My
Past My Last
By
: Ardinansa
Epilog
Gandhi
Natandra memandang remeh dua lelaki yang
tengah menatapnya dengan tatapan menggoda. Bukan karena dua lelaki itu buruk
rupa, juga bukan karena Gandhi telah menjadi lelaki straight. Bukan! Hanya
saja, dua lelaki tersebut tidak akan pernah bisa menggantikan posisi seorang
pria yang sangat ia cintai, namun juga sangat ia benci. Pria yang telah
melambungkan dirinya terbang ke langit tingkat tujuh dan kemudian membantingnya
hingga sampai neraka paling dalam.Dan jelas Gandhi tidak ingin mengulangi
peristiwa pahit itu. Tidak akan pernah! Oleh karena itu, Gandhi menghiraukan
dua lelaki tersebut dan memilih berlalu begitu saja.
***
Aku
melihat kakakku yang tengah memainkan permen lolypop dimulutnya.Aku tahu saat
ini bukan situasi yang tepat untuk menikmati sebuah lolypop, apalagi situasi
segenting ini sepertinya menunutut orang untuk berpikir lebih.
“kak,
kita gak mungkin di sini selamanya! Kita butuh penginapan!”, kataku putus asa.
Ibarat kata, aku lebih memilih untuk masuk kedalam lahar merapi daripada berada
diposisi saat ini.Sangat tidak mengenakkan dan juga serba salah.kakakku dan aku
tengah memimpin rombongan dari kampungku yang akan berpariwisata. Kami sudah
berada di Jakarta.Dan sekarang, seharusnya aku sudah membawa rombonganku check
in di hotel yang sudah kami booking jauh jauh hari. Namun apa coba? Tiba tiba
pihak hotel membatalkannya secara sepihak.
“lutahu
Hen? Keluarga Natandra sepertinya tahu kita disini. Mungkin justru mereka yang
memblokir kita!”, aku mendengus kesal mendengar apa yang dikatakan oleh kakakku.
“jangan
berprasangka buruk kak, gua gak yakin!”
“bisa
saja! Mereka benci sama lu! Liat kan akibat dari perbuatan lu dulu sama Gandhi?”,
aku menarik nafas panjang. Topic ini lagi, lagi lagi topic ini.Aku sudah tahu
dan aku juga sangat mengerti jika keluarga Natandra membenciku. Namun, aku
sudah melakukan apa yang mereka pinta. Kenapa sekarang mereka malah ingin
berurusan kembali denganku?Tidak masuk akal, jika dilihat usaha gigih mereka
dulu untuk memisahkan aku dengan Gandhi. Gandhi, aku menggelengkan kepalaku
untuk mengusir nama itu dari benakku. Ini sudah empat tahun berlalu dan aku
masih belum bisa melupakannya.
“hanya
Gandhi yang bisa membantu kita”, aku mendongakkan kepalaku perlahan dan menatap
mata kakakku tajam. Berusaha untuk mencari kepastian dengan apa yang barusan
aku dengar.
“maksud
lu?”
“mungkin
dia bisa mengusahakan kamar untuk kita! Hotel hotel disini kebanyakan milik
dia! Apa yang tidak bisa dia lakukan hah? Kaga mungkin kita di bus terus
Hendra!”, see? Kalian sudah tahu namaku sekarang.
“temui
dia sekarang, pasti dia masih di kantornya. Lu pasti udah hafal kan dimana
Gandhi bekerja!”
“kita
pasti mempunyai cara lain kak!!”, kini aku meraung putus asa. Aku tidak mungkin
meminta pertolongan kepada Gandhi. Itu hanya akan membangkitkan luka lama.
Lukaku dan juga luka Gandhi tentunya. Aku tidak mau!!
“terserah!
Gara gara masa lalu lu kita di black list oleh keluarga Natandra! Jangan egois
dan jangan hanya demi ego lu kita tidur di bus lagi malam ini!”, kata kakakku
singkat lalu kemudian naik lagi kedalam bus. Ya Tuhan, apa yang harus aku
lakukan? Padahal dulu setahuku, hotel yang telah kami booking bukanlah milik
keluarga Natandra.Empat tahun ternyata membuat banyak hal berubah.Aku
memikirkan rombongan orang orang sekampungku yang berniat liburan ke
Jakarta.Sekarang, mereka malah terlunta lunta.Memang mereka tidak mengeluh
karena pariwisata ini tidak dipungut biaya.Tetapi, aku mendengar kekacauan
didalam bus.Bayi menangis, suara ibu ibu yang tengah menenangkan anaknya.
