Friday, 29 June 2012

My Past My Last


My Past My Last
By : Ardinansa
Epilog
Gandhi Natandra  memandang remeh dua lelaki yang tengah menatapnya dengan tatapan menggoda. Bukan karena dua lelaki itu buruk rupa, juga bukan karena Gandhi telah menjadi lelaki straight. Bukan! Hanya saja, dua lelaki tersebut tidak akan pernah bisa menggantikan posisi seorang pria yang sangat ia cintai, namun juga sangat ia benci. Pria yang telah melambungkan dirinya terbang ke langit tingkat tujuh dan kemudian membantingnya hingga sampai neraka paling dalam.Dan jelas Gandhi tidak ingin mengulangi peristiwa pahit itu. Tidak akan pernah! Oleh karena itu, Gandhi menghiraukan dua lelaki tersebut dan memilih berlalu begitu saja.
***

Aku melihat kakakku yang tengah memainkan permen lolypop dimulutnya.Aku tahu saat ini bukan situasi yang tepat untuk menikmati sebuah lolypop, apalagi situasi segenting ini sepertinya menunutut orang untuk berpikir lebih.
“kak, kita gak mungkin di sini selamanya! Kita butuh penginapan!”, kataku putus asa. Ibarat kata, aku lebih memilih untuk masuk kedalam lahar merapi daripada berada diposisi saat ini.Sangat tidak mengenakkan dan juga serba salah.kakakku dan aku tengah memimpin rombongan dari kampungku yang akan berpariwisata. Kami sudah berada di Jakarta.Dan sekarang, seharusnya aku sudah membawa rombonganku check in di hotel yang sudah kami booking jauh jauh hari. Namun apa coba? Tiba tiba pihak hotel membatalkannya secara sepihak.
“lutahu Hen? Keluarga Natandra sepertinya tahu kita disini. Mungkin justru mereka yang memblokir kita!”, aku mendengus kesal mendengar apa yang dikatakan oleh kakakku.
“jangan berprasangka buruk kak, gua gak yakin!”
“bisa saja! Mereka benci sama lu! Liat kan akibat dari perbuatan lu dulu sama Gandhi?”, aku menarik nafas panjang. Topic ini lagi, lagi lagi topic ini.Aku sudah tahu dan aku juga sangat mengerti jika keluarga Natandra membenciku. Namun, aku sudah melakukan apa yang mereka pinta. Kenapa sekarang mereka malah ingin berurusan kembali denganku?Tidak masuk akal, jika dilihat usaha gigih mereka dulu untuk memisahkan aku dengan Gandhi. Gandhi, aku menggelengkan kepalaku untuk mengusir nama itu dari benakku. Ini sudah empat tahun berlalu dan aku masih belum bisa melupakannya.
“hanya Gandhi yang bisa membantu kita”, aku mendongakkan kepalaku perlahan dan menatap mata kakakku tajam. Berusaha untuk mencari kepastian dengan apa yang barusan aku dengar.
“maksud lu?”
“mungkin dia bisa mengusahakan kamar untuk kita! Hotel hotel disini kebanyakan milik dia! Apa yang tidak bisa dia lakukan hah? Kaga mungkin kita di bus terus Hendra!”, see? Kalian sudah tahu namaku sekarang.
“temui dia sekarang, pasti dia masih di kantornya. Lu pasti udah hafal kan dimana Gandhi bekerja!”
“kita pasti mempunyai cara lain kak!!”, kini aku meraung putus asa. Aku tidak mungkin meminta pertolongan kepada Gandhi. Itu hanya akan membangkitkan luka lama. Lukaku dan juga luka Gandhi tentunya. Aku tidak mau!!
