Sweetbaby,
Sweetcandy Loly-Pop Boy - (Peserta pertama)
By
: Gimnastiar Piki Rama Sevta
Isakan tangis menggema di seisi rumah ini. Mungkin
tetangga-tetangga di kompleks perumahan ini terusik oleh kenyaringan suara
tangisan anak kecil yang baru terjaga dari tidurnya. Bocah berusia enam tahun
itu merengek gelisah tanpa sebab di tempat tidurnya. Wanita paruh baya yang
kusebut sebagai Ibu itu kewalahan menangani rengekan anak kecil yang sedang
bertingkah polah aneh semenjak terbangun dari mimpinya. Aku yang sehabis
mandipun harus turun tangan sendiri menenangkan bocah satu ini. Anak kecil ini
mulai diam dalam gendonganku. Usapanku di punggungnya membuat tangisnya mereda.
Ibu yang sedari tadi kebingungan kini hanya tersenyum simpul melihat cucunya
tenang seperti semula. Ahu hanya menghela nafas ringan. Sampai kapan anak ini
akan lepas dariku?
“Kamu nggak kuliah yah?”,tanya Ibu.
Yah, benar sekali. Itu panggilan yang mudah ditebak
oleh semua orang. Panggilan untuk seorang ayah. Bukan karena aku menikahi ibuku
sendiri. Itu mustahil sekali. Atau bukan karena aku sudah menikah dengan
seorang gadis tetapi itu merupakan panggilan anak kecil ini atau lebih tepat
keponakanku kepadaku. Ribut yang sudah terlelap dalam gendonganku akhirnya
kubaringkan kembali ke ranjangnya.
‘Ribut Sentosa Pratama’ itulah nama panjangnya.
Namanya memang unik mewakili pembawaan sifatnya. Tak bisa tenang walau hanya
sebentar saja. Dia hanya bisa diam jika bersamaku. Walaupun begitu apa aku
harus membawanya kemanapun termasuk kuliah untuk membuatnya diam? Tak mungkin
kan?
“Iya bu, Gimnas mau berangkat”, aku yang tadinya
menggendong Ribut masih menggunakan handuk di pinggangku kini beralih tempat
menuju almari berisi pakaian kebesaranku dengan tanpa membuat suara. Aku tak
mau jika anak itu merengek lagi seperti kemarin hanya karena ingin ikut. Ku
pilih kemeja berwarna merah tua dan jeans abu-abu bermerk. Hm, kupikir cocok
tanpa aku sadari sang waktu tak berhenti berjalan.
***
Ku kayuh sepeda onthelku secepat mungkin. Mencoba
mengejar waktu yang tersita untuk anakku. Jam di tanganku sekarang menunjukkan
pukul 07.25. Lima menit lagi sebelum kelas kesukaanku dimulai. Jarak tempuh
menuju pelataran kampusku masih lumayan jauh. Aku yang sebelumnya mandi menjadi
tersia-sia karena bulir-bulir peluh mulai bercucuran dari semua anggota
tubuhku.
***
Kini aku sudah berada di tempat dudukku. Nafasku masih
tersengal dan terengah-engah bak maling dikejar polisi. Titan yang duduk disamping
menyikutku dengan sikutnya tentunya. Ia kini menatapku penuh heran. Kedua
alisnya bertautan menandakan seberapa herannya dia. Aku mencoba mengatur
pernafasanku untuk mulai membuka suara. Karena aku tak mau berkalimat sambil
mendesah oleh ketidakteraturan udara dalam kerongkonganku.
“Kenapa?”, selidikku pada keheranannya.
“Uhm, sebelum kesini kamu ngapain? Habis lari pagi?”,
ujarnya. Aku tahu isi dari pertanyaannya sebenarnya mengejekku. Tangan kanannya
ia sarangkan di rambutku sambil mengacaknya. Kebiasaan setiap hari jika bertemu
denganku. Tapi aku memakluminya walau aku membecinya.