Cukup, aku akan ambil keputusan! Penginapan penginapan disini ternyata telah di
bawah kekuasaan keluarga Natandrawalaupun mungkin tidak secara langsung. Aku
kembali menghela nafas panjang, ya! Aku tahu apa yang harus aku lakukan! Kataku
memotivasi diriku sendiri lalu berjalan menyeberang jalan.Menuju suatu tempat
yang jelas sangat aku hapal.
Aku
memandang ragu gedung megah di depanku.Apa aku sudah yakin? Apa tindakanku
sudah benar? Atau malah terlihat sangat konyol? Tidak!, aku harus berjuang
terlebih dahulu. Masa aku kalah sebelum berperang?Aku memantapkan hatiku
sebelum aku masuk ke dalam gedung mewah ini. Aku berjalan menuju lobby dan
menemui receptionist yang terlihat tengah menelpon seseorang. Aku menunggu
hingga wanita cantik itu selesai menelpon.Wanita itu menatapku sejenak lalu
mengakhiri pembicaraannya di telepon.Aku yakin, dia tadi tidak sedang mengobrol
dalam urusan pekerjaan.
“ada
yang bisa saya bantu pak?”, wanita cantik itu menyapaku ramah.
“saya
ingin bertemu dengan Gandhi Natandra mbak, bisa?”
“sudah
ada janji sebelumnya bapak?”, aku menggelengkan
kepalaku.
“belom
mbak”, wanita itu kembali melempar sebuah senyuman untukku sebelum kembali
berkutat dengan telepon di depannya.
“halo
bapak Gandhi, ada tamu yang ingin bertemu dengan bapak”, terlihat wanita itu mengucapkan
kata iya beberapa kali. Wanita itu menutup bagian bawah teleponnya.
“maaf
bapak, boleh tahu nama anda?”
“Hendra.
Mahendra Setya”, kataku lirih. Wanita itu menganggukan kepala padaku sebelum
akhirnya kembali berbicara dengan orang yang ada di seberang sana dengan
telepon. Receptionist cantik itu mengakhiri pembicaraan dan meletakkan
teleponnya.
“mari
pak, saya antar bapak ke ruangan bapak Gandhi”, wanita itu menuntunku. Agak
berlebihan menurutku namun aku tidak terlalu memikirkannya. Aku melewati lorong
lorong dan menaiki lift hingga lantai 3. Hatiku benar benar deg degan saat aku
sudah berada di depan suatu pintu. Yang jelas aku tahu bahwa pintu ini adalah
pintu yang akan mempertemukanku dengan Gandhi Natandra begitu pintu ini dibuka.
“saya
tinggal dulu ya bapak”, aku menganggukan kepalaku dan receptionist yang tidak
aku ketahui namanya itupun berlalu. Dengan hati yang masih berdebar debar dan
keringat dingin yang mengucur di telapak tanganku, aku memberanikan mengetuk
pintu.
“masuk”,
lututku langsung lemas begitu mendengar suara baritone itu. Aku hapal suara
itu, suara yang dulu selalu membisikkan kata kata mesra di telingaku.Dulu,
sebelum prahara itu mengguncangku. Aku memutar handle pintu dan masuk dengan
getir. Ya Tuhan, aku harus percaya diri! Jangan menunjukkan kelemahanku
padanya!
“Mahendra
Setya, what’s going on?”, kata kata itu di ucapkan dengan sangat dingin.
“aku
perlu bantuanmu”, aku berkata tenang, lebih tepatnya berusaha tenang. Aku
berjalan perlahan dan duduk di sofa yang ada di ruangan ini.Ruangan yang sangat
mewah.Lebih mewah dari rumahku di kampung.Semua perabotan yang di pajang
menampakkan selera orang yang begitu berkelas.Aku melihat penampilan Gandhi
yang sekarang.Terlihat lebih kurus namun tetap menawan.Wajahnya kini dihiasi
garis tawa di matanya.Tahun ini Gandhi berusia 30 tahun.Aku kembali
menghembuskan nafasku perlahan.