“terserah! Gara gara masa lalu lu kita di black list oleh keluarga Natandra! Jangan egois dan jangan hanya demi ego lu kita tidur di bus lagi malam ini!”, kata kakakku singkat lalu kemudian naik lagi kedalam bus. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Padahal dulu setahuku, hotel yang telah kami booking bukanlah milik keluarga Natandra.Empat tahun ternyata membuat banyak hal berubah.Aku memikirkan rombongan orang orang sekampungku yang berniat liburan ke Jakarta.Sekarang, mereka malah terlunta lunta.Memang mereka tidak mengeluh karena pariwisata ini tidak dipungut biaya.Tetapi, aku mendengar kekacauan didalam bus.Bayi menangis, suara ibu ibu yang tengah menenangkan anaknya. Cukup, aku akan ambil keputusan! Penginapan penginapan disini ternyata telah di bawah kekuasaan keluarga Natandrawalaupun mungkin tidak secara langsung. Aku kembali menghela nafas panjang, ya! Aku tahu apa yang harus aku lakukan! Kataku memotivasi diriku sendiri lalu berjalan menyeberang jalan.Menuju suatu tempat yang jelas sangat aku hapal.
Aku memandang ragu gedung megah di depanku.Apa aku sudah yakin? Apa tindakanku sudah benar? Atau malah terlihat sangat konyol? Tidak!, aku harus berjuang terlebih dahulu. Masa aku kalah sebelum berperang?Aku memantapkan hatiku sebelum aku masuk ke dalam gedung mewah ini. Aku berjalan menuju lobby dan menemui receptionist yang terlihat tengah menelpon seseorang. Aku menunggu hingga wanita cantik itu selesai menelpon.Wanita itu menatapku sejenak lalu mengakhiri pembicaraannya di telepon.Aku yakin, dia tadi tidak sedang mengobrol dalam urusan pekerjaan.
“ada yang bisa saya bantu pak?”, wanita cantik itu menyapaku ramah.
“saya ingin bertemu dengan Gandhi Natandra mbak, bisa?”
“sudah ada janji sebelumnya bapak?”, aku menggelengkan  kepalaku.
“belom mbak”, wanita itu kembali melempar sebuah senyuman untukku sebelum kembali berkutat dengan telepon di depannya.
“halo bapak Gandhi, ada tamu yang ingin bertemu dengan bapak”, terlihat wanita itu mengucapkan kata iya beberapa kali. Wanita itu menutup bagian bawah teleponnya.
“maaf bapak, boleh tahu nama anda?”
“Hendra. Mahendra Setya”, kataku lirih. Wanita itu menganggukan kepala padaku sebelum akhirnya kembali berbicara dengan orang yang ada di seberang sana dengan telepon. Receptionist cantik itu mengakhiri pembicaraan dan meletakkan teleponnya.
“mari pak, saya antar bapak ke ruangan bapak Gandhi”, wanita itu menuntunku. Agak berlebihan menurutku namun aku tidak terlalu memikirkannya. Aku melewati lorong lorong dan menaiki lift hingga lantai 3. Hatiku benar benar deg degan saat aku sudah berada di depan suatu pintu. Yang jelas aku tahu bahwa pintu ini adalah pintu yang akan mempertemukanku dengan Gandhi Natandra begitu pintu ini dibuka.
“saya tinggal dulu ya bapak”, aku menganggukan kepalaku dan receptionist yang tidak aku ketahui namanya itupun berlalu. Dengan hati yang masih berdebar debar dan keringat dingin yang mengucur di telapak tanganku, aku memberanikan mengetuk pintu.
“masuk”, lututku langsung lemas begitu mendengar suara baritone itu. Aku hapal suara itu, suara yang dulu selalu membisikkan kata kata mesra di telingaku.Dulu, sebelum prahara itu mengguncangku. Aku memutar handle pintu dan masuk dengan getir. Ya Tuhan, aku harus percaya diri! Jangan menunjukkan kelemahanku padanya!
“Mahendra Setya, what’s going on?”, kata kata itu di ucapkan dengan sangat dingin.
“aku perlu bantuanmu”, aku berkata tenang, lebih tepatnya berusaha tenang. Aku berjalan perlahan dan duduk di sofa yang ada di ruangan ini.Ruangan yang sangat mewah.Lebih mewah dari rumahku di kampung.Semua perabotan yang di pajang menampakkan selera orang yang begitu berkelas.Aku melihat penampilan Gandhi yang sekarang.Terlihat lebih kurus namun tetap menawan.Wajahnya kini dihiasi garis tawa di matanya.Tahun ini Gandhi berusia 30 tahun.Aku kembali menghembuskan nafasku perlahan.
