Wednesday 27 June 2012

Sweetbaby, Sweetcandy Loly-Pop Boy


Sweetbaby, Sweetcandy Loly-Pop Boy - (Peserta pertama)
By : Gimnastiar Piki Rama Sevta
Isakan tangis menggema di seisi rumah ini. Mungkin tetangga-tetangga di kompleks perumahan ini terusik oleh kenyaringan suara tangisan anak kecil yang baru terjaga dari tidurnya. Bocah berusia enam tahun itu merengek gelisah tanpa sebab di tempat tidurnya. Wanita paruh baya yang kusebut sebagai Ibu itu kewalahan menangani rengekan anak kecil yang sedang bertingkah polah aneh semenjak terbangun dari mimpinya. Aku yang sehabis mandipun harus turun tangan sendiri menenangkan bocah satu ini. Anak kecil ini mulai diam dalam gendonganku. Usapanku di punggungnya membuat tangisnya mereda. Ibu yang sedari tadi kebingungan kini hanya tersenyum simpul melihat cucunya tenang seperti semula. Ahu hanya menghela nafas ringan. Sampai kapan anak ini akan lepas dariku?

“Kamu nggak kuliah yah?”,tanya Ibu.
Yah, benar sekali. Itu panggilan yang mudah ditebak oleh semua orang. Panggilan untuk seorang ayah. Bukan karena aku menikahi ibuku sendiri. Itu mustahil sekali. Atau bukan karena aku sudah menikah dengan seorang gadis tetapi itu merupakan panggilan anak kecil ini atau lebih tepat keponakanku kepadaku. Ribut yang sudah terlelap dalam gendonganku akhirnya kubaringkan kembali ke ranjangnya.
‘Ribut Sentosa Pratama’ itulah nama panjangnya. Namanya memang unik mewakili pembawaan sifatnya. Tak bisa tenang walau hanya sebentar saja. Dia hanya bisa diam jika bersamaku. Walaupun begitu apa aku harus membawanya kemanapun termasuk kuliah untuk membuatnya diam? Tak mungkin kan?
“Iya bu, Gimnas mau berangkat”, aku yang tadinya menggendong Ribut masih menggunakan handuk di pinggangku kini beralih tempat menuju almari berisi pakaian kebesaranku dengan tanpa membuat suara. Aku tak mau jika anak itu merengek lagi seperti kemarin hanya karena ingin ikut. Ku pilih kemeja berwarna merah tua dan jeans abu-abu bermerk. Hm, kupikir cocok tanpa aku sadari sang waktu tak berhenti berjalan.
***
Ku kayuh sepeda onthelku secepat mungkin. Mencoba mengejar waktu yang tersita untuk anakku. Jam di tanganku sekarang menunjukkan pukul 07.25. Lima menit lagi sebelum kelas kesukaanku dimulai. Jarak tempuh menuju pelataran kampusku masih lumayan jauh. Aku yang sebelumnya mandi menjadi tersia-sia karena bulir-bulir peluh mulai bercucuran dari semua anggota tubuhku.

***
Kini aku sudah berada di tempat dudukku. Nafasku masih tersengal dan terengah-engah bak maling dikejar polisi. Titan yang duduk disamping menyikutku dengan sikutnya tentunya. Ia kini menatapku penuh heran. Kedua alisnya bertautan menandakan seberapa herannya dia. Aku mencoba mengatur pernafasanku untuk mulai membuka suara. Karena aku tak mau berkalimat sambil mendesah oleh ketidakteraturan udara dalam kerongkonganku.

“Kenapa?”, selidikku pada keheranannya.

“Uhm, sebelum kesini kamu ngapain? Habis lari pagi?”, ujarnya. Aku tahu isi dari pertanyaannya sebenarnya mengejekku. Tangan kanannya ia sarangkan di rambutku sambil mengacaknya. Kebiasaan setiap hari jika bertemu denganku. Tapi aku memakluminya walau aku membecinya.

