Because
of You
by Steve Rahardian
Aku
memutuskan untuk tinggal bersama pasangan gayku. Kami memilih untuk pergi dari
kota kelahiran kami, jauh, hingga terlepas dari cengkeraman kedua keluarga kami.
Kami berdua hanya tidak mau menjadi beban bagi kedua keluarga, apalagi hubungan
ini ibarat “pelanggaran” hidup sepasang manusia. Namun itu tidak mengubah
pikiranku, karena hubungan inilah aku bisa mengerti yang namanya cinta, lebih
dari sebuah cinta terhadap lawan jenis.
Naas,
sebulan setelah kami berdua pindah ke rumah yang baru, aku mengalami
kecelakaan. Kakiku akhirnya patah dan aku diharuskan menggunakan kursi roda.
Sedih bagiku, karena kejadian ini hubunganku dengan pasanganku jadi berantakan.
Satu-satunya yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah membuat lolipop dan
menjualnya di depan rumah. Aku lakukan hal itu sekedar untuk meringankan beban
kami berdua.
Berbekal
kios kecil di depan rumah, aku menjual lolipopku dari pagi hingga sore hari.
Soal pembeli, aku selalu mensyukurinya berapapun yang mereka beli walaupun
hasilnya kecil. Aku selalu ikhlas dalam melakukan hal baik seperti ini.
“Halo Edgar”, sapa seorang wanita tua dengan daster
bunganya sembari mengibaskan rambut ikalnya ke arahku.
“Halo Bu Evelin”, jawabku.
“Gimana lolipopnya?”, senyumnya mengembang dari
pipinya yang gemuk.
“Lumayan Bu, berkat bantuan Ibu juga”, aku
menggerakkan kursi rodaku ke sampingnya dan mulai menarik gerobak kiosku.
“Lho? Sudah mau tutup?”, tanyanya.
“Kan sudah sore”.
“Sini Ibu bantu bawa gerobaknya”, dia menarik tanganku
dan berusaha membawa sendiri gerobak kiosku.
“Ngga usah Bu, saya ngga enak dibantu terus”, aku pun
mencoba menghalanginya.
“Udah ngga apa-apa”, Bu Evelin bersikeras dan akhirnya
membawa gerobak kiosku masuk ke dalam rumah.
Aku
pun bergegas membawa kotak kecil dan segera mengayuhkan kursi rodaku. Aku
mengikuti Bu Evelin dari belakang. Orangnya memang baik, semenjak aku
kecelakaan dialah yang sering bantu aku. Hanya saja dia belum tahu kalau aku
sebenarnya gay.
“Taruh di sini ya?”, Bu Evelin memposisikan gerobaknya
di sebelah teras rumahku.
“Iya Bu’, ucapku.
“Ngomong-ngomong mana temanmu?”, tanyanya pelan.
Mungkin yang dia maksud adalah pasangan gayku.
“Thomas? Dia pulang malam terus”, jawabku.
“Apa ngga apa-apa di rumah sendirian? Soalnya kamu
makin kurus dan tambah putih saja”, tanyanya takut-takut.
“Aku kan dari dulu memang kurus Bu lagian ngga apa-apa
kok Bu, Thomas kan pasti pulang ke rumah”.
“Ya sudah, Ibu balik dulu ya... Kalau ada apa-apa
telepon saja”, ucapnya sembari menirukan gaya bertelepon.
....................................................................................................................................................
Aku
sedang menyiapkan makan malam buat Thomas. Agak susah sebenarnya memasak sambil
menggunakan kursi roda tapi apa daya, hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku
berpindah tempat dengan menggerakkan kursi rodaku, dari meja makan ke kompor
begitu seterusnya.
“Uhuk!”, tiba-tiba batukku kambuh lagi. “Uhuk!”, aku
merasa ada yang keluar dari mulutku. aku usapkan mulutku, serasa ada cairan
yang keluar. Aku lihat dan ternyata cairan itu adalah darah.
“Penyakit dari kecelakaan itu kambuh lagi, mana
obatnya mau habis, mudah-mudahan Thomas tidak lupa membelinya”. Aku pun
bergegas ke meja kecil di sebelah dapur setelah mencuci tanganku.
Di
situ memang aku letakkan obat-obatku. Selama ini memang hanya Thomas yang bisa
membelinya walaupun semakin hari dia semakin tidak peduli dengan sakitku, tapi
itu tidak apa-apa. Lalu aku membuka kotak kecil tempat obat yang aku taruh, aku
ambil sisa terakhir dari obatku dan segera aku minum.