“aku
butuh penginapan Gan”, aku jelas mengucapkannya dengan sangat tenang.
“aku
dengan rombonganku”, sambungku kemudian. Gandhi mengangkat sebelah alisnya
lebih tinggi.Pandangannya terlihat sangat merendahkan.
“kenapa
lu minta tolong ke gua?”, pertanyaan itu diajukan dengan santai. Aku sedikit
dibuat gregetan, andai kamu tahu yang sebenarnya. Apakah kamu akan sedingin ini
denganku?
“keluarga
Natandra memblokir semua penginapan untuk kami. Kamu pasti tahu maksutku kan?”
“gua
kaga mungkin menentang nyokap gua sendiri”
“kamu
pasti bisa berbuat sesuatu!! Untukku!! Please?”, aku memohon sekarang. Aku
tidak mungkin pulang dengan hasil sia sia.Dan tidak mungkin juga membawa
rombongan pulang lagi tanpa belum sempat merasakan asyiknya Jakarta. Tidak!
“untungnya
buat gua? Apa?”, mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Gandhi barusan
membuat bibirku kelu. Apa yang bisa aku berikan? Uang? Jelas sekali Gandhi
sudah tidak membutuhkan uang dari orang lain, apalagi dariku. Aku merasakan
bulu kudukku meremang ketika aku rasakan Gandhi berjalan mendekatiku dan duduk
disampingku.Tangannya dengan lembut membelai tengkukku.
“gua
mau lu temenin gua semalaman sebagai gantinya? Deal?”, kata kata itu dibisikkan
sangat dekat dengan telingaku. Bukan dengan nada mesra, namun dengan nada
mengancam.Aku memutar otak.Jika Gandhi ingin aku menemaninya semalaman, itu
tentunya bukan hanya sekedar ngobrol atau makan dan minum.Lebih dari itu, aku
tahu dan aku takut.Aku sangat ingin mengulangi peristiwa dulu sebelum aku
berpisah dengan Gandhi. Namun jelas sekarang akan sangat berbeda kondisi dan
keadaannya.
“bagaimana?
Kok diam?”, manis sekali kata katanya, namun aku tahu ada racun didalamnya. Aku
menghela nafas, benar benar frustasi.Sepertinya hukum rimba juga berlaku untuk
manusia.Yang kuat, dialah yang berkuasa.
“oke”,
kataku akhirnya. Siap tidak siap, sepertinya aku harus bisa menanggung semua
resiko yang akan aku alami beberapa waktu lagi.Gandhi lalu berdiri menjauh,
dengan ponselnya dia menghubungin seseorang. Sedikit berdebat, namun kemudian
dia membentak dan menutup sambungan teleponnya..
“rombongan
lu bakal dapat penginapan hari ini, sekarang lu ikut gua”, aku benar benar
memantapkan hatiku. Mungkin hari ini harga diriku akan di injak injak,
namun siapayang bakal peduli? Tidak ada
kecuali diriku sendiri. Dan ini tidak akan mempengaruhi hidupku. Tidak akan.
Dengan
mobilnya, Gandhi membawaku ke tempat kenangan itu.Apartment tempat kita dulu
hidup bersama.Kenapa harus di tempat ini?Aku mau tidak mau dipaksa untuk
mengingat memory saat saat kita berdua masih tinggal bersama.Gandhi bekerja,
aku ingat itu, dia pernah dengan lantang melarangku untuk ikut meringankan
bebannya dengan ikut bekerja.Saat saat dimana aku menunggunya pulang bekerja,
memasak untuknya dan juga menyiapkan segala keperluannya di pagi hari.Ya Tuhan,
saat saat itu.Saat terindah dalam hidupku, hingga peristiwa itu mengubah
segalanya.Membuat aku harus kehilangan Gandhi, bukan hanya fisiknya namun juga
hatinya.Aku mencintainya, sungguh.Hingga saat ini.Namun takdir sepertinya tidak
merestui kami. Cinta terlarang, takdir pula yang akan memisahkan.