“Enak aja! Aku tadi ngurusin anakku di rumah, jadi telat gini”, ku tepis telapak tangannya di ujung kepalaku. Wajahnya kini terlihat datar tapi tatapannya masih mengarah padaku. Tanpa diduga seulas senyum terpatri sempurna di bibir merahnya. Kini giliranku yang mengernyit bingung, sulit sekali mengartikan sunggingan senyumnya.

‘Memang apanya yang lucu?’, aku bergumam dalam hati.

Saat aku masih kebingungan mengartikan senyumannya, ia mengalihkan tangannya merogoh saku celananya. Selembar kain yang disebut sapu tangan itu sudah berada di genggamannya. Benda itu kemudian ia usapkan kedahiku. Menyeka seluruh keringat yang tersisa.

Sekarang aku yang kikuk dalam diam. Tak sedikit dari penghuni kelas ini tengah menargetkan pandangannya aka pa kami. Tidak semua juga, karena kami duduk di bangku paling belakang. Ah, apa yang dilakukannya? Ia sama sekali tak risih dengan apa yang dilakukannya. Ingin rasanya aku menolak, tapi rasa nyaman ini menghalanginya. Mungkin ini rasa rindu tehadap kasih aka p seorang kakak. Itu yang saat ini bisa kuartikan.

Dosen yang seharusnya mengajar dikabarkan tidak datang. Tentu saja ketergesaanku tadi hanya menjadi mubazir. Riuh anak-anak kelas ini mulai berkurang saat beberapa diantaranya keluar meninggalkan ruangan ini. Bosan menunggu, itu pasti. Tapi beberapa mahasiswa-mahasiswi lebih memilih menunggu jika sewaktu-waktu ada tugas. Jelas mereka tak akan menyia-nyiakan kuliah mereka hanya karena dosen tak datang.

Selang 3 menit berlalu. Sosok pria jangkung berjalan melewati pintu kelas. Setelan jas putih dan celana hitamnya berpadu sempurna. Dasi yang mengalung di lehernya juga terkenakan rapi di badannya. Dia berjalan menuju meja dosen dan meletakkan beberapa buku di atasnya. Ia berdiri membelakangi meja. Wajah teduh nan rupawan itu tersenyum menunjukkan deretan giginya yang putih nan rapi. Mahasiswi di ruangan ini yang semula mengoceh dan bergosip menjadi tenang. Pandangan mereka kini lurus ke depan tertancap pada rona rupawan pangeran di hadapan mereka.

“Perkenalkan nama saya Gamael Lavito Pradita. Kalian boleh panggil saya Gama saja”, ucapnya tegas. Terasa sekali kelas ini masih sibuk terhening menatap orang yang bernama Gama itu. Mungkinkah dia mahasiswa baru? Tentu saja tidak mungkin, bagaimana bisa dia sebegitu PD-nya meletakkan barang-barangnya di meja dosen yang terkenal galak itu. Uhm, sekarang sudah tertebak siapa dia.

“Saya dosen pengganti Pak Markus”, sambungnya dengan memamerkan senyuman kembali. Mahasiswi disini sepertinya terbius untuk kedua kalinya. Ini akan menjadi hari membahagiakan bagi cewek centil yang kekelas hari ini dan hari sial bagi mereka yang memilih keluar karena berpikiran kelas kosong. Uhm, dosen muda. Biasa aja. Menurutku.

***

“Apakah disini ada yang bernama Gimnastiar?”, tanyanya sesaat setelah kelas usai. Aku yang serasa namaku disebut akhirnya mengacungkan telunjukku.

“Bisakah kamu kemari?”, abanya saat aku telah selesai merapihkan bukuku. Aku yang tadi duduk bergerak mendekatinya.

“Ada apa?”, tanyaku datar tanpa gelombang. Tatapan mata kami bertemu. Manik matanya mencoba menghipnotis ke lingkaran retinaku. Tapi itu tidak berefek padaku.

“Ehm…itu…”, kutunggu dia mulai berbicara tapi kegagapannya melenyapkan rangkaian kalimatnya. Kata-katanya tidak selancar saat mengajar. Gugup saat berhadapan denganku yang seorang mahasiswa.

