Friday, 29 June 2012

Because Of You


Because of You
by Steve Rahardian

            Aku memutuskan untuk tinggal bersama pasangan gayku. Kami memilih untuk pergi dari kota kelahiran kami, jauh, hingga terlepas dari cengkeraman kedua keluarga kami. Kami berdua hanya tidak mau menjadi beban bagi kedua keluarga, apalagi hubungan ini ibarat “pelanggaran” hidup sepasang manusia. Namun itu tidak mengubah pikiranku, karena hubungan inilah aku bisa mengerti yang namanya cinta, lebih dari sebuah cinta terhadap lawan jenis.
            Naas, sebulan setelah kami berdua pindah ke rumah yang baru, aku mengalami kecelakaan. Kakiku akhirnya patah dan aku diharuskan menggunakan kursi roda. Sedih bagiku, karena kejadian ini hubunganku dengan pasanganku jadi berantakan. Satu-satunya yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah membuat lolipop dan menjualnya di depan rumah. Aku lakukan hal itu sekedar untuk meringankan beban kami berdua.
            Berbekal kios kecil di depan rumah, aku menjual lolipopku dari pagi hingga sore hari. Soal pembeli, aku selalu mensyukurinya berapapun yang mereka beli walaupun hasilnya kecil. Aku selalu ikhlas dalam melakukan hal baik seperti ini.
“Halo Edgar”, sapa seorang wanita tua dengan daster bunganya sembari mengibaskan rambut ikalnya ke arahku.
“Halo Bu Evelin”, jawabku.
“Gimana lolipopnya?”, senyumnya mengembang dari pipinya yang gemuk.
“Lumayan Bu, berkat bantuan Ibu juga”, aku menggerakkan kursi rodaku ke sampingnya dan mulai menarik gerobak kiosku.
“Lho? Sudah mau tutup?”, tanyanya.
“Kan sudah sore”.
“Sini Ibu bantu bawa gerobaknya”, dia menarik tanganku dan berusaha membawa sendiri gerobak kiosku.
“Ngga usah Bu, saya ngga enak dibantu terus”, aku pun mencoba menghalanginya.
“Udah ngga apa-apa”, Bu Evelin bersikeras dan akhirnya membawa gerobak kiosku masuk ke dalam rumah.
            Aku pun bergegas membawa kotak kecil dan segera mengayuhkan kursi rodaku. Aku mengikuti Bu Evelin dari belakang. Orangnya memang baik, semenjak aku kecelakaan dialah yang sering bantu aku. Hanya saja dia belum tahu kalau aku sebenarnya gay.
“Taruh di sini ya?”, Bu Evelin memposisikan gerobaknya di sebelah teras rumahku.
“Iya Bu’, ucapku.
“Ngomong-ngomong mana temanmu?”, tanyanya pelan. Mungkin yang dia maksud adalah pasangan gayku.
“Thomas? Dia pulang malam terus”, jawabku.
“Apa ngga apa-apa di rumah sendirian? Soalnya kamu makin kurus dan tambah putih saja”, tanyanya takut-takut.
“Aku kan dari dulu memang kurus Bu lagian ngga apa-apa kok Bu, Thomas kan pasti pulang ke rumah”.
“Ya sudah, Ibu balik dulu ya... Kalau ada apa-apa telepon saja”, ucapnya sembari menirukan gaya bertelepon.
....................................................................................................................................................
            Aku sedang menyiapkan makan malam buat Thomas. Agak susah sebenarnya memasak sambil menggunakan kursi roda tapi apa daya, hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku berpindah tempat dengan menggerakkan kursi rodaku, dari meja makan ke kompor begitu seterusnya.
“Uhuk!”, tiba-tiba batukku kambuh lagi. “Uhuk!”, aku merasa ada yang keluar dari mulutku. aku usapkan mulutku, serasa ada cairan yang keluar. Aku lihat dan ternyata cairan itu adalah darah.
“Penyakit dari kecelakaan itu kambuh lagi, mana obatnya mau habis, mudah-mudahan Thomas tidak lupa membelinya”. Aku pun bergegas ke meja kecil di sebelah dapur setelah mencuci tanganku.
            Di situ memang aku letakkan obat-obatku. Selama ini memang hanya Thomas yang bisa membelinya walaupun semakin hari dia semakin tidak peduli dengan sakitku, tapi itu tidak apa-apa. Lalu aku membuka kotak kecil tempat obat yang aku taruh, aku ambil sisa terakhir dari obatku dan segera aku minum.