“kenapa
lu bengong? Teringat sesuatu?”, pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Membuatku
kembali fokus pada wajah tampan yang kini tengah melonggarkan dasinya.
“aku
perlu menghubungi kakakku”, kataku sambil berdeham. Mencoba untuk kembali
bersikap tenang.Gandhi hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai jawabannya.Aku
menepi dan menuju balkon.Aku hapal di luar kepalaku seluruh ruangan dalam
apartment ini. Dan ternyata, Gandhi sama sekali belum merubahnya. Aku segera
mencari nomor handphone kakakku dan segera menghubunginya.Pada sambungan ketiga
dia baru menjawabnya.
“terima
kasih”, itu kata pertama yang keluar dari mulut kakakku begitu dia mengangkat
teleponku.
“for
what?”, sebenarnya aku sudah tahu dia berterima kasih untuk apa, namun aku
hanya ingin sekedar memastikan.
“kita
dapat penginapannya. Hotel berkelas, lu dimana sekarang?”
“di
tempat Gandhi. Gua kaga pulang ke hotel hari ini”
“menginap
di tempat Gandhi?!”, kakakku sedikit terkejut. Apakah ini diluar
perhitungannya?Aneh, bukannya dia sendiri yang menyuruhku untuk menemui Gandhi?
“ya”
“lu
harus hati hati Hen!! Dia berbahaya!!”, terlambat. Seharusnya, kakakku
mengucapkannya tadi pagi.Aku merasakan tangan Gandhi tengah berkutat dengan
ikat pinggangku dan dengan mulus, Gandhi berhasil melucuti ikat pinggang itu
dariku.
“ya,
gua ngerti apa yang gua lakuin. Sangat ngerti dan sadar sesadar sadarnya!”,
jawabku agak ketus. Sekarang celana panjangku sudah diturunkan beserta celana
dalamnya.Aku menghembuskan nafas perlahan, rupanya Gandhi tidak sabar untuk
menunggu hingga nanti.
“gua
kaga maksut buat . . .”, kakakku sepertinya tidak tega untuk mengucapkan
kalimat selanjutnya.Sekarang Gandhi mengangkat kaki kananku kemudian melepas
sepatu beserta kaos kakiku.
“menjual
gua?! Gua ngerti kok”, kataku lebih ketus dari tadi.
“Hen,
pahami situasi kita sekarang Hen!!Jangan benci gua”, aku mendengus sendiri.Kini
sepatu di kaki kiriku pun sudah dilepas Gandhi.Lalu dengan mudahnya, Gandhi
melepas celana panjang dan celana dalamku.Aku hanya pasrah.Gandhi berdiri lalu
merebut ponselku.
“gua
balikin adik lu besok pagi”, kata Gandhi singkat lalu menutup sambungan
teleponku. Dan setelahnya dengan cepat meloloskan kaosku hingga aku telanjang
bulat sekarang. Dan aku tidak bisa berbuat apa apa ketika Gandhi memanggulku
lalu melemparkan aku ke atas ranjang. Ingin rasanya aku menangis, tapi toh
sudah terlambat.
“apa
yang lu lakuin setelah lari dari gua 4 tahun yang lalu hem?”, tanya Gandhi
sambil melepas kemejanya. Aku meneguk air ludahku perlahan.Menemaninya
semalaman, aku sudah mengerti artinya itu. Namun, menjalaninya ternyata lebih
sulit dari apa yang ada dalam bayanganku.
“mencari
laki laki lain untuk menghangatkan tubuh lu? Atau mencari janda kaya raya?
Kenapa diam?”, kali ini Gandhi berkutat dengan ikat pinggang dan celananya
panjangnya. Melepasnya dengan cara yang masih sangat aku ingat.
“atau
lu sekarang menjajakan diri?”, pertanyaan itu terdengar sarkas, tetapi aku
berusaha mengacuhkannya. Jalani ini dan aku akan bebas. Gandhi melepas satu
satunya pakaian yang masih menempel di tubuhnya lalu berdiri tegak kembali.Aku
tercekat.Memang, Gandhi lebih kurus sekarang, namun tampak lebih seksi. Dadanya
semakin bidang dengan bahu lebar yang mungkin akan sangat nyaman untuk
bersandar. Aku masih terpengaruh oleh pesonanya. Kelelakianku terusik di bawah
sana. Mulai menggeliat bangun untuk meluapkan hasrat yang telah lama
terpendam.Aku melihat Gandhi dengan kejantanannya yang sudah mengacung tegak.