“aku butuh penginapan Gan”, aku jelas mengucapkannya dengan sangat tenang.
“aku dengan rombonganku”, sambungku kemudian. Gandhi mengangkat sebelah alisnya lebih tinggi.Pandangannya terlihat sangat merendahkan.
“kenapa lu minta tolong ke gua?”, pertanyaan itu diajukan dengan santai. Aku sedikit dibuat gregetan, andai kamu tahu yang sebenarnya. Apakah kamu akan sedingin ini denganku?
“keluarga Natandra memblokir semua penginapan untuk kami. Kamu pasti tahu maksutku kan?”
“gua kaga mungkin menentang nyokap gua sendiri”
“kamu pasti bisa berbuat sesuatu!! Untukku!! Please?”, aku memohon sekarang. Aku tidak mungkin pulang dengan hasil sia sia.Dan tidak mungkin juga membawa rombongan pulang lagi tanpa belum sempat merasakan asyiknya Jakarta. Tidak!
“untungnya buat gua? Apa?”, mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Gandhi barusan membuat bibirku kelu. Apa yang bisa aku berikan? Uang? Jelas sekali Gandhi sudah tidak membutuhkan uang dari orang lain, apalagi dariku. Aku merasakan bulu kudukku meremang ketika aku rasakan Gandhi berjalan mendekatiku dan duduk disampingku.Tangannya dengan lembut membelai tengkukku.
“gua mau lu temenin gua semalaman sebagai gantinya? Deal?”, kata kata itu dibisikkan sangat dekat dengan telingaku. Bukan dengan nada mesra, namun dengan nada mengancam.Aku memutar otak.Jika Gandhi ingin aku menemaninya semalaman, itu tentunya bukan hanya sekedar ngobrol atau makan dan minum.Lebih dari itu, aku tahu dan aku takut.Aku sangat ingin mengulangi peristiwa dulu sebelum aku berpisah dengan Gandhi. Namun jelas sekarang akan sangat berbeda kondisi dan keadaannya.
“bagaimana? Kok diam?”, manis sekali kata katanya, namun aku tahu ada racun didalamnya. Aku menghela nafas, benar benar frustasi.Sepertinya hukum rimba juga berlaku untuk manusia.Yang kuat, dialah yang berkuasa.
“oke”, kataku akhirnya. Siap tidak siap, sepertinya aku harus bisa menanggung semua resiko yang akan aku alami beberapa waktu lagi.Gandhi lalu berdiri menjauh, dengan ponselnya dia menghubungin seseorang. Sedikit berdebat, namun kemudian dia membentak dan menutup sambungan teleponnya..
“rombongan lu bakal dapat penginapan hari ini, sekarang lu ikut gua”, aku benar benar memantapkan hatiku. Mungkin hari ini harga diriku akan di injak injak, namun  siapayang bakal peduli? Tidak ada kecuali diriku sendiri. Dan ini tidak akan mempengaruhi hidupku. Tidak akan.
Dengan mobilnya, Gandhi membawaku ke tempat kenangan itu.Apartment tempat kita dulu hidup bersama.Kenapa harus di tempat ini?Aku mau tidak mau dipaksa untuk mengingat memory saat saat kita berdua masih tinggal bersama.Gandhi bekerja, aku ingat itu, dia pernah dengan lantang melarangku untuk ikut meringankan bebannya dengan ikut bekerja.Saat saat dimana aku menunggunya pulang bekerja, memasak untuknya dan juga menyiapkan segala keperluannya di pagi hari.Ya Tuhan, saat saat itu.Saat terindah dalam hidupku, hingga peristiwa itu mengubah segalanya.Membuat aku harus kehilangan Gandhi, bukan hanya fisiknya namun juga hatinya.Aku mencintainya, sungguh.Hingga saat ini.Namun takdir sepertinya tidak merestui kami. Cinta terlarang, takdir pula yang akan memisahkan.