“Enak aja! Aku tadi ngurusin anakku di rumah, jadi
telat gini”, ku tepis telapak tangannya di ujung kepalaku. Wajahnya kini
terlihat datar tapi tatapannya masih mengarah padaku. Tanpa diduga seulas
senyum terpatri sempurna di bibir merahnya. Kini giliranku yang mengernyit
bingung, sulit sekali mengartikan sunggingan senyumnya.
‘Memang apanya yang lucu?’, aku bergumam dalam hati.
Saat aku masih kebingungan mengartikan senyumannya, ia
mengalihkan tangannya merogoh saku celananya. Selembar kain yang disebut sapu
tangan itu sudah berada di genggamannya. Benda itu kemudian ia usapkan
kedahiku. Menyeka seluruh keringat yang tersisa.
Sekarang aku yang kikuk dalam diam. Tak sedikit dari
penghuni kelas ini tengah menargetkan pandangannya aka pa kami. Tidak semua
juga, karena kami duduk di bangku paling belakang. Ah, apa yang dilakukannya?
Ia sama sekali tak risih dengan apa yang dilakukannya. Ingin rasanya aku
menolak, tapi rasa nyaman ini menghalanginya. Mungkin ini rasa rindu tehadap
kasih aka p seorang kakak. Itu yang saat ini bisa kuartikan.
Dosen yang seharusnya mengajar dikabarkan tidak
datang. Tentu saja ketergesaanku tadi hanya menjadi mubazir. Riuh anak-anak
kelas ini mulai berkurang saat beberapa diantaranya keluar meninggalkan ruangan
ini. Bosan menunggu, itu pasti. Tapi beberapa mahasiswa-mahasiswi lebih memilih
menunggu jika sewaktu-waktu ada tugas. Jelas mereka tak akan menyia-nyiakan
kuliah mereka hanya karena dosen tak datang.
Selang 3 menit berlalu. Sosok pria jangkung berjalan
melewati pintu kelas. Setelan jas putih dan celana hitamnya berpadu sempurna.
Dasi yang mengalung di lehernya juga terkenakan rapi di badannya. Dia berjalan
menuju meja dosen dan meletakkan beberapa buku di atasnya. Ia berdiri
membelakangi meja. Wajah teduh nan rupawan itu tersenyum menunjukkan deretan
giginya yang putih nan rapi. Mahasiswi di ruangan ini yang semula mengoceh dan
bergosip menjadi tenang. Pandangan mereka kini lurus ke depan tertancap pada
rona rupawan pangeran di hadapan mereka.
“Perkenalkan nama saya Gamael Lavito Pradita. Kalian
boleh panggil saya Gama saja”, ucapnya tegas. Terasa sekali kelas ini masih
sibuk terhening menatap orang yang bernama Gama itu. Mungkinkah dia mahasiswa
baru? Tentu saja tidak mungkin, bagaimana bisa dia sebegitu PD-nya meletakkan
barang-barangnya di meja dosen yang terkenal galak itu. Uhm, sekarang sudah
tertebak siapa dia.
“Saya dosen pengganti Pak Markus”, sambungnya dengan
memamerkan senyuman kembali. Mahasiswi disini sepertinya terbius untuk kedua
kalinya. Ini akan menjadi hari membahagiakan bagi cewek centil yang kekelas
hari ini dan hari sial bagi mereka yang memilih keluar karena berpikiran kelas
kosong. Uhm, dosen muda. Biasa aja. Menurutku.
***
“Apakah disini ada yang bernama Gimnastiar?”, tanyanya
sesaat setelah kelas usai. Aku yang serasa namaku disebut akhirnya mengacungkan
telunjukku.
“Bisakah kamu kemari?”, abanya saat aku telah selesai
merapihkan bukuku. Aku yang tadi duduk bergerak mendekatinya.
“Ada apa?”, tanyaku datar tanpa gelombang. Tatapan
mata kami bertemu. Manik matanya mencoba menghipnotis ke lingkaran retinaku.
Tapi itu tidak berefek padaku.
“Ehm…itu…”, kutunggu dia mulai berbicara tapi
kegagapannya melenyapkan rangkaian kalimatnya. Kata-katanya tidak selancar saat
mengajar. Gugup saat berhadapan denganku yang seorang mahasiswa.