“bisa
langsung saja? Tanpa basa basi?”, kataku agak sedikit ketus. Aku ingin hal ini
cepat berlalu.
“wow,
lu suka main kasar sekarang? Gua kaga keberatan kok. Sungguh!!”, kata Gandhi
sambil naik ke atas ranjang. Hatiku was was ketika dengan rasa lapar Gandhi
memagut bibirku. Tangannya dengan liar menjamah seluruh tubuhku.Tanganku
bergerak, dibawa oleh insting alam bawah sadarku aku mulai balas
membelainya.Tetapi, belum sempat aku menyetuhnya tangan Gandhi sudah menangkap
kedua tanganku dan meletakkannya di atas kedua kepalaku.
“gua
yang bermain di atas sini”, deg!! Jantungku serasa ingin berhenti berdetak.
Gandhi hanya ingin meraup kesenangan atas tubuhku tanpa membiarkan aku
melakukan hal yang sama. Aku sadar sekarang posisiku.Aku pelacur dimata
Gandhi.Hasrat yang sempat bergelora di awal tadi padam tanpa arti.Aku terangsang,
ya aku terangsang.Hanya saja hatiku tidak ikut bermain. Semua terasa seperti
neraka, walaupun fisikku merasakan hal lain. Begitu Gandhi memuntahkan lahar
kenikmatannya, aku langsung berlari menuju kamar mandi.Sama sekali tidak
menghiraukan kata kata penuh umpatan yang keluar dari bibir Gandhi.Aku menahan
diriku sebisa mungkin untuk tidak menangis.Aku bukan lelaki cengeng, aku selalu
di ajari untuk menjadi pemenang. Sekarang apa? Aku bagaikan pecundang.Setelah
menggosok tubuhku sekeras mungkin, berusaha untuk menghilangkan tanda tanda
yang telah diberikan Gandhi atas tubuhku.Dengan berbalutkan handuk aku keluar
menuju balkon.Memunguti pakaianku dan memakainya kembali.Aku seperti tersentak
begitu sadar jika Gandhi tengah mengamatiku.Dia duduk dengan sangat pongah
menatapku, mengamati gerak gerikku.
“kenapa
berhenti? Itu tadi pertunjukkan yang lumayan”, aku gregetan mendengar perkataan
yang di ucapkan dengan nada merendahkan oleh Gandhi.Aku melangkah pasti menuju
pintu keluar.Ini penghinaan.
“mau
kemana lu? Lari dari tanggung jawab?!”
“gua
udah melayani lu tadi”
“owh,
sayangnya kesepakatan kita adalah semalaman sayang”, aku bersyukur Gandhi tidak
dalam keadaan telanjang, celana boxer itu sedikit bisa membantuku untuk tidak
kehilangan control.
“kesepakatan
itu batal!!”, kataku lantang.
“lu
pengen rombongan lu di tendang dari hotel hha?!”, aku melotot. Persetan dengan
mereka.Persetan juga dengan kakakku.Apa coba yang telah mereka lakukan untukku
sehingga aku dengan suka hati merelakan tubuhku begitu saja. Biarkan aku
dibakar di neraka jahanam sekalian, aku tidak peduli!
“gua
kaga peduli!!”, jawabku mulai kasar. Gandhi menarikku lalu menyudutkanku di
dinding.
“lu
lelaki jalang!! Sudah banyak hal yang gua korbanin buat lu!! Tapi lu tetap
pergi!! Tanpa ada kata kata atau pesan. Lu bangsat!! Lu kaga tahu begitu
terlukanya gua!! Tersiksa!! Gua yakin lu dengan gampang beralih dari satu
lelaki ke lelaki lain. Jalang biadab!!”, aku dengan reflek memukul wajahnya.