“kenapa lu bengong? Teringat sesuatu?”, pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Membuatku kembali fokus pada wajah tampan yang kini tengah melonggarkan dasinya.
“aku perlu menghubungi kakakku”, kataku sambil berdeham. Mencoba untuk kembali bersikap tenang.Gandhi hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai jawabannya.Aku menepi dan menuju balkon.Aku hapal di luar kepalaku seluruh ruangan dalam apartment ini. Dan ternyata, Gandhi sama sekali belum merubahnya. Aku segera mencari nomor handphone kakakku dan segera menghubunginya.Pada sambungan ketiga dia baru menjawabnya.
“terima kasih”, itu kata pertama yang keluar dari mulut kakakku begitu dia mengangkat teleponku.
“for what?”, sebenarnya aku sudah tahu dia berterima kasih untuk apa, namun aku hanya ingin sekedar memastikan.
“kita dapat penginapannya. Hotel berkelas, lu dimana sekarang?”
“di tempat Gandhi. Gua kaga pulang ke hotel hari ini”
“menginap di tempat Gandhi?!”, kakakku sedikit terkejut. Apakah ini diluar perhitungannya?Aneh, bukannya dia sendiri yang menyuruhku untuk menemui Gandhi?
“ya”
“lu harus hati hati Hen!! Dia berbahaya!!”, terlambat. Seharusnya, kakakku mengucapkannya tadi pagi.Aku merasakan tangan Gandhi tengah berkutat dengan ikat pinggangku dan dengan mulus, Gandhi berhasil melucuti ikat pinggang itu dariku.
“ya, gua ngerti apa yang gua lakuin. Sangat ngerti dan sadar sesadar sadarnya!”, jawabku agak ketus. Sekarang celana panjangku sudah diturunkan beserta celana dalamnya.Aku menghembuskan nafas perlahan, rupanya Gandhi tidak sabar untuk menunggu hingga nanti.
“gua kaga maksut buat . . .”, kakakku sepertinya tidak tega untuk mengucapkan kalimat selanjutnya.Sekarang Gandhi mengangkat kaki kananku kemudian melepas sepatu beserta kaos kakiku.
“menjual gua?! Gua ngerti kok”, kataku lebih ketus dari tadi.
“Hen, pahami situasi kita sekarang Hen!!Jangan benci gua”, aku mendengus sendiri.Kini sepatu di kaki kiriku pun sudah dilepas Gandhi.Lalu dengan mudahnya, Gandhi melepas celana panjang dan celana dalamku.Aku hanya pasrah.Gandhi berdiri lalu merebut ponselku.
“gua balikin adik lu besok pagi”, kata Gandhi singkat lalu menutup sambungan teleponku. Dan setelahnya dengan cepat meloloskan kaosku hingga aku telanjang bulat sekarang. Dan aku tidak bisa berbuat apa apa ketika Gandhi memanggulku lalu melemparkan aku ke atas ranjang. Ingin rasanya aku menangis, tapi toh sudah terlambat.
“apa yang lu lakuin setelah lari dari gua 4 tahun yang lalu hem?”, tanya Gandhi sambil melepas kemejanya. Aku meneguk air ludahku perlahan.Menemaninya semalaman, aku sudah mengerti artinya itu. Namun, menjalaninya ternyata lebih sulit dari apa yang ada dalam bayanganku.
“mencari laki laki lain untuk menghangatkan tubuh lu? Atau mencari janda kaya raya? Kenapa diam?”, kali ini Gandhi berkutat dengan ikat pinggang dan celananya panjangnya. Melepasnya dengan cara yang masih sangat aku ingat.
“atau lu sekarang menjajakan diri?”, pertanyaan itu terdengar sarkas, tetapi aku berusaha mengacuhkannya. Jalani ini dan aku akan bebas. Gandhi melepas satu satunya pakaian yang masih menempel di tubuhnya lalu berdiri tegak kembali.Aku tercekat.Memang, Gandhi lebih kurus sekarang, namun tampak lebih seksi. Dadanya semakin bidang dengan bahu lebar yang mungkin akan sangat nyaman untuk bersandar. Aku masih terpengaruh oleh pesonanya. Kelelakianku terusik di bawah sana. Mulai menggeliat bangun untuk meluapkan hasrat yang telah lama terpendam.Aku melihat Gandhi dengan kejantanannya yang sudah mengacung tegak.