Selang
sejam lebih aku menunggu Thomas pulang. Akhirnya dia kembali ke rumah,
tampangnya terlihat sangat lelah. Thomas bagiku adalah kepala rumah tangga kami
berdua, dia memang terlihat lebih dewasa dan lebih tenang dari aku. Tapi itu
dulu, sekarang perlahan-lahan dia berubah sifat, mungkin karena aku yang sakit
dan tidak mampu melayaninya atau dia sudah tidak tertarik dengan hubungan ini.
Meskipun aku tahu hubungan tidak “resmi” ini hanya akan membuat aku sakit.
Namun aku optimis, hubungan ini akan berakhir bahagia.
Thomas
langsung duduk disofa dan merebahkan kepalanya dipinggir. Tas kantor yang dia
bawa dilemparkan kesofa begitu saja. Aku merasa dia ada masalah hanya saja aku
tidak berani bertanya, aku takut dia semakin tidak mempedulikan aku.
“Sayang.....”, aku memanggil pelan dia. “Aku sudah
siapin makan malamnya”.
“.....”, dia masih menutup matanya.
“Yank.....”, aku menggapai tangannya namun dia dengan
cepatnya menepis.
“Argh!”, erangnya dan langsung berdiri membelakangiku.
“Maaf, aku cuma....”.
“SUDAH!”, bentaknya sembari menghadapku. “Aku bisa
gila kalau gini terus Edgar!”.
“Maaf Thom.....”, aku merunduk takut.
“Maaf! Maaf! Harusnya kemaren kita ngga usah bikin
acara hidup berdua begini, SUSAH!”, ucapnya garang. “Lagian apa yang bisa kamu
berikan ke aku? cinta? Hah!!!”.
“Aku tahu aku sekarang cacat, aku tahu aku ngga bisa
melayanimu semestinya”, aku mencoba menahan rasa sedihku mendengar
perkataannya.
“Sudah! Ngga usah sok klise gitu!”, ucapnya dengan
penuh emosi. “Pertanyaannya, sampai kapan aku harus sabar? Aku kerja keras buat
ngobati kamu, aku jagain kamu tapi...... ARGH! Capek rasanya!”.
“Aku tahu aku merepotkan kamu....”, aku mulai
menangis.
“Pakai nangis segala, ngga usah cengeng gitu........”,
ucap Thomas menyingkir dariku dan pergi ke kamar.
“Thomas! Thomas!”, aku mengejarnya. Aku kayuh kursi
rodaku masuk ke dalam kamar.
Aku
melihat dia bergegas mengambil tas kecilnya. Dia memasukkan beberapa bajunya ke
dalam tas kecil itu. Aku pun mendekat berupaya untuk membujuknya tidak pergi
dariku.
“Thomas, kamu mau ke mana?”, ucapku takut.
“Aku mau pergi, aku mau cari pemuas nafsuku!”.
“Udah, kamu ngga usah pergi.....”, aku menangis.
“Aku bakal pergi!”, ucapnya sembari menenteng tas
kecilnya.
“Thomas dengerin aku dulu....”, aku mencoba
menghalangi dia pergi.
“Dengerin apa lagi?”, keluhnya.
“Aku rela, aku ikhlas, kamu melakukan “hubungan”
dengan pria lainnya, walaupun itu akan menyakitiku, aku ikhlas dan aku sadar
aku ngga bisa melayanimu sebagaimana mestinya, aku rela asal kamu ada di
sisiku”, ucapku sambil menangis. Hatiku terasa perih mengatakan hal itu, jujur,
aku sayang sekali sama Thomas tapi demi dia aku rela dia melakukan “itu”
bersama pria lain.
“Ah! Basi!”, dia pergi begitu saja sambil membanting
pintu kamar.
Aku
hanya bisa tertunduk sedih karena sekarang Thomas meninggalkanku.
Meninggalkanku karena aku cacat dan tidak bisa melayani apa yang dia mau. Aku
sadar aku sekarang menjadi beban bagi dia, tapi disaat aku lemah seperti ini
aku perlu seseorang di sampingku, aku perlu Thomas.
“Uhuk!”, batukku kembali kambuh. Aku buka tanganku,
batukku kembali berdarah. “Thomas......”.
....................................................................................................................................................
Tiga hari lamanya Thomas pergi tanpa kabar, aku yang
di rumah hanya bisa berharap dia mau menghubungiku. Selama tiga hari juga
kondisi badanku semakin menurun, obat yang kemaren sudah habis dan aku tidak
bisa membelinya karena tempatnya sangat jauh.