“dan
lu kaga tahu apa yang udah nyokap lu lakuin ke keluarga gua!! Bokap gua
meninggal gara gara nyokap lu!! Lu pikir, gua harus milih siapa hah?! Bokap gua
atau lu?! Pikir sendiri jawabannya!! Dan tanya nyokap lu baik baik, kenapa gua
ninggalin lu!! Lu seharusnya tahu, nyokap lu itu iblis!!”, kataku sambil mendorong
tubuhnya dan keluar dari apartment ini. Aku sudah tidak kuat untuk menangis,
namun aku masih menahannya.Aku masih teringat peristiwa empat tahun lalu
itu.Kakakku menghubungiku, memberitahuku bahwa ayah di pecat.Kehidupanku di
Jakarta menjadi tidak tentu arah.Karena terlalu keras memikirkan kebutuhan
keluarga, ayah jatuh sakit.Di saat itu Kartika, ibu Gandhi datang dengan
pongah.Menawarkan solusi.Aku tahu semuanya, pemecatan ayahku, tabrak lari
kakakku itu semua ulah dari Kartika.Apa yang di perbuat Gandhi waktu itu? Dia
tidak percaya dengan ucapanku, dia menganggap bahwa aku hanya terlalu membenci
ibunya.Kartika menawariku sebuah kesepakatan. Dia akan memberiku uang yang
cukup untuk mengobati ayahku dan juga mungkin membuka sebuah usaha baru.
Sebagai gantinya aku harus menjauhi anak semata wayangnya. Waktu itu jujur aku
tidak berpikir dua kali, Gandhi jelas tidak mempercayaiku sama sekali. Memang
didepan Gandhi, Kartika terlihat seperti merestui hubungan unik ini.Tapi
dibelakang Gandhi? Dan Gandhi tidak pernah mempercayaiku sama sekali. Aku lebih
dari tahu Gandhi sangat mencintaiku.Namun, kesehatan ayahku dan kebahagiaan
keluargaku lebih penting.Kami memutuskan untuk pindah ke kampung ayahku begitu
kondisi ayahku membaik. Di sana kami mulai usaha baru yaitu membuka toko
sembako dan juga telor asin. Namun tidak lama kemudian kondisi ayah kembali
memburuk dan tidak dapat ditolong lagi.Frustasi, merasa bersalah itu yang aku
rasakan waktu itu, seandainya aku tidak pernah berjumpa dengan Gandhi Natandra.
Seandainya!
Aku
berjalan ke hotel tempat kakakku dan rombongannya menginap setelah mendapatkan
alamatnya dari kakakku melalui sms.Wajah kakakku pucat saat menyambutku didepan
pintu.
“mana
barang barang gua?”, tanyaku sedikit kasar. Untuk saat ini aku tidak tahu
bagaimana caranya agar sopan santun yang telah diajarkan oleh kedua orang tuaku
dapat aku terapkan.Rasanya aku ingin melampiaskan amarahku, kekecewaanku dan
semua rasa yang sekarang ini terasa bertumpuk didadaku.
“lu
kaga di apa apain kan?”, kakakku benar benar khawatir. Aku tahu itu, dilihat
dari tatapannya.Namun aku sedang enggan peduli. Buat apa, toh dia tidak
merasakan apa yang aku rasakan.
“barang
barang gua mana?”, aku menghiraukan pertanyaan kakakku.
“ada
di dalam”, aku melangkah masuk. Mencari barang barangku lalu keluar kembali.
“hey,
lu mau kemana?”
“pulang”,
jawabku singkat tanpa menghiraukan panggilan kakakku lagi. Aku hanya ingin jauh
dari tempat ini.Aku hanya ingin jauh dari Jakarta, seperti empat tahun lalu.
***
Entah
sudah berapa kali ibuku menawari aku makan namun tidak aku gubris.Aku tidak
selera makan.Mungkin atau jika keadaan bisa terulang, aku memilih untuk tidak
ikut rombongan ke Jakarta. Namun aku bisa apa? Waktu tidak mungkin bisa
terulang.
“Hendra,
makan ya? Ibu sudah masak oseng oseng tempe kesukaan kamu. Makan ya nak?”, ini
mungkin sudah ke lima kalinya ibu menawari aku makan.