            Selang sejam lebih aku menunggu Thomas pulang. Akhirnya dia kembali ke rumah, tampangnya terlihat sangat lelah. Thomas bagiku adalah kepala rumah tangga kami berdua, dia memang terlihat lebih dewasa dan lebih tenang dari aku. Tapi itu dulu, sekarang perlahan-lahan dia berubah sifat, mungkin karena aku yang sakit dan tidak mampu melayaninya atau dia sudah tidak tertarik dengan hubungan ini. Meskipun aku tahu hubungan tidak “resmi” ini hanya akan membuat aku sakit. Namun aku optimis, hubungan ini akan berakhir bahagia.
            Thomas langsung duduk disofa dan merebahkan kepalanya dipinggir. Tas kantor yang dia bawa dilemparkan kesofa begitu saja. Aku merasa dia ada masalah hanya saja aku tidak berani bertanya, aku takut dia semakin tidak mempedulikan aku.
“Sayang.....”, aku memanggil pelan dia. “Aku sudah siapin makan malamnya”.
“.....”, dia masih menutup matanya.
“Yank.....”, aku menggapai tangannya namun dia dengan cepatnya menepis.
“Argh!”, erangnya dan langsung berdiri membelakangiku.
“Maaf, aku cuma....”.
“SUDAH!”, bentaknya sembari menghadapku. “Aku bisa gila kalau gini terus Edgar!”.
“Maaf Thom.....”, aku merunduk takut.
“Maaf! Maaf! Harusnya kemaren kita ngga usah bikin acara hidup berdua begini, SUSAH!”, ucapnya garang. “Lagian apa yang bisa kamu berikan ke aku? cinta? Hah!!!”.
“Aku tahu aku sekarang cacat, aku tahu aku ngga bisa melayanimu semestinya”, aku mencoba menahan rasa sedihku mendengar perkataannya.
“Sudah! Ngga usah sok klise gitu!”, ucapnya dengan penuh emosi. “Pertanyaannya, sampai kapan aku harus sabar? Aku kerja keras buat ngobati kamu, aku jagain kamu tapi...... ARGH! Capek rasanya!”.
“Aku tahu aku merepotkan kamu....”, aku mulai menangis.
“Pakai nangis segala, ngga usah cengeng gitu........”, ucap Thomas menyingkir dariku dan pergi ke kamar.
“Thomas! Thomas!”, aku mengejarnya. Aku kayuh kursi rodaku masuk ke dalam kamar.
            Aku melihat dia bergegas mengambil tas kecilnya. Dia memasukkan beberapa bajunya ke dalam tas kecil itu. Aku pun mendekat berupaya untuk membujuknya tidak pergi dariku.
“Thomas, kamu mau ke mana?”, ucapku takut.
“Aku mau pergi, aku mau cari pemuas nafsuku!”.
“Udah, kamu ngga usah pergi.....”, aku menangis.
“Aku bakal pergi!”, ucapnya sembari menenteng tas kecilnya.
“Thomas dengerin aku dulu....”, aku mencoba menghalangi dia pergi.
“Dengerin apa lagi?”, keluhnya.
“Aku rela, aku ikhlas, kamu melakukan “hubungan” dengan pria lainnya, walaupun itu akan menyakitiku, aku ikhlas dan aku sadar aku ngga bisa melayanimu sebagaimana mestinya, aku rela asal kamu ada di sisiku”, ucapku sambil menangis. Hatiku terasa perih mengatakan hal itu, jujur, aku sayang sekali sama Thomas tapi demi dia aku rela dia melakukan “itu” bersama pria lain.
“Ah! Basi!”, dia pergi begitu saja sambil membanting pintu kamar.
            Aku hanya bisa tertunduk sedih karena sekarang Thomas meninggalkanku. Meninggalkanku karena aku cacat dan tidak bisa melayani apa yang dia mau. Aku sadar aku sekarang menjadi beban bagi dia, tapi disaat aku lemah seperti ini aku perlu seseorang di sampingku, aku perlu Thomas.
“Uhuk!”, batukku kembali kambuh. Aku buka tanganku, batukku kembali berdarah. “Thomas......”.
....................................................................................................................................................
            Tiga hari lamanya Thomas pergi tanpa kabar, aku yang di rumah hanya bisa berharap dia mau menghubungiku. Selama tiga hari juga kondisi badanku semakin menurun, obat yang kemaren sudah habis dan aku tidak bisa membelinya karena tempatnya sangat jauh.
            Malam ketiga, saatku sendiri di rumah, aku habiskan dengan membuat beberapa lolipop untuk aku jual. Kalau aku tidak membuat lolipop ini aku bakal tidak mendapatkan uang tambahan buat hidupku. Sepertinya mulai sekarang aku harus berjuang sendiri tanpa Thomas.