“Kenapa Pak Dosen?”, tanyaku lagi. Berharap dia bisa menyelesaikan kalimatnya yang tertunda atau belum keluar dari pita suaranya. Ia menyipitkan matanya memfokuskan bola matanya ke arahku. Seolah ada yang salah dari pertanyaanku.
“Jangan panggil pak! Memang saya sudah tua apa”, guraunya dengan bernada formal. Aku hanya terkekeh kecil.

“Iya Kak Gama”, panggilan itu tiba-tiba saja meluncur dari mulutku. Mukanya bersemu merah, entah apa yang dipikirannya.

“Terserah kamu mau manggil apalah. Begini Pak Markus menyuruh saya untuk membahas praktek minggu depan denganmu. Menurut beliau, kamu satu-satunya mahasiswa yang tidak pernah absen. Jadi kamu pasti tahu agenda-agenda sebelumnya. Satu hal lagi besok saya pinjam catatanmu”

“Baiklah! Terus?”, dia kembali terdiam sambil menatapku. Sampai suara dering panggilan ponselnya memotong keheningan kami. Tak tahu menahu apa yang dibicarakannya pada orang yang menelponnya, karena ia berdiri menjauh dariku.

“Maaf lama ya”, ia terlihat linglung saat mengatakannya. Apa dia merasa bersalah karena membuatku menungguku terlalu lama?

“Oh, iya kita lanjutin besok ya”, ujarnya sambil memunguti barang-barang di atas mejanya.

‘Apa dia tidak salah? Dia membuatku menunggu hanya untuk mengucapkan itu saja. Dosen menyebalkan’, umpatku dalam hati.

Aku yang ditinggal pergi oleh dosen muda itu melenggang pergi meninggalkan kelas. Saat di ambang pintu, dua tangan kokoh tiba-tiba mencengkram kedua pundakku. Sontak hal ini membuatku terkaget-kaget.

“Astaga,  kamu mengangetkanku”, wajahnya terlihat gembira setelah aku bereaksi kaget.

“Ya ampun nas, gitu aja kaget. Ya udah ayo!”, tangan yang tadinya mencengkram bahuku kini menarik tanganku membawaku mengikutinya.

“Mau kemana? Itu sepedaku!”, jari telunjukku mengarah pada sepeda onthel yang terparkir tak jauh dari mobilnya.

“Udah, masukin aja dibelakang!”, ia mengambil sepedaku dari tempat awalnya dan memasukkannya di bagian belakang mobil tempat menaruh barang.

“Kamu belum jawab. Kamu mau bawa aku kemana?”,tanyaku kembali.

“Aku mau nraktir kamu. Bukannya kamu pernah bilang kalau kamu mau ditraktir?”

“Iya sih, mau traktir apa? Loly-Popkah?”, aku tersenyum senang.

“Enggak ah. Gigimu bisa ompong kalau kebanyakan makan permen. Kitakan calon dokter jadi harus bisa jaga kesehatan bahkan yang paling kecil sedikitpun”, ia memberikan nasehat layaknya orang tua pada anaknya.

“Ye, kita bukan calon dokter gigi Tan. Jadi nggak masalah dong. Lagian aku sikat gigi 5x sehari. Jadi nggak akan mungkin rusak deh”, kilahku.

“Terserahlah. Tapi sekarang aku nggak nraktir kamu makan Loly-Pop yang tidak mengenyangkan itu. Kita akan makan makanan special”

Titan mengajakku memasuki salah satu restoran jepang terbaik di kota ini. Mulutku menganga lebar menyaksikan bangunan yang megah nan elit di hadapanku. Tak tampak kalau ini sebuah rumah makan. Untuk pertama kalinya Titan mengajakku ketempat yang diperuntukkan orang-orang kaya ini. Desain interior yang mahal menghiasi semua penjuru rumah makan ini. Pelayanan yang ramah dan makanan yang sudah sedap dipandang di buku menu membuat tak heran jika resotoran ini disebut sebagai restoran terbaik di kota ini.