“Kenapa Pak Dosen?”, tanyaku lagi. Berharap dia bisa
menyelesaikan kalimatnya yang tertunda atau belum keluar dari pita suaranya. Ia
menyipitkan matanya memfokuskan bola matanya ke arahku. Seolah ada yang salah
dari pertanyaanku.
“Jangan panggil pak! Memang saya sudah tua apa”,
guraunya dengan bernada formal. Aku hanya terkekeh kecil.
“Iya Kak Gama”, panggilan itu tiba-tiba saja meluncur
dari mulutku. Mukanya bersemu merah, entah apa yang dipikirannya.
“Terserah kamu mau manggil apalah. Begini Pak Markus menyuruh
saya untuk membahas praktek minggu depan denganmu. Menurut beliau, kamu
satu-satunya mahasiswa yang tidak pernah absen. Jadi kamu pasti tahu
agenda-agenda sebelumnya. Satu hal lagi besok saya pinjam catatanmu”
“Baiklah! Terus?”, dia kembali terdiam sambil
menatapku. Sampai suara dering panggilan ponselnya memotong keheningan kami.
Tak tahu menahu apa yang dibicarakannya pada orang yang menelponnya, karena ia
berdiri menjauh dariku.
“Maaf lama ya”, ia terlihat linglung saat
mengatakannya. Apa dia merasa bersalah karena membuatku menungguku terlalu
lama?
“Oh, iya kita lanjutin besok ya”, ujarnya sambil
memunguti barang-barang di atas mejanya.
‘Apa dia tidak salah? Dia membuatku menunggu hanya
untuk mengucapkan itu saja. Dosen menyebalkan’, umpatku dalam hati.
Aku yang ditinggal pergi oleh dosen muda itu
melenggang pergi meninggalkan kelas. Saat di ambang pintu, dua tangan kokoh
tiba-tiba mencengkram kedua pundakku. Sontak hal ini membuatku terkaget-kaget.
“Astaga, kamu
mengangetkanku”, wajahnya terlihat gembira setelah aku bereaksi kaget.
“Ya ampun nas, gitu aja kaget. Ya udah ayo!”, tangan
yang tadinya mencengkram bahuku kini menarik tanganku membawaku mengikutinya.
“Mau kemana? Itu sepedaku!”, jari telunjukku mengarah
pada sepeda onthel yang terparkir tak jauh dari mobilnya.
“Udah, masukin aja dibelakang!”, ia mengambil sepedaku
dari tempat awalnya dan memasukkannya di bagian belakang mobil tempat menaruh
barang.
“Kamu belum jawab. Kamu mau bawa aku kemana?”,tanyaku
kembali.
“Aku mau nraktir kamu. Bukannya kamu pernah bilang
kalau kamu mau ditraktir?”
“Iya sih, mau traktir apa? Loly-Popkah?”, aku
tersenyum senang.
“Enggak ah. Gigimu bisa ompong kalau kebanyakan makan
permen. Kitakan calon dokter jadi harus bisa jaga kesehatan bahkan yang paling
kecil sedikitpun”, ia memberikan nasehat layaknya orang tua pada anaknya.
“Ye, kita bukan calon dokter gigi Tan. Jadi nggak
masalah dong. Lagian aku sikat gigi 5x sehari. Jadi nggak akan mungkin rusak
deh”, kilahku.
“Terserahlah. Tapi sekarang aku nggak nraktir kamu
makan Loly-Pop yang tidak mengenyangkan itu. Kita akan makan makanan special”
Titan mengajakku memasuki salah satu restoran jepang
terbaik di kota ini. Mulutku menganga lebar menyaksikan bangunan yang megah nan
elit di hadapanku. Tak tampak kalau ini sebuah rumah makan. Untuk pertama
kalinya Titan mengajakku ketempat yang diperuntukkan orang-orang kaya ini.
Desain interior yang mahal menghiasi semua penjuru rumah makan ini. Pelayanan
yang ramah dan makanan yang sudah sedap dipandang di buku menu membuat tak
heran jika resotoran ini disebut sebagai restoran terbaik di kota ini.