“bisa langsung saja? Tanpa basa basi?”, kataku agak sedikit ketus. Aku ingin hal ini cepat berlalu.
“wow, lu suka main kasar sekarang? Gua kaga keberatan kok. Sungguh!!”, kata Gandhi sambil naik ke atas ranjang. Hatiku was was ketika dengan rasa lapar Gandhi memagut bibirku. Tangannya dengan liar menjamah seluruh tubuhku.Tanganku bergerak, dibawa oleh insting alam bawah sadarku aku mulai balas membelainya.Tetapi, belum sempat aku menyetuhnya tangan Gandhi sudah menangkap kedua tanganku dan meletakkannya di atas kedua kepalaku.
“gua yang bermain di atas sini”, deg!! Jantungku serasa ingin berhenti berdetak. Gandhi hanya ingin meraup kesenangan atas tubuhku tanpa membiarkan aku melakukan hal yang sama. Aku sadar sekarang posisiku.Aku pelacur dimata Gandhi.Hasrat yang sempat bergelora di awal tadi padam tanpa arti.Aku terangsang, ya aku terangsang.Hanya saja hatiku tidak ikut bermain. Semua terasa seperti neraka, walaupun fisikku merasakan hal lain. Begitu Gandhi memuntahkan lahar kenikmatannya, aku langsung berlari menuju kamar mandi.Sama sekali tidak menghiraukan kata kata penuh umpatan yang keluar dari bibir Gandhi.Aku menahan diriku sebisa mungkin untuk tidak menangis.Aku bukan lelaki cengeng, aku selalu di ajari untuk menjadi pemenang. Sekarang apa? Aku bagaikan pecundang.Setelah menggosok tubuhku sekeras mungkin, berusaha untuk menghilangkan tanda tanda yang telah diberikan Gandhi atas tubuhku.Dengan berbalutkan handuk aku keluar menuju balkon.Memunguti pakaianku dan memakainya kembali.Aku seperti tersentak begitu sadar jika Gandhi tengah mengamatiku.Dia duduk dengan sangat pongah menatapku, mengamati gerak gerikku.
“kenapa berhenti? Itu tadi pertunjukkan yang lumayan”, aku gregetan mendengar perkataan yang di ucapkan dengan nada merendahkan oleh Gandhi.Aku melangkah pasti menuju pintu keluar.Ini penghinaan.
“mau kemana lu? Lari dari tanggung jawab?!”
“gua udah melayani lu tadi”
“owh, sayangnya kesepakatan kita adalah semalaman sayang”, aku bersyukur Gandhi tidak dalam keadaan telanjang, celana boxer itu sedikit bisa membantuku untuk tidak kehilangan control.
“kesepakatan itu batal!!”, kataku lantang.
“lu pengen rombongan lu di tendang dari hotel hha?!”, aku melotot. Persetan dengan mereka.Persetan juga dengan kakakku.Apa coba yang telah mereka lakukan untukku sehingga aku dengan suka hati merelakan tubuhku begitu saja. Biarkan aku dibakar di neraka jahanam sekalian, aku tidak peduli!
“gua kaga peduli!!”, jawabku mulai kasar. Gandhi menarikku lalu menyudutkanku di dinding.
“lu lelaki jalang!! Sudah banyak hal yang gua korbanin buat lu!! Tapi lu tetap pergi!! Tanpa ada kata kata atau pesan. Lu bangsat!! Lu kaga tahu begitu terlukanya gua!! Tersiksa!! Gua yakin lu dengan gampang beralih dari satu lelaki ke lelaki lain. Jalang biadab!!”, aku dengan reflek memukul wajahnya.