“Nas, mau pesan apa?”, suaranya membuyarkan keterkagumanku. Buku menu yang kupegang tak lantas kubaca karena aku sama sekali tak mengerti dengan jenis makanan di tempat ini.

“Terserah deh! Aku sama sepertimu aja”, seorang pelayan wanita memberi anggukan pertanda mengerti dengan apa yang dipesan Titan. Aku tak begitu memperhatikan dia memesan apa karena pandanganku benar-benar teralih pada tempat ini.

Pesanan kami sudah datang. Pelayan tadi mempersilakan kami menikmati hidangan yang sudah kami pesan. Dipiring besarku tersaji beberapa makanan yang cukup mencurigakan, baunya terasa bau ikan walau hanya tercium sekilas. Kulihat Titan dengan lahap menyantap makanannya.

“Ini makanan apa?”

“Itu sushi”, jawabnya enteng.

“Apa? Kamu mau membunuhku hah?”

***

Titan menyerah, ia mengganti makananku dengan makanan yang matang sepenuhnya. Tak tahu diri memang, sudah ditraktir malah protes. Seharusnya dia bisa mengatakan kalau yang ia pesan tadi adalah sushi. Makanan mentah yang bersiap mengucek perutku.

“Uhm gimana? Sudah puaskah?”, selidiknya.

“Puas banget, maaf ya seharusnya kamu bilang kalau kamu pesan sushi”

“Kamu juga seharusnya bilang kalau nggak suka sushi”,protesnya tak kalah. Aku hanya diam meresapi ocehannya. Ia menghentikan aksi melahap makanan yang belum matang itu. Aku yang tadinya juga main caplok makananku juga ikut menghentikannya.

“Kenapa?”, aku bertanya dalam keseriusan. Siluet matanya tersirat keraguan dalam mengungkapkan sesuatu. Ada sesuatu yang ia tahan, entah apa itu. Tapi aku mencoba mencari jawabannya.

“Bisakah kamu menjadi pacarku?”, ia tampak lantang sekali mengungkapkannya. Tak ada rona keraguan dalam pengucapannya. Penekanan dalam permintaannya membuat lututku bergetar. Ini hal yang seharusnya kuprediksikan bakal terjadi. Matanya mencari jawaban atas permintaannya. Sebenarnya aku sudah siap untuk mengatakan ini. Sudah jauh-jauh hari aku mempersiapkannya. Mungkin dia juga begitu. Kalau ia berani mengatakannya berarti ia harus berani menerima resiko penolakan.

“Aku tak mau”, jawabku tanpa basa-basi.

“Apa karena pangeran di masa kecilmu itu kamu menolakku? Bisakah kamu melupakannya? Ini sudah sepuluh tahun berlalu, harusnya kamu bisa membuka diri untuk orang lain termasuk aku”, tatapnya memelas.

“Nggak Tan. Dia itu cinta pertamaku dan aku berjanji menunggunya. Aku sudah bilang hal ini berkali-kali padamu khan?”, emosiku sudah tersulut.

“Baiklah, aku hanya ingin mengutarakan perasaanku padamu kok. Aku nggak bisa memaksamu. Maafkan aku”,ujarnya lirih. Suasana jadi hening sampai suara hape-ku bordering memecah kesunyian ini.

“Halo bu!”, sapaku pada orang di ujung telepon.

“Halo yah! Ini Ibu mau minta tolong, jemput Ribut kesekolahnya ya! Ibu ada urusan sebentar”

“Oh,iya bu. Ni aku mau selesai. Ibu tenang aja!”

“Ya, udah. Makasi ya yah! Jangan lupa bawa dia ke rumah sakit biasa buat check up”

“Iya bu”

“Jangan lupa lo”
“Ya ampun, iya iya”
Tuuuuut………..tuuuuuuuuuuut

Suara ibu menghilang dari speaker hape. Titan menatapku lagi. Aku juga bingung harus mengatakan apa. Situasi yang sangat senjang. Kaku karena aksi penolakanku.

“Tan, Ibuku nyuruh aku buat jemput Ribut ke sekolah’, aku membuka suara.