“Nas, mau pesan apa?”, suaranya membuyarkan
keterkagumanku. Buku menu yang kupegang tak lantas kubaca karena aku sama
sekali tak mengerti dengan jenis makanan di tempat ini.
“Terserah deh! Aku sama sepertimu aja”, seorang
pelayan wanita memberi anggukan pertanda mengerti dengan apa yang dipesan
Titan. Aku tak begitu memperhatikan dia memesan apa karena pandanganku
benar-benar teralih pada tempat ini.
Pesanan kami sudah datang. Pelayan tadi mempersilakan
kami menikmati hidangan yang sudah kami pesan. Dipiring besarku tersaji
beberapa makanan yang cukup mencurigakan, baunya terasa bau ikan walau hanya
tercium sekilas. Kulihat Titan dengan lahap menyantap makanannya.
“Ini makanan apa?”
“Itu sushi”, jawabnya enteng.
“Apa? Kamu mau membunuhku hah?”
***
Titan menyerah, ia mengganti makananku dengan makanan
yang matang sepenuhnya. Tak tahu diri memang, sudah ditraktir malah protes.
Seharusnya dia bisa mengatakan kalau yang ia pesan tadi adalah sushi. Makanan
mentah yang bersiap mengucek perutku.
“Uhm gimana? Sudah puaskah?”, selidiknya.
“Puas banget, maaf ya seharusnya kamu bilang kalau
kamu pesan sushi”
“Kamu juga seharusnya bilang kalau nggak suka
sushi”,protesnya tak kalah. Aku hanya diam meresapi ocehannya. Ia menghentikan
aksi melahap makanan yang belum matang itu. Aku yang tadinya juga main caplok
makananku juga ikut menghentikannya.
“Kenapa?”, aku bertanya dalam keseriusan. Siluet
matanya tersirat keraguan dalam mengungkapkan sesuatu. Ada sesuatu yang ia
tahan, entah apa itu. Tapi aku mencoba mencari jawabannya.
“Bisakah kamu menjadi pacarku?”, ia tampak lantang
sekali mengungkapkannya. Tak ada rona keraguan dalam pengucapannya. Penekanan
dalam permintaannya membuat lututku bergetar. Ini hal yang seharusnya
kuprediksikan bakal terjadi. Matanya mencari jawaban atas permintaannya.
Sebenarnya aku sudah siap untuk mengatakan ini. Sudah jauh-jauh hari aku
mempersiapkannya. Mungkin dia juga begitu. Kalau ia berani mengatakannya
berarti ia harus berani menerima resiko penolakan.
“Aku tak mau”, jawabku tanpa basa-basi.
“Apa karena pangeran di masa kecilmu itu kamu
menolakku? Bisakah kamu melupakannya? Ini sudah sepuluh tahun berlalu, harusnya
kamu bisa membuka diri untuk orang lain termasuk aku”, tatapnya memelas.
“Nggak Tan. Dia itu cinta pertamaku dan aku berjanji
menunggunya. Aku sudah bilang hal ini berkali-kali padamu khan?”, emosiku sudah
tersulut.
“Baiklah, aku hanya ingin mengutarakan perasaanku
padamu kok. Aku nggak bisa memaksamu. Maafkan aku”,ujarnya lirih. Suasana jadi
hening sampai suara hape-ku bordering memecah kesunyian ini.
“Halo bu!”, sapaku pada orang di ujung telepon.
“Halo yah! Ini Ibu mau minta tolong, jemput Ribut
kesekolahnya ya! Ibu ada urusan sebentar”
“Oh,iya bu. Ni aku mau selesai. Ibu tenang aja!”
“Ya, udah. Makasi ya yah! Jangan lupa bawa dia ke
rumah sakit biasa buat check up”
“Iya bu”
“Jangan lupa lo”
“Ya ampun, iya iya”
Tuuuuut………..tuuuuuuuuuuut
Suara ibu menghilang dari speaker hape. Titan
menatapku lagi. Aku juga bingung harus mengatakan apa. Situasi yang sangat
senjang. Kaku karena aksi penolakanku.
“Tan, Ibuku nyuruh aku buat jemput Ribut ke sekolah’,
aku membuka suara.
