu aku mempercepat langkah. Dan akupun terperangah saat kedua sepatu pantofel putihku berhenti tepat di samping lapangan upacara tempat pohon cinta itu berada.
“Kog!  Kog pohonnya gak ada?,”ucapku tanpa sadar begitu meihat pohon cinta yang kuidam- idamkan tak menampakkan batang hidungnya. Yang tersisa   hanya bekas potongan kayu dan bekas galian tanah yang tak s empat dibersihkan.
   Aku melongo. Sumpah aku benar- benar melongo . Sejak kapan pohonnya ditebang? Kog Pak Tukang Kebun Sekolah nggak bilang-bilang sih kalau pohonnya mau nebang itu pohon?. Kalu begini,  aku nggak bakal bis amembuktikan legenda itu dong. Itu artinya, aku nggak bakal bisa menyatukan cinta cintaku dengan Petra dong. Dan itu artinya,….. “Akh!,”aku sontak berteriak histeris dan merasakan tubuhku lunglai.
***
Mataku mengerjap-ngerjap perlahan. Hidungku rasanya panas saat s ebuah jari telunjuk mengoles- oleskan minyak kayu putih. Aku kontan membuka mata. Dan aku melihat sosokny a yang Nampak kaget memandangku. Kami berdua berada di UKS sekolah yang Nampak sepi.
“Abigail!.” Teriakku kaget. “Ngapain lo disini?”
Namun dia malah memalingkan muka , rupanya dia masih marah padaku.
“Heh, kog diem sih?Lo ngapain disini?,” lanjutku mengulang pertanyaanku.
D an berhasil. Abigail menolehkan pandangannya kearahku.
“Elo yang ngapain!,”celosnya  jutek. “Ngapain sih lo pake acara pingsan di lapangan upacara s egala?”
Lapangan upacara?Heh? Sontak aku jadi ingat kalau aku tadi pingsan gara- gara pohon cinta yang kupuja- puja itu ditebang. Seketika saja aku kembali histeris.
“Pohonnya… pohonnya…”racauku.
“Pohonnya kenapa?,” ledek Abigail.
“Pohonnya kog ditebang?,”celosku ngasal.
   Dan bletak! Tanpa babibu Abigail menjitakku yang kontan membuatku meringis sambil mengusap- usap kepala.
“Ya iyalah pohonnya ditebang,orang pohonnya mengganggu pemandangan gitu,” ucapnya sadis.
“Tapi bukannya tadi siang pohonnya masih ada?”.
“Pohonnya ditebang pas anak- anak pulang sekolah, jadi tanpa sepengetahuan anak- anak. Lagian ngapain sih lo masih nagrep-ngarepin I tu pohon nggak jelas?Apa lo udah gila ya? Apa lo bener- bener buta sampai- sampai lo manfaatin itu pohon buat nembak si Petra yang udah jelas- jelas straight itu?”.
   Kontan aku terkesiap mendengar perkataan Abigail barusan. Petra Straight?  Darimana dia tahu?
“Apa lo nggak lihat kalo Petra tadi ngenalin ceweknya ke anak- anak? Apa lo udah bener- bner gila sih Tit?”.
“What???? Jadi????”.
“Iya,” Potong Abigail sebelum aku sempat menyelesaikan perkataanku. “Petra bitu straight dan elo udah salah  kalo selama ini lo ngejar- ngejar dia.”
  Aku membisu. Sepeti ada ribuan selotip lengket yang membungkam mulutku. Tanpa kusadari mataku perih. Air mataku perlahan menetes.
“Jadi apa artinya perhatian dia selama ini?,” ucapku mellow seperti adegan- adegan dalam sinetron- sinetron .
“Ya elah Tit, dia merhatiin elo karena dia merasa bersalah atas insiden bola basket itu,”cetus Abigail  saking gemasnya. Mungkin, jika aku bukan sahabatnya, dia akan menguburku hidup-  hidup. “Lagian, ngapain sih lo ngarepin burung yang terbang tinggi s ementara ada kupu- kupu di jemari lo.”
   Aku terkesiap begitu mendengar perkataan cowok itu barusan. “Maksudnya?”
   Kontan muka Abigail mendadak merah seperti lollypop rasa stroberi. Gerak tubuhnya jadi salah tingkah. Aku hamper saja tertawa  ngakak melihat tingkahnya.
“Gue suka sama elo Tit, ngapain elo terus ngarep- ngarepin Petra,” sambungnya kemudian yang  sontak sukses membuat mataku terbelalak dan nyengir nggak karuan. Jujur aku terkaget tingkat dewa mendengar pengakuannya barusan. Aku benar- benar nggak nyangka kalau sahabat dekatku ini punya perasaan lebih terhadapku.
“Jadi…..”
“Iya… s ebenernya gue nggak marah kog s ama lo. Gue  Cuma bête aja pas denger elo bakal nulis nama Petra di pohon cinta itu. Padahal gue ngarep banget lo nulis nama gue di sana, hehehhe,” jelas Abigail dengan muka menunduk.
   Aku yang sedari tadi terdiam mendengarkannya akhirnya tersenyum. Tanpa ragu kugerakkan tanganku dan menggenggam jemarinya dengan erat. Dia mengangkat wajahnya. Dan mata cokelat yang bersembunyi dibalik kacamata minus itu menatap mataku.
“Gue sebenernya juga pernah punya perasaan sama lo, Gail. Tapi karena lo lebih sering nyebelin daripada merhatiin gue, maka interest gue jadi lebih ke Petra. Jujur waktu lo ngejauh dan nyuekin gue, rasanya seperti ada yang hilang dari dalam hati gue. Gue kange n sama kekonyolan lo, gue kangen sama sifat nyebelin lo, gue kangen……”
“Ssssst…..,”Abigail meletakkan telunjuknya di bibirku. “Nggak usah diterusi karena rasanya akan sangat panjang kalo ngomongin kejelekan gue,”ucapnya dengan lembut. Baru kali ini aku menndengar suaranya yang seperti ini. Kesannya, menentramkan.
“Jadi… lo mau nggak jadi sahabat special gue?”lanjut Abigail kemudian.
“Cuma sahabat special?” aku mengangkat alisku, menggodanya.
“Emmm… maksudku lebih dari sahabat special sih. Errr… mau nggak lo jadi kekasih gue?,: jawabnya salah tingkah. Aku hanya tersenyum geli melihat kelakuannya. “Asal lo cariin gue pohon pengganti buat nulis nama lo sama gue disana.”
Abigail lantas tersenyum  begitu mendengar jawabanku. Dan tnpa ragu, mataku kembali bertatapan dngan matanya. Hati kami bertaut. Dan mendadak saja, sunyi. Hanya desau angin dan nafas kami saja yang terdengar. Dan tanpa disadari, wajah kami berdekatan.  Kedua bibir kami nyaris menempel, rasanya hamper saja aku merasakan ciuman pertamaku. Namun tiba- tiba….
“Hei! Kalian lagi ngapain sih disini? Upacara kelulusannya udah mau dimulai tuh?”.
Kami menoleh hampir  bersamaan. Dan disana, di depan pintu UKS yang lupa kami tutup, berdiri seorang gadis yang memandang kami de ngan tatapan s ebal.

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya, besar harapan penulis tolong tinggalkan jejak dalam kolom komentar, terimakasih....