“Oke biar aku bayar dulu.Aku anterin”, tawarnya.

“Nggak usah, adikku lagi pengen naik sepeda”

Setelah Titan membayar harga makanan tadi. Kamipun beranjak menuju parkiran. Ia mengeluarkan sepeda onthelku yang tersimpan di bagian belakang mobilnya.

“Yakin tak mau kuantar?”, tawarnya lagi.

“Tak usah. Terima kasih atas traktirannya dan maaf kalo aku nggak bisa menerimamu”, terangku sekenanya.

“Tak apa. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku yang selama ini kupendam. Hanya itu saja. Dan aku juga harus menerima kekalahanku dari pangeran masa kecilmu yang bersemayam dalam hatimu”

“Uhm, kalaupun ada orang yang mengungkapkan perasaannya padaku pasti juga aku akan menolaknya. Karena aku menjaga hatinya. Aku merasa benar akan pendirianku. Jadi maafkan aku dan kita bisa jadi sahabat”, aku mengulurkan tangan kepadanya. Dan ia membalasnya dengan seulas senyum menerima.

“Aku senang sekali mempunyai sahabat spertimu. Kamu terlalu baik. Aku harap kamu bisa mendapatkan orang lain yang lebih baik dariku. Yang sama-sama mencintaimu”, kami tersenyum bersama.

***

Ribut tersenyum gembira dalam boncenganku. Ah, sesenangkah ini kamu nak? Ibu pernah bilang selama ia sakit cacar, ia doyan banget merengek meminta kembali ke rumah sakit. Kebanyakan anak kecil kan nggak suka di bawa ke tempat itu. Pasti ada sesuatu disana yang membuatnya ingin kembali.

“But kamu kenapa suka ke rumah sakit? Ada suster cantik ya?”, godaku.

“Enggak ayah, di sana ada om doktel yan ganteng hlo”
Degg!!! Apa aku tak salah mendengar? Anak ini kenapa mewarisi cintaku yang dibilang belok. Padahal kan aku bukan ayah kandungnya.

***

Kami sudah sampai di ruangan dokter. Ribut yang sedari tadi ribut (halah jadi ribut-ribut) kini hanya duduk diam dalam pangkuanku. Saat ini kami sedang menunggu dokternya datang. Seganteng apakah dokternya? Tanpa sadar aku jadi penasaran di buatnya. Pintu ruangan terbuka seorang lelaki tampan masuk melewatinya. Ribut yang dalam pangkuanku kini berlari kearah dokter itu. Dokter muda itu memeluk Ribut lalu menggendongnya.

“Ah, jagoan dokter datang”, dokter itu menyambut ribut dengan hangatnya. Aku malah terbengong mengamati sosok dokter itu.

“Oh siapa itu? Kakakmu?”, dokter itu bertanya pada Ribut.

“Bukan Om dia tu ayah”, lelaki itu membelalakkan matanya pertanda ia sangat terkejut tentang penuturan anak kecil yang sedang digendongnya.

“Jadi kamu ayahnya?”, aku mengangguk kecil. Kemudian ia membaringkan Ribut ke kasur periksa. Seorang suster masuk lalu membantu Dokter itu memeriksa Ribut.

“Benarkah dia anakmu? Kamu sudah menikah? Bukannya kamu anaknya Ibu Sulasih?”, serentetan pertanyaan ia katakan disela ia memeriksa Ribut.

“Secara hukum negara dia bukan anakku. Tapi aku sudah menganggapnya seperti itu. Aku belum menikah dan benar aku anaknya Ibu Sulasih. Memang kenapa?”

“Oh nggak, aku hanya terkaget saja”, ia kembali melanjutkan aktifitasnya. Kata saya untuk menyebut dirinya tadi pagi kini sudah ia ganti dengan kata aku. Apa ia menganggap kalau kita sudah akrab?

“Dokter Gama punya profesi ganda ya?”, tanyaku.

“Terdengar lucu kalau kamu yang memanggilku Dokter Gama. Hm hm. Aku kan sudah bilang kalau aku hanya menggantikan Pak Markus sementara waktu”

“Oh iya ya!”, kini aku yang kelihatan bodoh.