“Oke biar aku bayar dulu.Aku anterin”, tawarnya.
“Nggak usah, adikku lagi pengen naik sepeda”
Setelah Titan membayar harga makanan tadi. Kamipun
beranjak menuju parkiran. Ia mengeluarkan sepeda onthelku yang tersimpan di
bagian belakang mobilnya.
“Yakin tak mau kuantar?”, tawarnya lagi.
“Tak usah. Terima kasih atas traktirannya dan maaf
kalo aku nggak bisa menerimamu”, terangku sekenanya.
“Tak apa. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku
yang selama ini kupendam. Hanya itu saja. Dan aku juga harus menerima
kekalahanku dari pangeran masa kecilmu yang bersemayam dalam hatimu”
“Uhm, kalaupun ada orang yang mengungkapkan
perasaannya padaku pasti juga aku akan menolaknya. Karena aku menjaga hatinya.
Aku merasa benar akan pendirianku. Jadi maafkan aku dan kita bisa jadi
sahabat”, aku mengulurkan tangan kepadanya. Dan ia membalasnya dengan seulas
senyum menerima.
“Aku senang sekali mempunyai sahabat spertimu. Kamu
terlalu baik. Aku harap kamu bisa mendapatkan orang lain yang lebih baik
dariku. Yang sama-sama mencintaimu”, kami tersenyum bersama.
***
Ribut tersenyum gembira dalam boncenganku. Ah,
sesenangkah ini kamu nak? Ibu pernah bilang selama ia sakit cacar, ia doyan
banget merengek meminta kembali ke rumah sakit. Kebanyakan anak kecil kan nggak
suka di bawa ke tempat itu. Pasti ada sesuatu disana yang membuatnya ingin
kembali.
“But kamu kenapa suka ke rumah sakit? Ada suster
cantik ya?”, godaku.
“Enggak ayah, di sana ada om doktel yan ganteng hlo”
Degg!!! Apa aku tak salah mendengar? Anak ini kenapa
mewarisi cintaku yang dibilang belok. Padahal kan aku bukan ayah kandungnya.
***
Kami sudah sampai di ruangan dokter. Ribut yang sedari
tadi ribut (halah jadi ribut-ribut) kini hanya duduk diam dalam pangkuanku.
Saat ini kami sedang menunggu dokternya datang. Seganteng apakah dokternya?
Tanpa sadar aku jadi penasaran di buatnya. Pintu ruangan terbuka seorang lelaki
tampan masuk melewatinya. Ribut yang dalam pangkuanku kini berlari kearah
dokter itu. Dokter muda itu memeluk Ribut lalu menggendongnya.
“Ah, jagoan dokter datang”, dokter itu menyambut ribut
dengan hangatnya. Aku malah terbengong mengamati sosok dokter itu.
“Oh siapa itu? Kakakmu?”, dokter itu bertanya pada
Ribut.
“Bukan Om dia tu ayah”, lelaki itu membelalakkan
matanya pertanda ia sangat terkejut tentang penuturan anak kecil yang sedang digendongnya.
“Jadi kamu ayahnya?”, aku mengangguk kecil. Kemudian
ia membaringkan Ribut ke kasur periksa. Seorang suster masuk lalu membantu
Dokter itu memeriksa Ribut.
“Benarkah dia anakmu? Kamu sudah menikah? Bukannya
kamu anaknya Ibu Sulasih?”, serentetan pertanyaan ia katakan disela ia
memeriksa Ribut.
“Secara hukum negara dia bukan anakku. Tapi aku sudah
menganggapnya seperti itu. Aku belum menikah dan benar aku anaknya Ibu Sulasih.
Memang kenapa?”
“Oh nggak, aku hanya terkaget saja”, ia kembali melanjutkan
aktifitasnya. Kata saya untuk menyebut dirinya tadi pagi kini sudah ia ganti
dengan kata aku. Apa ia menganggap kalau kita sudah akrab?
“Dokter Gama punya profesi ganda ya?”, tanyaku.