Malam
ketiga, saatku sendiri di rumah, aku habiskan dengan membuat beberapa lolipop
untuk aku jual. Kalau aku tidak membuat lolipop ini aku bakal tidak mendapatkan
uang tambahan buat hidupku. Sepertinya mulai sekarang aku harus berjuang
sendiri tanpa Thomas.
“Uhuk!”, aku kembali batuk. Kali ini batuknya terasa
lebih menyakitkan. “Uhuk! Uhuk!”.
Tenggorokkan
dan dadaku terasa lebih sakit dari kemaren. Batuk yang aku rasa semakin berat,
darah yang keluar pun semakin banyak. Aku pun dengan cepat mengayuh kursi
rodaku untuk mengambil minuman.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!”, batukku semakin menyakitkan dan
darahnya semakin banyak. Namun kali ini kepalaku menjadi lebih pening dan
penglihatanku bertambah kabur.
Dengan
sisa kekuatanku aku berhasil mendekat ke meja sebelah. Aku kerahkan tanganku
untuk menggapai gelas di atasnya. Tapi, badanku gemetar, dadaku terasa semakin
sesak, mataku menjadi kabur dan yang aku
ingat malam itu aku terjatuh dari kursi roda beserta bunyi suara gelas terjatuh
yang terakhir aku dengar.
.....................................................................................................................................................
Disaat
terpejam aku merasa berada di sebuah dunia, hanya ada aku sendiri. Tidak, ada
seseorang di ujung kabut putih di sana. Seorang pria yang seraya terus
melambaikan tangannya, memanggilku untuk datang ke arahnya. Aku pun berjalan
dengan cepat namun kabutnya semakin banyak berusaha menghalangi jalanku. Tekad
dihatiku menggerakkan tubuhku untuk menerjang kabut itu dan akhirnya aku
berhasil menggapai tangan pria itu. Aku tatap dengan seksama wajahnya yang
dewasa, lebih tinggi dari aku dan ciri khas rambut ikalnya, ternyata itu dia.
“Tho.....mas....”, ucapku lirih. Aku bisa mencium bau
obat di sekelilingku. Mataku terbuka dengan pelan dan samar-samar aku melihat
sebuah ruangan putih.
Aku
tersadar, sekarang aku berada di rumah sakit. Aku tengok ke samping aku melihat
sosok Thomas tertidur di samping kasurku. Aku kuatkan tanganku mengarah ke dirinya.
“Thomas.....”, panggilku pelan.
Thomas pun terbangun. “Edgar...... Edgar! Kamu
siuman!”, ucapnya kaget.
“Iya....”, jawabku.
“Maafkan aku........”, tiba-tiba dia memegang tanganku
dan langsung menangis.
“Ngga apa-apa kok, aku baik-baik aja”, aku berusaha
menenangkannya.
“Ini semua salahku, aku ngga becus jagain kamu!”.
“Udah.....”, aku membelai lembut pipinya dan mengusap
air matanya. “Aku senang kamu di sampingku”.
“Aku khilaf, harusnya aku ngga ninggalin kamu
sendiri”, ucapnya penuh penyesalan. “Tapi kamu kenapa ngga bilang kalo kamu.....”.
“Ssstt... “, aku menutup bibirnya. “Aku ngga mau
merepotkan kamu, aku sudah senang dibelikan obat”.
“...”, Thomas hanya bisa terdiam, menangisi
penyesalannya. Sebenarnya aku tidak mau bilang ke dia kalau sebenarnya
paru-paruku masih terluka oleh kecelakaan kemaren.
“Terus siapa yang bawa aku ke sini?”, tanyaku.
“Bu Evelin”, jawabnya. “Maaf Yank........ aku sudah lalai”.
“Iya, aku maafkan kok”, ucapku tersenyum ke arahnya.
“Kita ini hanya manusia yang bisa merencanakan hal yang bahagia, tapi tidak
sedikit pun dari kita memikirkan akan hal buruk, begitu juga denganku, aku
hanya ingin selalu bersamamu selamanya”.
Thomas menatapku dengan penuh harapan baru. “Aku janji
akan lebih sayang ke kamu, aku bakal jagain kamu, sesuai janji hidup mati kita
dulu”.
“Makasi Yank”.
Thomas pun membalasnya dengan
senyumannya. Semenjak itu hubungan kami kembali normal dan lebih harmonis. Ada
kabar gembira, setelah tiga bulan kemudian aku sudah bisa kembali berjalan
tanpa menggunakan kursi roda. Bu Evelin pun tahu kami adalah pasangan gay dan
semenjak itu pula, kios lolipopku semakin terkenal.
--Bumi tak selamanya mendung selama kita yakin
setelahnya ada hari yang cerah--
------THE END------