“Memang siapa orang tuanya”

“….”, aku terdiam sejenak. Karena mungkin tak ada jawaban dariku, ia memalingkan mukanya ke arahku.

“Papanya adalah kakakku. Dia dan istrinya meninggal dalam kecelakaan mobil dan meninggalkan anaknya yang masih bayi. Sampai saat ini Ribut entah sadar atau tidak bahwa kedua orangtuanya meninggal. Dari kecil ia memanggilku dengan sebutan ayah sampai sekarang ini”

“Oh, aku turut berduka. Kakakmu yang bernama Voland itu kah?”

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Tidak. Aku tau dari ibumu. Dia sering menceritakan anaknya termasuk kamu dan kakakmu, Tapi beliau tidak pernah menceritakan tentang kematian kakakmu. Baru aku tahu sekarang. Nah udah selesai, ayo turun!”, ia mengangkat Ribut untuk turun dari ranjang.

“Udah sini aku pangku”, aku kembali duduk sambil memangkunya.

“Gimana?”, tanyaku pada Gama.

“Udah baikan kok. Pokoknya mandi yang bersih dan jaga kesehatan. Oke jagoan”, Gama memberikan tangannya untuk diberikan tos dan Ribut membalasnya.

“Karena jagoan om nggak nakal maka om kasih hadiah”, Gama memberikan setangkai Loly-Pop ukuran besar pada Ribut.

“Makaci Om Doktel! Om baik deh, tapi ni untuk ayah deh. Ayah kan suka permen”, Ribut menyodorkan permennya padaku. Wah, kebetulan sekali aku haus akan manisnya permen ini.

“Oh, ya udah”, Gama hanya tersenyum menatap lucu ke arah kami. Mungkin dia berpikiran,’Ayah dan anak yang harmonis’. Mungkin saja kan?

“Ya udah anak ayah waktunya pulang!”, aku memberikan aba-aba pulang.

“Makasi ya Dok!”, kini giliranku yang berterima kasih.

“Sama-sama Loly-Pop boy!”

Aku yang tadi sudah di ujung pintu kini terhenti karenanya.

“Apa dok?”

“Nggak kok, silakan pulang! Da da jagoan”, ia melambaikan tangannya pada Ribut.

“Da da Om Doktel”, balasnya. Hum, Dokter ini aneh.

***

Alunan music manca kini bersarang di gendang telingaku. Lagu yang berjudul ‘Someone like you’ kini menemani malam-malam dinginku. Sampai suara sopran merusak acara dengar lagu khidmat ini. Pintu kamarku terbuka dan lampunyapun tiba-tiba dinyalakan. Aku terbangun dari setengah tidurku. Siapa lagi pemilik suara ini kalau bukan Ibuku.

“Yah, dipanggil kok nggak nyahut-nyahut. Itu Anakmu minta susu”, ocehnya.

“Aku pake headset bu. Terus aku harus apa?”

“Kamu beliin susu sana ke supermarket. Mau gimana lagi, dia rewel tu”, tegasnya.

“Hah, kenapa harus sekarang sih? Iyah iyah aku akan beli”, jawabku pasrah.

“Nih uangnya, ajak Ribut sekalian!”, Ibu menyodorkan uang lima puluh ribuan.

“Kenapa harus diajak? Kan dingin bu, kasian kan”

“Sekali-kali lah. Dia nanti tambah nangisnya apalagi liat kamu keluar rumah. Tetangga yang tenang malah jadi keganggu juga”

“Pich, Ya udah deh. Huh,susah ya punya anak?”, kataku ngawur.

“Makanya cari istri!”, saran Ibuku.

‘Calon suami bu. Aku nggak doyan cewek. Pangeranku cepatlah pulang’, batinku.

Udara sangat dingin sekali. Aku merinding sambil mengayuh sepedaku. Walaupun berkeringat tetap saja keluarnya keringat dingin. Ribut seperti biasanya terlihat senang tanpa ada gangguan. Bocah apa kamu ini? Kakak dulu memang nakal tapi tak setahan ini sama cuaca.