“Uhuk!”, aku kembali batuk. Kali ini batuknya terasa lebih menyakitkan. “Uhuk! Uhuk!”.
            Tenggorokkan dan dadaku terasa lebih sakit dari kemaren. Batuk yang aku rasa semakin berat, darah yang keluar pun semakin banyak. Aku pun dengan cepat mengayuh kursi rodaku untuk mengambil minuman.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!”, batukku semakin menyakitkan dan darahnya semakin banyak. Namun kali ini kepalaku menjadi lebih pening dan penglihatanku bertambah kabur.
            Dengan sisa kekuatanku aku berhasil mendekat ke meja sebelah. Aku kerahkan tanganku untuk menggapai gelas di atasnya. Tapi, badanku gemetar, dadaku terasa semakin sesak, mataku menjadi kabur dan  yang aku ingat malam itu aku terjatuh dari kursi roda beserta bunyi suara gelas terjatuh yang terakhir aku dengar.
.....................................................................................................................................................
            Disaat terpejam aku merasa berada di sebuah dunia, hanya ada aku sendiri. Tidak, ada seseorang di ujung kabut putih di sana. Seorang pria yang seraya terus melambaikan tangannya, memanggilku untuk datang ke arahnya. Aku pun berjalan dengan cepat namun kabutnya semakin banyak berusaha menghalangi jalanku. Tekad dihatiku menggerakkan tubuhku untuk menerjang kabut itu dan akhirnya aku berhasil menggapai tangan pria itu. Aku tatap dengan seksama wajahnya yang dewasa, lebih tinggi dari aku dan ciri khas rambut ikalnya, ternyata itu dia.
“Tho.....mas....”, ucapku lirih. Aku bisa mencium bau obat di sekelilingku. Mataku terbuka dengan pelan dan samar-samar aku melihat sebuah ruangan putih.
            Aku tersadar, sekarang aku berada di rumah sakit. Aku tengok ke samping aku melihat sosok Thomas tertidur di samping kasurku. Aku kuatkan tanganku mengarah ke dirinya.
“Thomas.....”, panggilku pelan.
Thomas pun terbangun. “Edgar...... Edgar! Kamu siuman!”, ucapnya kaget.
“Iya....”, jawabku.
“Maafkan aku........”, tiba-tiba dia memegang tanganku dan langsung menangis.
“Ngga apa-apa kok, aku baik-baik aja”, aku berusaha menenangkannya.
“Ini semua salahku, aku ngga becus jagain kamu!”.
“Udah.....”, aku membelai lembut pipinya dan mengusap air matanya. “Aku senang kamu di sampingku”.
“Aku khilaf, harusnya aku ngga ninggalin kamu sendiri”, ucapnya penuh penyesalan. “Tapi kamu kenapa ngga bilang kalo kamu.....”.
“Ssstt... “, aku menutup bibirnya. “Aku ngga mau merepotkan kamu, aku sudah senang dibelikan obat”.
“...”, Thomas hanya bisa terdiam, menangisi penyesalannya. Sebenarnya aku tidak mau bilang ke dia kalau sebenarnya paru-paruku masih terluka oleh kecelakaan kemaren.
“Terus siapa yang bawa aku ke sini?”, tanyaku.
“Bu Evelin”, jawabnya. “Maaf  Yank........ aku sudah lalai”.
“Iya, aku maafkan kok”, ucapku tersenyum ke arahnya. “Kita ini hanya manusia yang bisa merencanakan hal yang bahagia, tapi tidak sedikit pun dari kita memikirkan akan hal buruk, begitu juga denganku, aku hanya ingin selalu bersamamu selamanya”.
Thomas menatapku dengan penuh harapan baru. “Aku janji akan lebih sayang ke kamu, aku bakal jagain kamu, sesuai janji hidup mati kita dulu”.
“Makasi Yank”.
            Thomas pun membalasnya dengan senyumannya. Semenjak itu hubungan kami kembali normal dan lebih harmonis. Ada kabar gembira, setelah tiga bulan kemudian aku sudah bisa kembali berjalan tanpa menggunakan kursi roda. Bu Evelin pun tahu kami adalah pasangan gay dan semenjak itu pula, kios lolipopku semakin terkenal.


--Bumi tak selamanya mendung selama kita yakin setelahnya ada hari yang cerah--

------THE END------

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya, besar harapan penulis tolong tinggalkan jejak dalam kolom komentar, terimakasih....