“Terdengar lucu kalau kamu yang memanggilku Dokter
Gama. Hm hm. Aku kan sudah bilang kalau aku hanya menggantikan Pak Markus
sementara waktu”
“Oh iya ya!”, kini aku yang kelihatan bodoh.
“Memang siapa orang tuanya”
“….”, aku terdiam sejenak. Karena mungkin tak ada
jawaban dariku, ia memalingkan mukanya ke arahku.
“Papanya adalah kakakku. Dia dan istrinya meninggal
dalam kecelakaan mobil dan meninggalkan anaknya yang masih bayi. Sampai saat
ini Ribut entah sadar atau tidak bahwa kedua orangtuanya meninggal. Dari kecil
ia memanggilku dengan sebutan ayah sampai sekarang ini”
“Oh, aku turut berduka. Kakakmu yang bernama Voland
itu kah?”
“Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Tidak. Aku tau dari ibumu. Dia sering menceritakan
anaknya termasuk kamu dan kakakmu, Tapi beliau tidak pernah menceritakan
tentang kematian kakakmu. Baru aku tahu sekarang. Nah udah selesai, ayo
turun!”, ia mengangkat Ribut untuk turun dari ranjang.
“Udah sini aku pangku”, aku kembali duduk sambil
memangkunya.
“Gimana?”, tanyaku pada Gama.
“Udah baikan kok. Pokoknya mandi yang bersih dan jaga kesehatan.
Oke jagoan”, Gama memberikan tangannya untuk diberikan tos dan Ribut
membalasnya.
“Karena jagoan om nggak nakal maka om kasih hadiah”,
Gama memberikan setangkai Loly-Pop ukuran besar pada Ribut.
“Makaci Om Doktel! Om baik deh, tapi ni untuk ayah deh.
Ayah kan suka permen”, Ribut menyodorkan permennya padaku. Wah, kebetulan
sekali aku haus akan manisnya permen ini.
“Oh, ya udah”, Gama hanya tersenyum menatap lucu ke
arah kami. Mungkin dia berpikiran,’Ayah dan anak yang harmonis’. Mungkin saja kan?
“Ya udah anak ayah waktunya pulang!”, aku memberikan
aba-aba pulang.
“Makasi ya Dok!”, kini giliranku yang berterima kasih.
“Sama-sama Loly-Pop boy!”
Aku yang tadi sudah di ujung pintu kini terhenti
karenanya.
“Apa dok?”
“Nggak kok, silakan pulang! Da da jagoan”, ia
melambaikan tangannya pada Ribut.
“Da da Om Doktel”, balasnya. Hum, Dokter ini aneh.
***
Alunan music manca kini bersarang di gendang
telingaku. Lagu yang berjudul ‘Someone like you’ kini menemani malam-malam
dinginku. Sampai suara sopran merusak acara dengar lagu khidmat ini. Pintu
kamarku terbuka dan lampunyapun tiba-tiba dinyalakan. Aku terbangun dari
setengah tidurku. Siapa lagi pemilik suara ini kalau bukan Ibuku.
“Yah, dipanggil kok nggak nyahut-nyahut. Itu Anakmu
minta susu”, ocehnya.
“Aku pake headset bu. Terus aku harus apa?”
“Kamu beliin susu sana ke supermarket. Mau gimana
lagi, dia rewel tu”, tegasnya.
“Hah, kenapa harus sekarang sih? Iyah iyah aku akan
beli”, jawabku pasrah.
“Nih uangnya, ajak Ribut sekalian!”, Ibu menyodorkan
uang lima puluh ribuan.
“Kenapa harus diajak? Kan dingin bu, kasian kan”
“Sekali-kali lah. Dia nanti tambah nangisnya apalagi
liat kamu keluar rumah. Tetangga yang tenang malah jadi keganggu juga”
“Pich, Ya udah deh. Huh,susah ya punya anak?”, kataku
ngawur.
“Makanya cari istri!”, saran Ibuku.
‘Calon suami bu. Aku nggak doyan cewek. Pangeranku
cepatlah pulang’, batinku.
Udara sangat dingin sekali. Aku merinding sambil
mengayuh sepedaku. Walaupun berkeringat tetap saja keluarnya keringat dingin.