***

Aku sudah mendapatkan barangnya. Sekotak susu bermerk dan sekaleng Loly-Pop dalam genggaman tinggal membayarnya saja.

“Semuanya Rp 1 45.600,00 mas!”, kata mbak-mbak kasir. Kurogoh saku celanaku, tapi nihil. Oh sial, dompetku tertinggal di celana satunya. Aku lupa kalau aku sudah mengganti celanaku. Hanya uang lima puluh ribu dari ibu saja yang aku bawa. Hah, sekarang aku cuman bisa membayar susu Ribut saja. Betapa malunya aku jika harus mengembalikan belanjaaku.

“Kenapa yah?”, tanya Ribut yang masih dalam gandenganku. Aku hanya tersenyum kecut ke arahnya.

“Mbak biar sekalian sama belanjaan saya”, laki-laki jangkung menyela kebingunganku.

“Oh Dokter Gama. Gag usah!”, tolakku. Padahal berharap ia masih kekeh membayariku.

“Udah, nggak apa-apa. Jagoan ayo sama Om”, ia menggendong Ribut kembali. Ternyata Gama lebih pantas menjadi ayahnya ketimbang aku. Mereka sangat serasi.

“Aduh, maaf  Dok merepotkan. Besok saya janji kembalikan”, aku tersenyum simpul.

“Oh, begitu! Tapi besok aku tak jadi mengajar. Tapi mungkin kamu bisa ke rumahku sambil membawa catatanmu yang kuminta. Jangan lupa Ribut dibawa!”, pintanya padaku.

“Iya deh. Alamatnya?”

“Besok aku SMS saja alamatnya. Mau kuantar!”

“Nggak dok, saya bisa sendiri”

“Oke kalau begitu! Sampai ketemu besok! Loly-Pop Boy”, cengirnya yang sudah menjauh. Sekarang, aku sudah merasa kalau dokter ini sangatlah aneh.

***
 Kucoba mencari alamat rumahnya. Lumayan sulit juga, tinggal berada di kompleks perumahan orang kaya membuatku menjadi bingung. Rumah Gedong dihapanku ini sudah kuprediksi adalah rumahnya. Profesinya sebagai dokter tentu membuahkan hasil yang setara dengan jerih payahnya. Ribut sudah merengek ingin bertemu Dokter Gama. Bagaimana seorang anak cowok bisa seganjen ini dengan dokter tampan?

“Ah, kalian sudah datang”, sambutnya. Aku masih tertegun menyaksikan penampilannya yang berbeda. Tidak formal dan sangat tampan. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku menepis aura terpesona padanya.

“Ayo masuk!”, sambungnya. Ribut digendongnya lagi dan aku mengikutinya masuk.

“Ribut sukanya apa?”, tanyanya pada Ribut.

“Suka apa ya?”, anak kecil itu meniman-nimang kembali.

“Playstasion suka?”

“Suka Om!”, jawabnya langsung. Gama membawanya ke suatu ruangan yang tersedia permainan itu. Ia menyiapkannya lalu menyerahkannya pada Ribut untuk dimainkan.

“Dia sudah tidak rewel, ayo ikut aku”, ajaknya.

Saat ini Dokter Gama membawaku ke ruangan penuh dengan berbagai jenis kado tertata rapi. Aku sempat tertegun melihatnya.

“Aku mau mengatakan sesuatu”, ia angkat bicara. Kini aku mulai gemetar, apa ini seperti apa yang kupikirkan?

“Bicara saja!”, Persilaku padanya.

“Aku cinta kamu”, aku diam mematung mendengarkannya. Kalimat dalam hipotesaku ternyata benar.

“Lalu?”, aku berbicara setenang mungkin.

“Aku mau kamu jadi kekasihku”

“Apa? Kamu mengajakku kemari hanya untuk mengatakan ini? Semua hadiah ini untuk menyogokku? Itu tidak mempan Dok. Dan maaf aku tak bisa menerimamu”, aku yang semula menyentak kini bersuara lirih.