“dan lu kaga tahu apa yang udah nyokap lu lakuin ke keluarga gua!! Bokap gua meninggal gara gara nyokap lu!! Lu pikir, gua harus milih siapa hah?! Bokap gua atau lu?! Pikir sendiri jawabannya!! Dan tanya nyokap lu baik baik, kenapa gua ninggalin lu!! Lu seharusnya tahu, nyokap lu itu iblis!!”, kataku sambil mendorong tubuhnya dan keluar dari apartment ini. Aku sudah tidak kuat untuk menangis, namun aku masih menahannya.Aku masih teringat peristiwa empat tahun lalu itu.Kakakku menghubungiku, memberitahuku bahwa ayah di pecat.Kehidupanku di Jakarta menjadi tidak tentu arah.Karena terlalu keras memikirkan kebutuhan keluarga, ayah jatuh sakit.Di saat itu Kartika, ibu Gandhi datang dengan pongah.Menawarkan solusi.Aku tahu semuanya, pemecatan ayahku, tabrak lari kakakku itu semua ulah dari Kartika.Apa yang di perbuat Gandhi waktu itu? Dia tidak percaya dengan ucapanku, dia menganggap bahwa aku hanya terlalu membenci ibunya.Kartika menawariku sebuah kesepakatan. Dia akan memberiku uang yang cukup untuk mengobati ayahku dan juga mungkin membuka sebuah usaha baru. Sebagai gantinya aku harus menjauhi anak semata wayangnya. Waktu itu jujur aku tidak berpikir dua kali, Gandhi jelas tidak mempercayaiku sama sekali. Memang didepan Gandhi, Kartika terlihat seperti merestui hubungan unik ini.Tapi dibelakang Gandhi? Dan Gandhi tidak pernah mempercayaiku sama sekali. Aku lebih dari tahu Gandhi sangat mencintaiku.Namun, kesehatan ayahku dan kebahagiaan keluargaku lebih penting.Kami memutuskan untuk pindah ke kampung ayahku begitu kondisi ayahku membaik. Di sana kami mulai usaha baru yaitu membuka toko sembako dan juga telor asin. Namun tidak lama kemudian kondisi ayah kembali memburuk dan tidak dapat ditolong lagi.Frustasi, merasa bersalah itu yang aku rasakan waktu itu, seandainya aku tidak pernah berjumpa dengan Gandhi Natandra. Seandainya!
Aku berjalan ke hotel tempat kakakku dan rombongannya menginap setelah mendapatkan alamatnya dari kakakku melalui sms.Wajah kakakku pucat saat menyambutku didepan pintu.
“mana barang barang gua?”, tanyaku sedikit kasar. Untuk saat ini aku tidak tahu bagaimana caranya agar sopan santun yang telah diajarkan oleh kedua orang tuaku dapat aku terapkan.Rasanya aku ingin melampiaskan amarahku, kekecewaanku dan semua rasa yang sekarang ini terasa bertumpuk didadaku.
“lu kaga di apa apain kan?”, kakakku benar benar khawatir. Aku tahu itu, dilihat dari tatapannya.Namun aku sedang enggan peduli. Buat apa, toh dia tidak merasakan apa yang aku rasakan.
“barang barang gua mana?”, aku menghiraukan pertanyaan kakakku.
“ada di dalam”, aku melangkah masuk. Mencari barang barangku lalu keluar kembali.
“hey, lu mau kemana?”
“pulang”, jawabku singkat tanpa menghiraukan panggilan kakakku lagi. Aku hanya ingin jauh dari tempat ini.Aku hanya ingin jauh dari Jakarta, seperti empat tahun lalu.
***

Entah sudah berapa kali ibuku menawari aku makan namun tidak aku gubris.Aku tidak selera makan.Mungkin atau jika keadaan bisa terulang, aku memilih untuk tidak ikut rombongan ke Jakarta. Namun aku bisa apa? Waktu tidak mungkin bisa terulang.
“Hendra, makan ya? Ibu sudah masak oseng oseng tempe kesukaan kamu. Makan ya nak?”, ini mungkin sudah ke lima kalinya ibu menawari aku makan.
“gak bu, Hendra belum laper”, dan ini juga jawaban yang sama yang keluar dari mulutku.