Ribut seperti biasanya terlihat senang tanpa ada gangguan. Bocah apa kamu ini?
Kakak dulu memang nakal tapi tak setahan ini sama cuaca.
***
Aku sudah mendapatkan barangnya. Sekotak susu bermerk
dan sekaleng Loly-Pop dalam genggaman tinggal membayarnya saja.
“Semuanya Rp 1 45.600,00 mas!”, kata mbak-mbak kasir.
Kurogoh saku celanaku, tapi nihil. Oh sial, dompetku tertinggal di celana
satunya. Aku lupa kalau aku sudah mengganti celanaku. Hanya uang lima puluh
ribu dari ibu saja yang aku bawa. Hah, sekarang aku cuman bisa membayar susu
Ribut saja. Betapa malunya aku jika harus mengembalikan belanjaaku.
“Kenapa yah?”, tanya Ribut yang masih dalam
gandenganku. Aku hanya tersenyum kecut ke arahnya.
“Mbak biar sekalian sama belanjaan saya”, laki-laki
jangkung menyela kebingunganku.
“Oh Dokter Gama. Gag usah!”, tolakku. Padahal berharap
ia masih kekeh membayariku.
“Udah, nggak apa-apa. Jagoan ayo sama Om”, ia
menggendong Ribut kembali. Ternyata Gama lebih pantas menjadi ayahnya ketimbang
aku. Mereka sangat serasi.
“Aduh, maaf Dok
merepotkan. Besok saya janji kembalikan”, aku tersenyum simpul.
“Oh, begitu! Tapi besok aku tak jadi mengajar. Tapi
mungkin kamu bisa ke rumahku sambil membawa catatanmu yang kuminta. Jangan lupa
Ribut dibawa!”, pintanya padaku.
“Iya deh. Alamatnya?”
“Besok aku SMS saja alamatnya. Mau kuantar!”
“Nggak dok, saya bisa sendiri”
“Oke kalau begitu! Sampai ketemu besok! Loly-Pop Boy”,
cengirnya yang sudah menjauh. Sekarang, aku sudah merasa kalau dokter ini
sangatlah aneh.
***
Kucoba mencari
alamat rumahnya. Lumayan sulit juga, tinggal berada di kompleks perumahan orang
kaya membuatku menjadi bingung. Rumah Gedong dihapanku ini sudah kuprediksi
adalah rumahnya. Profesinya sebagai dokter tentu membuahkan hasil yang setara
dengan jerih payahnya. Ribut sudah merengek ingin bertemu Dokter Gama.
Bagaimana seorang anak cowok bisa seganjen ini dengan dokter tampan?
“Ah, kalian sudah datang”, sambutnya. Aku masih
tertegun menyaksikan penampilannya yang berbeda. Tidak formal dan sangat
tampan. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku menepis aura terpesona padanya.
“Ayo masuk!”, sambungnya. Ribut digendongnya lagi dan
aku mengikutinya masuk.
“Ribut sukanya apa?”, tanyanya pada Ribut.
“Suka apa ya?”, anak kecil itu meniman-nimang kembali.
“Playstasion suka?”
“Suka Om!”, jawabnya langsung. Gama membawanya ke
suatu ruangan yang tersedia permainan itu. Ia menyiapkannya lalu menyerahkannya
pada Ribut untuk dimainkan.
“Dia sudah tidak rewel, ayo ikut aku”, ajaknya.
Saat ini Dokter Gama membawaku ke ruangan penuh dengan
berbagai jenis kado tertata rapi. Aku sempat tertegun melihatnya.
“Aku mau mengatakan sesuatu”, ia angkat bicara. Kini
aku mulai gemetar, apa ini seperti apa yang kupikirkan?
“Bicara saja!”, Persilaku padanya.
“Aku cinta kamu”, aku diam mematung mendengarkannya.
Kalimat dalam hipotesaku ternyata benar.
“Lalu?”, aku berbicara setenang mungkin.
“Aku mau kamu jadi kekasihku”
“Apa? Kamu mengajakku kemari hanya untuk mengatakan
ini? Semua hadiah ini untuk menyogokku? Itu tidak mempan Dok. Dan maaf aku tak
bisa menerimamu”, aku yang semula menyentak kini bersuara lirih.