“gak
bu, Hendra belum laper”, dan ini juga jawaban yang sama yang keluar dari
mulutku.
“tapi
kamu belum makan dari tadi pagi Hen”, aku menghadap ibuku dan memberinya
senyuman tipis.
“Hendra
baik baik saja kok bu. Ibu belum buka toko?”, tanyaku perlahan.
“sudah
kok Hen. Mang Ujang yang jaga. Kamu benar benar tidak mau makan nak?”, kembali
aku menggeleng. Tiba tiba terdengar keributan di luar.Sepertinya dua orang yang
sedang berdebat.
“ada
apa ya nak di luar? Ibu lihat dulu ya Hen?”
“iya
bu”, kataku sambil mengangguk. Tadi pagi ketika aku tiba, ibuku sama sekali
tidak bertanya tanya kenapa aku pulang. Beliau cukup mengerti dengan
masalahku.Aku menghembuskan nafas perlahan.Direndahkan oleh orang yang begitu
kita cintai, itu terasa sangat menyakitkan.Sungguh.Dan aku masih belum bisa
melupakan peristiwa sore itu.tega sekali Gandhi melakukannya. Sedalam itukah
luka yang aku toreh?Aku terkejut bukan main ketika pintu kamarku dibuka agak
sedikit kasar.
“ikut
gua!!”, jelas aku tidak salah lihat. Itu Gandhi, bagaimana dia bisa ada disini?
Aku masih belum bergeming karena terlalu terkejut.
“ikut
gua!! Buruan!!”, kata Gandhi sambil menarik tanganku untuk bangun. Aku masih belum
bereaksi.Apa apaan ini? Gandhi berbicara dengan ibuku sebentar lalu menyeretku
ke mobilnya.Saat mobilnya sudah melaju baru aku sadar dan mulai bereaksi.
“turunin
gua!!”
“kaga
bakal!! Turutin kemauan gua atau kakak lu dalam bahaya”, aku diam. Sebenci bencinya
aku dengan kakakku, aku tetap menyayanginya.Dia tidak pernah menganggapku aneh
saat aku bercerita padanya bahwa aku bisek. Gandhi membawa mobilnya dengan cara
membabi buta. Hanya dalam waktu 1 jam lebih sedikit kita sudah sampai di
bandara Jogja. Tidak memakan waktu lebih dari satu jam pula, aku dan Gandhi
sudah berada di dalam pesawat dan siap lepas landas.
“mau
bawa gua kemana lu?”
“Jakarta.
Ada banyak hal yang harus kita selesaikan!”, aku ingin mendebatnya namun aku
urungkan niatku. Hanya akan terasa percuma. Setelah sampai di Jakarta, Gandhi
memaksaku untuk makan.Ancamannya ada ada saja. Seperti kalau aku tidak makan,
maka kakakku akan di sunat 2 kali. Aku tersenyum sendiri di dalam peristiwa
aneh yang sedang terjadi ini.Gandhi seakan kembali menjadi Gandhi yang dulu,
walaupun masih sedikit kasar.
“pakai
itu!”, Gandhi melemparkan sebuah pakaian formal mahal. Celana, kemeja dan jas
bahkan celana dalamnya.
“tidak
usah heran, gua tahu betul ukuran lu”, tambahnya kemudian. Aku masih saja diam
karena masih belum bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Namun aku tetap
menurutinya, ancaman bahwa dia akan ‘mengerjai’ kakakku jelas jelas masih
membuatku ngeri.
“sudah
siap?”, kata Gandhi begitu dia masuk kamarku. Aku tengah merapikan pakaianku.
“lu
terlihat ganteng dan gagah”, Gandhi berkata sambil mendekatiku. Menuntunku
masuk kedalam mobilnya. Jujur, aku masih belum mengerti apa maunya. Namun aku
turuti saja.Jika dari tadi aku dibuat terkejut, sekarang aku lebih terkejut
lagi.Gandhi mengajakku pergi ke sebuah jamuan resmi.Tampak seperti itu.Dan
ketika aku dan Gandhi turun dari mobil, semua mata tertuju pada kami.Gandhi
dengan percaya diri menggandengku dan jujur aku sedikit dibuat risih
olehnya.Lalu seketika darahku mendidih ketika aku melihat Kartika.Wanita
jahanam itu.ingin rasanya aku mengunyahnya hidup hidup namun aku urungkan.