“tapi kamu belum makan dari tadi pagi Hen”, aku menghadap ibuku dan memberinya senyuman tipis.
“Hendra baik baik saja kok bu. Ibu belum buka toko?”, tanyaku perlahan.
“sudah kok Hen. Mang Ujang yang jaga. Kamu benar benar tidak mau makan nak?”, kembali aku menggeleng. Tiba tiba terdengar keributan di luar.Sepertinya dua orang yang sedang berdebat.
“ada apa ya nak di luar? Ibu lihat dulu ya Hen?”
“iya bu”, kataku sambil mengangguk. Tadi pagi ketika aku tiba, ibuku sama sekali tidak bertanya tanya kenapa aku pulang. Beliau cukup mengerti dengan masalahku.Aku menghembuskan nafas perlahan.Direndahkan oleh orang yang begitu kita cintai, itu terasa sangat menyakitkan.Sungguh.Dan aku masih belum bisa melupakan peristiwa sore itu.tega sekali Gandhi melakukannya. Sedalam itukah luka yang aku toreh?Aku terkejut bukan main ketika pintu kamarku dibuka agak sedikit kasar.
“ikut gua!!”, jelas aku tidak salah lihat. Itu Gandhi, bagaimana dia bisa ada disini? Aku masih belum bergeming karena terlalu terkejut.
“ikut gua!! Buruan!!”, kata Gandhi sambil menarik tanganku untuk bangun. Aku masih belum bereaksi.Apa apaan ini? Gandhi berbicara dengan ibuku sebentar lalu menyeretku ke mobilnya.Saat mobilnya sudah melaju baru aku sadar dan mulai bereaksi.
“turunin gua!!”
“kaga bakal!! Turutin kemauan gua atau kakak lu dalam bahaya”, aku diam. Sebenci bencinya aku dengan kakakku, aku tetap menyayanginya.Dia tidak pernah menganggapku aneh saat aku bercerita padanya bahwa aku bisek. Gandhi membawa mobilnya dengan cara membabi buta. Hanya dalam waktu 1 jam lebih sedikit kita sudah sampai di bandara Jogja. Tidak memakan waktu lebih dari satu jam pula, aku dan Gandhi sudah berada di dalam pesawat dan siap lepas landas.
“mau bawa gua kemana lu?”
“Jakarta. Ada banyak hal yang harus kita selesaikan!”, aku ingin mendebatnya namun aku urungkan niatku. Hanya akan terasa percuma. Setelah sampai di Jakarta, Gandhi memaksaku untuk makan.Ancamannya ada ada saja. Seperti kalau aku tidak makan, maka kakakku akan di sunat 2 kali. Aku tersenyum sendiri di dalam peristiwa aneh yang sedang terjadi ini.Gandhi seakan kembali menjadi Gandhi yang dulu, walaupun masih sedikit kasar.
“pakai itu!”, Gandhi melemparkan sebuah pakaian formal mahal. Celana, kemeja dan jas bahkan celana dalamnya.
“tidak usah heran, gua tahu betul ukuran lu”, tambahnya kemudian. Aku masih saja diam karena masih belum bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Namun aku tetap menurutinya, ancaman bahwa dia akan ‘mengerjai’ kakakku jelas jelas masih membuatku ngeri.
“sudah siap?”, kata Gandhi begitu dia masuk kamarku. Aku tengah merapikan pakaianku.
“lu terlihat ganteng dan gagah”, Gandhi berkata sambil mendekatiku. Menuntunku masuk kedalam mobilnya. Jujur, aku masih belum mengerti apa maunya. Namun aku turuti saja.Jika dari tadi aku dibuat terkejut, sekarang aku lebih terkejut lagi.Gandhi mengajakku pergi ke sebuah jamuan resmi.Tampak seperti itu.Dan ketika aku dan Gandhi turun dari mobil, semua mata tertuju pada kami.Gandhi dengan percaya diri menggandengku dan jujur aku sedikit dibuat risih olehnya.Lalu seketika darahku mendidih ketika aku melihat Kartika.Wanita jahanam itu.ingin rasanya aku mengunyahnya hidup hidup namun aku urungkan.