“Kenapa? Kamu punya orang lain?”
“Iya, aku sudah punya orang yang menjagaku. Aku
berjanji untuk menunggunya walaupun dia sama sekali tak mengingatku sampai saat
ini”, mataku mulai berkaca-kaca. Aku hendak pergi meninggalkan tempat itu.
“Loly!”, suara itu menghentikan langkahku.
“Loly-Pop Boy, kamu masih menungguku ya? Maaf kalau
aku membuatmu menunggu selama ini. Aku menyesal dan sekarang aku akan menebusnya.
Bolehkah?”
“Apa maksudmu?”
“Apakah setelah bertambahnya usia sekarang aku
terlihat berbeda?”
“Kamu,…… Kamu Kak El?”, tanyaku dengan mata melotot.
Kupandangi tubuhnya dari rambut hingga ujung kaki. Ini berbeda, tentu saja! tak
mungkin ia akan sama seperti 10 tahun yang lalu.
“Iya Adek! Apa kamu tak kangen denganku?”, godanya.
“Tidak! Aku tak kangen denganmu. Kamu jahat, kamu
berjanji akan kembali 7 tahun kemudian. Tapi kenapa kamu baru muncul sekarang?
Kamu jahat kak”, aku menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya yang jauh kini
menjangkau tubuhku yang rapuh. Sungguh ini pelukan yang kurindukan selama ini.
“Kamu tahu kado-kado disana adalah hadiah dariku untuk
ulang tahunmu dari tahun-tahun yang lalu selama aku tidak ada. Aku juga
berjanji akan menjawab pernyataanmu waktu itu kan? Sekarang aku akan
membaliknya, apakah kamu mau menjadi kekasihku?”, ujarnya.
“Tentu saja aku mau. Untuk apa aku selama ini
menunggumu?”, aku menangis tersedu-sedu dalam pelukannya.
Selang beberapa menit ia melepaskan rangkulannya.
Wajahnya kini ia dekatkan ke arahku, bibir kami menyatu dalam tautan cinta.
Ciuman yang kudambakan dari dulu. Dari pangeran masa kecilku.
“Ayah, Om cedang apa?”, teriakan Ribut menghentikan
aksi rindu kami.
“…”, kami malu dalam diam.
Cinta kami yang dulu sempat terpisah akhirnya terajut
kembali.Manisnya cinta akan kami mulai dari awal. Ribut sekarang juga harus
bersiap-siap untuk memiliki dua ayah. Ha ha ha.
Flashback
Seorang anak kecil yang berumur 10 tahun beserta
remaja 15 tahun sedang asyik bersendau gurau di
sebuah taman bermain. Baru dua minggu mereka berkenalan tapi sudah
tampak sangat akrab. Dan besok adalah hari dimana remaja itu melepas masa
liburnya di kota ini.
“Kak El”, panggil anak kecil itu kepada remaja di
sampingnya. Hanya nama ‘El’ saja yang diketahuinya tanpa mengenal nama
panjangnya.
“Hmmm Ada apa
Dek Loly?”, jawab suara remaja itu dengan halus.
“Mau nggak kalo kak El jadi pacarku?”, mintanya polos.
“Kakak mau kok! Tapi tunggu umur kamu sampe 17 tahun
ya? Kakak juga mau pergi sebentar, sekembalinya nanti kakak akan bawa banyak
hadiah yang isinya Loly-Pop semua untuk Adek. Adek mau kan nunggu kakak?”, ujar
lelaki remaja itu.
“Mau kak. Tapi kakak janji harus cepat kembali!”
“Janji my Loly-Pop boy”, kelingking mereka berkaitkan
membentuk jalinan janji.
Note :
Perkenalkan
namaku Gimnastiar Piki Rama Sevta. Kalian boleh panggil aku jipi. Semoga cerita
ini berkesan bagi para pembaca semuanya. Coretanku mungkin jelek, tapi bermakna
untukku. Makasih.
Email :
princekyuto@yahoo.co.id
Facebook: Gimnastiar Piki Rama Sevta