“Kenapa? Kamu punya orang lain?”

“Iya, aku sudah punya orang yang menjagaku. Aku berjanji untuk menunggunya walaupun dia sama sekali tak mengingatku sampai saat ini”, mataku mulai berkaca-kaca. Aku hendak pergi meninggalkan tempat itu.

“Loly!”, suara itu menghentikan langkahku.

“Loly-Pop Boy, kamu masih menungguku ya? Maaf kalau aku membuatmu menunggu selama ini. Aku menyesal dan sekarang aku akan menebusnya. Bolehkah?”

“Apa maksudmu?”

“Apakah setelah bertambahnya usia sekarang aku terlihat berbeda?”

“Kamu,…… Kamu Kak El?”, tanyaku dengan mata melotot. Kupandangi tubuhnya dari rambut hingga ujung kaki. Ini berbeda, tentu saja! tak mungkin ia akan sama seperti 10 tahun yang lalu.

“Iya Adek! Apa kamu tak kangen denganku?”, godanya.

“Tidak! Aku tak kangen denganmu. Kamu jahat, kamu berjanji akan kembali 7 tahun kemudian. Tapi kenapa kamu baru muncul sekarang? Kamu jahat kak”, aku menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya yang jauh kini menjangkau tubuhku yang rapuh. Sungguh ini pelukan yang kurindukan selama ini.

“Kamu tahu kado-kado disana adalah hadiah dariku untuk ulang tahunmu dari tahun-tahun yang lalu selama aku tidak ada. Aku juga berjanji akan menjawab pernyataanmu waktu itu kan? Sekarang aku akan membaliknya, apakah kamu mau menjadi kekasihku?”, ujarnya.

“Tentu saja aku mau. Untuk apa aku selama ini menunggumu?”, aku menangis tersedu-sedu dalam pelukannya.

Selang beberapa menit ia melepaskan rangkulannya. Wajahnya kini ia dekatkan ke arahku, bibir kami menyatu dalam tautan cinta. Ciuman yang kudambakan dari dulu. Dari pangeran masa kecilku.

“Ayah, Om cedang apa?”, teriakan Ribut menghentikan aksi rindu kami.

“…”, kami malu dalam diam.

Cinta kami yang dulu sempat terpisah akhirnya terajut kembali.Manisnya cinta akan kami mulai dari awal. Ribut sekarang juga harus bersiap-siap untuk memiliki dua ayah. Ha ha ha.

Flashback

Seorang anak kecil yang berumur 10 tahun beserta remaja 15 tahun sedang asyik bersendau gurau di  sebuah taman bermain. Baru dua minggu mereka berkenalan tapi sudah tampak sangat akrab. Dan besok adalah hari dimana remaja itu melepas masa liburnya di kota ini.

“Kak El”, panggil anak kecil itu kepada remaja di sampingnya. Hanya nama ‘El’ saja yang diketahuinya tanpa mengenal nama panjangnya.

“Hmmm  Ada apa Dek Loly?”, jawab suara remaja itu dengan halus.

“Mau nggak kalo kak El jadi pacarku?”, mintanya polos.

“Kakak mau kok! Tapi tunggu umur kamu sampe 17 tahun ya? Kakak juga mau pergi sebentar, sekembalinya nanti kakak akan bawa banyak hadiah yang isinya Loly-Pop semua untuk Adek. Adek mau kan nunggu kakak?”, ujar lelaki remaja itu.

“Mau kak. Tapi kakak janji harus cepat kembali!”

“Janji my Loly-Pop boy”, kelingking mereka berkaitkan membentuk jalinan janji.
Note :

 Perkenalkan namaku Gimnastiar Piki Rama Sevta. Kalian boleh panggil aku jipi. Semoga cerita ini berkesan bagi para pembaca semuanya. Coretanku mungkin jelek, tapi bermakna untukku. Makasih.

Email      : princekyuto@yahoo.co.id
Facebook: Gimnastiar Piki Rama Sevta

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya, besar harapan penulis tolong tinggalkan jejak dalam kolom komentar, terimakasih....