“Hendra,
kemana saja kamu selama ini?”, manis sekali kata katanya. Tapi aku tahu betapa
jalangya dia. Lebih dari tahu.
“selama
ini dia pergi karena mempersiapkan pernikahan kita di Belanda. Bukan begitu
sayang?”, aku tersengat listrik mendengar ucapan Gandhi. Apa yang dia inginkan?
Wajah Kartika memucat, namun aku tidak bisa memperhatikan perubahan wajahnya
lama lama karena Gandhi mengajakku ke atas podium.
“permisi
bapak bapak dan ibu ibu hadirin sekalian, saya ingin mengganggu ketenangan anda
anda sekalian sebentar”, ada beberapa hadirin yang tertawa. Aku bertambah kikuk
karena semua mata sekarang tertuju pada kami.Aku memperhatikan wajah Kartika
yang semakin pucat.
“dulu
saya sangat bodoh karena membiarkan orang yang begitu saya cintai pergi begitu
saja dari hidup saya hanya karena dia sama seperti saya. Sekarang, dia telah
berdiri di samping saya.Dan saya ingin memintanya menikah dengan saya”, semua
yang datang hanya melongo. Aku susah mendiskripsikan ekspresi mereka. Sekarang
Gandhi berlutut di hadapanku dengan tetap memegang mikrophonenya.
“Mahendra
Setya, maukah kamu menikah denganku?”, aku seperti tersengat listrik. Dia
melamarku di depan orang banyak? Hanya pura pura kah?Atau?
“lu
boleh nolak gua kok. Tapi tentang lamaran gua tadi gua serius.Serius banget,
dan hanya dengan ini gua bisa nebus kesalahan gua. Gua tahu kok, bokap lu kaga
bakal hidup lagi, tapi seenggaknya gua bisa menebus kesalahan gua. Lu boleh
nolak gua, dengan begitu lu bisa mempermalukan keluarga Natandra di depan
banyak orang”, kata kata itu dibisikkan tanpa microphone, jadi hanya aku saja
yang mendengarnya. Aku tidak bisa berbuat apa apa, sebenarnya hanya dengan
melamarku disini saja, di depan banyak orang ini dia sudah mempermalukan
dirinya sendiri. Melamar laki laki? Semua orang pasti akan mencemoohnya nanti.
Apa yang ada di pikiran Gandhi?
“terima!!”,
awalnya aku hanya mendengar satu suara namun kemudian suara itu seperti menular
ke yang lainnya.
“terima!!
Terima!! Terima!!”, sekarang hampir semua mengatakannya. Walaupun ada
sekelompok kecil orang yang mengkernyit jijik.
“ya,
aku mau Gan”, kataku mantap. Aku tidak ingin dia mempermalukan dirinya
sendirian.Lalu terdengar tepukan tangan yang meriah.Bahkan ada beberapa yang
bersiul.
***
Epilog
“aku
bahagia Hen, bener bener bahagia”, kata Gandhi sambil memelukku. Kami sekarang
hidup berdua di Belanda.Awalnya aku tidak setuju, aku takut dengan kondisi
ibuku. Siapa yang akan merawatnya kelak? Namun kakakku kemudian berjanji akan
merawat ibu dengan sepenuh hati. Bahkan dia sudah bersiap akan menikahi gadis
yang sudah dilamarnya.Kartika? Dia tidak bisa berbuat apa apa, semua aset
perusahaan sudah diwariskan untuk Gandhi. Lalu, jika kalian bertanya siapa yang
mengurus semua perusahaan Gandhi di Jakarta?Ya, hal yang tidak terduga bahwa
Gandhi mempercayakan perusahaanya untuk kakakku.
“aku
juga”, kataku sambil balas memeluknya. Inikah buah dari penderitaan empat tahun
terakhir dalam hidupku? Kalau iya, aku sama sekali tidak menyesalinya.
Ayah,
maafkan anakmu.Tapi aku bahagia ayah.Sangat bahagia, kataku dalam hati.
Berharap ayahku di surga sana mendengarku dan memaafkanku.