“Hendra, kemana saja kamu selama ini?”, manis sekali kata katanya. Tapi aku tahu betapa jalangya dia. Lebih dari tahu.
“selama ini dia pergi karena mempersiapkan pernikahan kita di Belanda. Bukan begitu sayang?”, aku tersengat listrik mendengar ucapan Gandhi. Apa yang dia inginkan? Wajah Kartika memucat, namun aku tidak bisa memperhatikan perubahan wajahnya lama lama karena Gandhi mengajakku ke atas podium.
“permisi bapak bapak dan ibu ibu hadirin sekalian, saya ingin mengganggu ketenangan anda anda sekalian sebentar”, ada beberapa hadirin yang tertawa. Aku bertambah kikuk karena semua mata sekarang tertuju pada kami.Aku memperhatikan wajah Kartika yang semakin pucat.
“dulu saya sangat bodoh karena membiarkan orang yang begitu saya cintai pergi begitu saja dari hidup saya hanya karena dia sama seperti saya. Sekarang, dia telah berdiri di samping saya.Dan saya ingin memintanya menikah dengan saya”, semua yang datang hanya melongo. Aku susah mendiskripsikan ekspresi mereka. Sekarang Gandhi berlutut di hadapanku dengan tetap memegang mikrophonenya.
“Mahendra Setya, maukah kamu menikah denganku?”, aku seperti tersengat listrik. Dia melamarku di depan orang banyak? Hanya pura pura kah?Atau?
“lu boleh nolak gua kok. Tapi tentang lamaran gua tadi gua serius.Serius banget, dan hanya dengan ini gua bisa nebus kesalahan gua. Gua tahu kok, bokap lu kaga bakal hidup lagi, tapi seenggaknya gua bisa menebus kesalahan gua. Lu boleh nolak gua, dengan begitu lu bisa mempermalukan keluarga Natandra di depan banyak orang”, kata kata itu dibisikkan tanpa microphone, jadi hanya aku saja yang mendengarnya. Aku tidak bisa berbuat apa apa, sebenarnya hanya dengan melamarku disini saja, di depan banyak orang ini dia sudah mempermalukan dirinya sendiri. Melamar laki laki? Semua orang pasti akan mencemoohnya nanti. Apa yang ada di pikiran Gandhi?
“terima!!”, awalnya aku hanya mendengar satu suara namun kemudian suara itu seperti menular ke yang lainnya.
“terima!! Terima!! Terima!!”, sekarang hampir semua mengatakannya. Walaupun ada sekelompok kecil orang yang mengkernyit jijik.
“ya, aku mau Gan”, kataku mantap. Aku tidak ingin dia mempermalukan dirinya sendirian.Lalu terdengar tepukan tangan yang meriah.Bahkan ada beberapa yang bersiul.
***

Epilog
“aku bahagia Hen, bener bener bahagia”, kata Gandhi sambil memelukku. Kami sekarang hidup berdua di Belanda.Awalnya aku tidak setuju, aku takut dengan kondisi ibuku. Siapa yang akan merawatnya kelak? Namun kakakku kemudian berjanji akan merawat ibu dengan sepenuh hati. Bahkan dia sudah bersiap akan menikahi gadis yang sudah dilamarnya.Kartika? Dia tidak bisa berbuat apa apa, semua aset perusahaan sudah diwariskan untuk Gandhi. Lalu, jika kalian bertanya siapa yang mengurus semua perusahaan Gandhi di Jakarta?Ya, hal yang tidak terduga bahwa Gandhi mempercayakan perusahaanya untuk kakakku.
“aku juga”, kataku sambil balas memeluknya. Inikah buah dari penderitaan empat tahun terakhir dalam hidupku? Kalau iya, aku sama sekali tidak menyesalinya.
Ayah, maafkan anakmu.Tapi aku bahagia ayah.Sangat bahagia, kataku dalam hati. Berharap ayahku di surga sana mendengarku dan memaafkanku.


Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya, besar harapan penulis tolong tinggalkan jejak dalam kolom komentar, terimakasih....